Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena Quiet Quitting, Ketika Generasi Muda Menolak Budaya Kerja Berlebihan

18 September 2024   17:40 Diperbarui: 18 September 2024   17:47 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lingkungan kerja Toxic | Image by Kompas.tv

Belakangan ini, istilah quiet quitting semakin sering terdengar, terutama di kalangan generasi muda yang mulai mempertanyakan makna dari bekerja keras tanpa henti.

Berbeda dengan konsep resign atau berhenti kerja secara resmi, quiet quitting bukan berarti benar-benar meninggalkan pekerjaan, melainkan menolak untuk memberikan lebih dari apa yang diminta oleh deskripsi pekerjaan mereka.

Mereka tetap melakukan tugas-tugas inti, namun tanpa mengorbankan keseimbangan hidup dan kesehatan mental. Fenomena ini mencerminkan respons terhadap budaya kerja yang menuntut produktivitas tanpa batas, dan menjadi bentuk perlawanan terhadap tuntutan berlebihan dari dunia kerja.

Banyak dari kita mungkin pernah mendengar istilah hustle culture, di mana bekerja tanpa henti dan selalu sibuk dianggap sebagai simbol kesuksesan. Di era modern ini, budaya tersebut telah menjadi standar, terutama di kalangan pekerja muda.

Ilustrasi Hustle Culture | Image by Kerjoo.com
Ilustrasi Hustle Culture | Image by Kerjoo.com

Namun, bagi sebagian besar generasi muda, terutama mereka yang tergolong dalam generasi milenial dan Gen Z, budaya kerja seperti ini semakin dirasa tidak manusiawi. Terlebih setelah pandemi COVID-19, banyak dari mereka mulai merenungkan nilai hidup yang sebenarnya, di mana pekerjaan tidak lagi menjadi pusat kehidupan.

Quiet quitting menjadi bentuk kritik terhadap budaya kerja yang tidak sehat, dan menunjukkan bahwa ada cara lain untuk menjalani hidup selain terus-menerus mengejar produktivitas tanpa henti.

Generasi muda masa kini seringkali merasa bahwa ekspektasi terhadap mereka dalam dunia kerja terlalu tinggi. Mereka diminta untuk selalu bekerja keras, mengambil pekerjaan tambahan, dan bersedia mengorbankan waktu pribadi demi pekerjaan.

Akibatnya, banyak pekerja muda yang mengalami burnout, atau kelelahan mental dan fisik yang disebabkan oleh tekanan pekerjaan yang berlebihan. Quiet quitting muncul sebagai mekanisme perlindungan diri dari ekspektasi yang tak realistis tersebut.

Ilustrasi Burnout | Image by CNN | Sandee LaMotte
Ilustrasi Burnout | Image by CNN | Sandee LaMotte

Generasi muda tidak lagi mau hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akan kegagalan atau kekhawatiran bahwa mereka tidak cukup baik jika tidak selalu produktif. Bagi mereka, hidup harus lebih seimbang dan berfokus pada hal-hal yang benar-benar berarti, seperti kesehatan mental, hubungan personal, dan kebahagiaan.

Namun, apakah quiet quitting benar-benar solusi atas masalah ini? Sebagian pihak berpendapat bahwa fenomena ini adalah tanda dari meningkatnya rasa tidak puas terhadap dunia kerja. Banyak perusahaan yang masih mengukur kesuksesan karyawan berdasarkan jam kerja yang panjang, bukan hasil yang nyata.

Dalam budaya kerja seperti ini, pekerja yang menolak untuk bekerja lebih dari jam yang ditentukan seringkali dianggap kurang berkomitmen atau tidak ambisius. Padahal, karyawan yang mengambil langkah quiet quitting justru sedang berusaha menjaga kesehatan mental dan fisik mereka agar tetap produktif dalam jangka panjang.

Salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya quiet quitting adalah ketidakpuasan terhadap lingkungan kerja yang tidak adil. Ketika pekerja merasa bahwa usaha mereka tidak dihargai atau tidak diberi kesempatan yang adil untuk berkembang, mereka mulai kehilangan motivasi.

Gaji yang stagnan, kurangnya kesempatan promosi, dan beban kerja yang tidak proporsional adalah beberapa alasan utama mengapa banyak pekerja muda memilih untuk menarik diri secara perlahan dari tekanan pekerjaan. Mereka merasa bahwa tidak ada gunanya memberikan segalanya untuk pekerjaan yang tidak memberikan imbalan yang setimpal.

Di sisi lain, beberapa pengusaha dan manajer memandang quiet quitting sebagai masalah yang harus diatasi. Mereka beranggapan bahwa fenomena ini mencerminkan rendahnya loyalitas dan komitmen terhadap perusahaan.

Ilustrasi lingkungan kerja Toxic | Image by Kompas.tv
Ilustrasi lingkungan kerja Toxic | Image by Kompas.tv

Dari perspektif manajemen, karyawan yang terlibat dalam quiet quitting dianggap kurang berkontribusi pada perkembangan perusahaan, dan mungkin bahkan dianggap sebagai beban bagi tim kerja.

Namun, perlu diingat bahwa loyalitas karyawan tidak datang begitu saja. Penghargaan yang layak, kebijakan yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta kesempatan untuk berkembang adalah kunci untuk membangun loyalitas yang sesungguhnya.

Selain itu, quiet quitting juga bisa dilihat sebagai refleksi dari perubahan pandangan terhadap konsep kerja itu sendiri. Generasi muda saat ini cenderung lebih memilih fleksibilitas dan keseimbangan hidup daripada gaji yang tinggi atau jabatan yang prestisius.

Mereka menilai bahwa kesehatan mental, waktu bersama keluarga, dan pengalaman hidup lainnya jauh lebih berharga dibandingkan dengan penghargaan materi semata. Dalam hal ini, quiet quitting adalah bentuk negosiasi diam-diam yang dilakukan pekerja terhadap aturan main dunia kerja yang dianggap terlalu menuntut.

Fenomena ini juga memicu perdebatan tentang apa yang seharusnya menjadi definisi kesuksesan dalam dunia kerja. Apakah kesuksesan hanya diukur dari seberapa tinggi posisi yang bisa dicapai atau seberapa besar gaji yang diterima? Ataukah kesuksesan adalah ketika seseorang mampu menikmati hidup, memiliki waktu untuk hal-hal yang mereka sukai, dan tetap produktif tanpa harus mengorbankan kesehatannya?

Generasi muda semakin menuntut redefinisi kesuksesan yang lebih holistik, di mana kesejahteraan fisik, mental, dan emosional mendapatkan tempat yang sama pentingnya dengan pencapaian profesional.

Lebih jauh lagi, quiet quitting menyoroti pentingnya perusahaan untuk meninjau kembali praktik-praktik manajemen mereka. Mengharapkan karyawan untuk selalu memberikan 100% tanpa mempertimbangkan kebutuhan mereka di luar pekerjaan adalah pendekatan yang tidak berkelanjutan.

Dalam jangka panjang, hal ini hanya akan menciptakan karyawan yang kelelahan dan tidak termotivasi. Sebaliknya, perusahaan yang mendukung keseimbangan hidup karyawan, menyediakan jalur pengembangan karier yang jelas, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat akan lebih mampu mempertahankan tenaga kerja yang loyal dan produktif.

Ilustrasi mempertimbangkan peluang karier | Image by Indobot Academy
Ilustrasi mempertimbangkan peluang karier | Image by Indobot Academy

Bagi pekerja muda yang mungkin sedang mempertimbangkan quiet quitting, penting untuk diingat bahwa komunikasi dengan atasan juga merupakan kunci. Sebelum mengambil langkah ini, ada baiknya berdiskusi secara terbuka tentang perasaan dan ekspektasi terhadap pekerjaan.

Terkadang, solusi bisa ditemukan melalui negosiasi yang baik antara pekerja dan manajemen. Namun, jika lingkungan kerja memang tidak mendukung keseimbangan hidup, tidak ada salahnya mengambil langkah untuk melindungi diri sendiri.

Secara keseluruhan, quiet quitting adalah tanda dari perubahan besar dalam cara generasi muda memandang pekerjaan dan kehidupan. Ini adalah bentuk protes terhadap budaya kerja yang tidak manusiawi, dan pada saat yang sama, sebuah panggilan untuk menciptakan dunia kerja yang lebih seimbang dan berkelanjutan.

Di masa depan, mungkin kita akan melihat lebih banyak perusahaan yang mulai menyesuaikan diri dengan tuntutan generasi muda ini, menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi, fleksibel, dan mendukung kesejahteraan semua pihak.

Bagaimanapun, bekerja bukanlah satu-satunya tujuan hidup, dan generasi muda telah mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Pena Narr, Belajar Mencoret...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun