Pada era yang seharusnya dipenuhi oleh kemajuan dan keterbukaan, suara perempuan masih sering kali tersisih dalam ruang-ruang publik yang seharusnya inklusif.
Tidak hanya di negara-negara berkembang, bahkan di negara maju sekalipun, eksistensi perempuan dalam diskursus publik sering kali hanya sebatas formalitas, sementara pengaruh nyata mereka dalam proses pengambilan keputusan jauh dari signifikan.
Fenomena ini bukanlah hasil dari ketidakmampuan perempuan berbicara, melainkan dari berbagai hambatan struktural, budaya, dan sosial yang membuat suara mereka seakan terkubur dalam "diam" yang memekakkan.
Ruang Publik, Medan yang Tidak Setara
Ruang publik, sejak lama, telah didominasi oleh laki-laki. Baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial, laki-laki selalu memegang posisi sentral, sementara perempuan harus berjuang keras untuk mendapatkan tempat di meja diskusi.
World Economic Forum mencatat bahwa hingga 2023, perempuan hanya menempati sekitar 22.1% kursi parlemen di seluruh dunia [1] . Ini bukan hanya angka, tetapi refleksi ketidaksetaraan yang sistematis, di mana perempuan masih sering dianggap tidak layak untuk menjadi pengambil keputusan pada level tertinggi.
Di banyak masyarakat, perempuan masih dibebani oleh ekspektasi sosial yang mengharuskan mereka untuk memprioritaskan peran domestik daripada publik. Mereka didorong untuk menjadi ibu, istri, dan penjaga rumah tangga terlebih dahulu, sebelum berpikir tentang karier atau ambisi di luar itu.
Padahal, potensi mereka dalam berbagai bidang sering kali sama, bahkan lebih unggul dibandingkan laki-laki. Namun, budaya patriarki yang mengakar kuat menjadikan kontribusi perempuan di ranah publik sering kali terpinggirkan.
Stigma Perempuan di Dunia Kerja
Tidak hanya dalam ranah politik, diskriminasi terhadap perempuan juga terlihat jelas dalam dunia kerja. Meski jumlah perempuan yang bekerja terus meningkat, posisi-posisi strategis di puncak hierarki perusahaan masih didominasi oleh laki-laki.
UN Women melaporkan bahwa hanya 29,3% posisi manajerial di seluruh dunia ditempati oleh perempuan. Hal ini mencerminkan kesenjangan yang tajam antara jumlah perempuan yang bekerja dan kesempatan mereka untuk memimpin.