Misalnya, bukannya menghadapi stres di tempat kerja atau masalah dalam hubungan, kita memilih untuk "kabur" ke dunia virtual. Rasanya lebih mudah, bukan?Â
Tak ada yang menyalahkanmu, tak ada yang menghakimimu. Tetapi jika kita terus-menerus memilih untuk lari, kapan kita akan benar-benar menghadapi kenyataan?
Pikirkan tentang ini, Setiap kali kamu melarikan diri ke dunia maya, apakah kamu merasa lebih baik atau justru merasa kosong setelahnya? Kadang, dunia virtual yang kita gunakan untuk melarikan diri hanya menawarkan kesenangan sementara.
Setelah itu, masalah yang kita hindari tetap ada, bahkan mungkin terasa lebih besar karena kita tidak segera menyelesaikannya. Virtual escapism, jika dilakukan berlebihan, bisa membuat kita semakin jauh dari realitas.
Kita mungkin mulai kehilangan kemampuan untuk mengelola masalah sehari-hari, karena kita lebih terbiasa melarikan diri daripada menghadapi tantangan.
Namun, jangan salah paham. Virtual escapism tidak sepenuhnya buruk. Seperti halnya cara lain untuk melepaskan stres, semuanya kembali ke soal bagaimana kita menggunakannya.
Jika kita menggunakan dunia virtual sebagai tempat untuk mengambil jeda sesaat, mengumpulkan energi, lalu kembali menghadapi dunia nyata, itu adalah hal yang sehat.
Misalnya, setelah seharian menghadapi rapat atau tugas yang tak ada habisnya, bermain game selama satu atau dua jam bisa memberikan ruang bagi otak kita untuk beristirahat.
Tapi ingat, jangan sampai pelarian ini menjadi cara untuk menghindari realita sepenuhnya. Alih-alih kabur terus-menerus, mengapa tidak mencoba menghadapi masalah satu per satu? Mungkin terdengar berat, tapi menghadapi tantangan di dunia nyata bisa memberi kita rasa pencapaian yang jauh lebih memuaskan.
Bayangkan betapa bangganya dirimu ketika kamu berhasil menyelesaikan tugas yang awalnya terasa mustahil. Bukankah itu lebih baik daripada terus melarikan diri?