Kendati memiliki keterampilan dan pendidikan yang setara, perempuan kerap kali ditempatkan di posisi yang tidak strategis atau dianggap sebagai "pekerja pendukung". Di banyak sektor, seperti pendidikan dan kesehatan, perempuan mendominasi, namun sektor-sektor ini sering kali dianggap kurang prestisius dan kurang berpengaruh terhadap kebijakan publik yang lebih besar.
Akibatnya, meskipun mereka memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, suara mereka tetap kurang diakui dalam diskusi-diskusi besar mengenai ekonomi dan politik.
Kekerasan Berbasis Gender, Taktik Membungkam yang Kasar
Salah satu hambatan terbesar yang membungkam suara perempuan adalah kekerasan berbasis gender. Di seluruh dunia, perempuan menghadapi ancaman kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi secara penuh di ruang publik.
Kekerasan ini bisa datang dalam bentuk pelecehan seksual, intimidasi, hingga kekerasan domestik, yang semuanya menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi perempuan untuk berbicara.
Di dunia maya, masalah ini bahkan lebih akut. Pew Research Center menemukan bahwa 41% perempuan di Amerika Serikat pernah mengalami pelecehan online, termasuk ancaman kekerasan fisik dan pelecehan seksual [2].
Di Indonesia, laporan dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan berbasis gender masih terus meningkat. Pada tahun 2022 saja, tercatat lebih dari 11.000 kasus kekerasan seksual, banyak di antaranya terjadi di kampus, tempat kerja, atau ruang publik lainnya [3].
Ketakutan akan stigma, penolakan, dan tidak adanya dukungan hukum yang kuat membuat perempuan sering kali memilih diam daripada berbicara.
Suara yang Terkubur di Media Sosial
Selain di dunia nyata, suara perempuan juga sering kali tenggelam di platform digital. Meski media sosial menawarkan ruang yang lebih demokratis, kenyataannya perempuan sering kali terpinggirkan dalam percakapan online.
Algoritma di media sosial sering kali mengutamakan konten viral yang sensasional, sehingga diskusi serius mengenai isu-isu perempuan kurang mendapat perhatian.
Di samping itu, banyak perempuan yang berani mengangkat isu-isu sensitif, seperti kekerasan berbasis gender atau hak-hak reproduksi, diintimidasi atau dilecehkan oleh pengguna lain, sehingga mereka terpaksa menghapus konten atau bahkan menutup akun mereka.