Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - طلب العلم

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menyaring Kandidat Pemimpin Lewat Etikabilitas, Intelektualitas, dan Elektabilitas

8 September 2024   06:01 Diperbarui: 8 September 2024   06:01 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lebih dari sekadar elektabilitas | Image by Rmol.id

Logika berpikir dalam politik sering kali menjadi pusat perhatian bagi mereka yang kritis terhadap proses demokrasi dan pemilihan pemimpin.

Rocky Gerung, salah satu pemikir kritis yang sering mengulas dunia politik di Indonesia, pernah menekankan tiga poin penting yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin, yaitu "etikabilitas, intelektualitas, dan elektabilitas" dikutip dari Rakyat Bersuara yang tayang di iNews pada Selasa (3/9/2024).

Jika kita ingin melihat kualitas pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan, maka tiga aspek ini tidak boleh diabaikan. Namun, apakah masyarakat pemilih sudah sepenuhnya memahami pentingnya ketiga poin ini?

Etikabilitas, Fondasi Moral yang Kerap Terabaikan

Etikabilitas dalam konteks ini, merujuk pada etika dan moralitas calon pemimpin. Dalam masyarakat yang kompleks seperti Indonesia, etika sering kali menjadi hal yang paling cepat tergerus oleh kebutuhan pragmatis dalam politik. Kita sering mendengar slogan-slogan moral dari para politisi, tetapi apakah janji moral tersebut benar-benar ditepati?

Masyarakat sering kali terjebak dalam dinamika politik yang mengaburkan batas antara kebenaran dan kebohongan. Kita lebih sibuk melihat seberapa sering seorang calon tampil di media atau seberapa sering mereka memberikan bantuan materi, tetapi jarang kita menggali lebih dalam tentang integritas pribadi mereka.

Padahal, seorang pemimpin yang etikabilitasnya baik akan memiliki komitmen kuat untuk menjaga nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat, meskipun itu sulit dilakukan di tengah godaan kekuasaan.

Namun, di realitas politik, banyak yang memilih mengabaikan etikabilitas ini. Kita bisa melihat contoh bagaimana kasus korupsi dan pelanggaran moral sering kali melibatkan tokoh politik yang seharusnya menjadi panutan. Ketika hal ini dibiarkan terjadi, masyarakat pada akhirnya beradaptasi dengan standar moral yang semakin rendah. Pemimpin yang lolos dari tuduhan etika dianggap sebagai hal yang normal.

Intelektualitas, Bukan Sekadar Cerdas Tapi Juga Visioner

Intelektualitas adalah kemampuan seorang pemimpin untuk berpikir secara kritis, analitis, dan menyusun strategi. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat.

Mereka harus bisa memimpin dengan wawasan luas, pemahaman mendalam tentang isu-isu global dan lokal, serta kemampuan untuk memecahkan masalah yang kompleks.

Namun, kenyataannya tidak semua pemimpin yang dipilih berdasarkan intelektualitas. Masyarakat sering kali terbuai dengan tampilan luar seorang calon, daripada melihat sejauh mana kapasitas intelektualnya.

Misalnya, pemimpin yang cerdas dalam menyampaikan pidato atau memiliki tim media sosial yang pandai membuat konten mungkin lebih menarik perhatian daripada mereka yang sungguh-sungguh berpikir tentang kebijakan yang komprehensif dan mendalam.

Intelektualitas seharusnya menjadi salah satu penentu utama dalam memilih pemimpin. Namun, jika pemilih tidak cukup diberi kesempatan untuk memahami gagasan dan pemikiran seorang calon, maka kita akan selalu terjebak dalam politik pencitraan. Kita butuh pemimpin yang mampu berpikir jauh ke depan, memikirkan masa depan negara, dan tidak hanya mengejar popularitas jangka pendek.

Elektabilitas, Kebutuhan atau Justifikasi?

Elektabilitas merujuk pada daya tarik seorang calon di mata masyarakat, yang kemudian tercermin dalam jumlah suara yang mereka peroleh. Dalam politik demokrasi, elektabilitas memang menjadi tolak ukur penting, karena tanpa elektabilitas, seorang calon tak akan pernah bisa duduk di kursi kekuasaan.

Namun, elektabilitas sering kali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, popularitas memang penting untuk memenangkan pemilu, tapi di sisi lain, popularitas ini sering kali didorong oleh hal-hal superfisial.

Media sosial, misalnya, telah mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia politik. Seorang calon yang pandai menggunakan media sosial bisa dengan mudah membangun citra positif, meski mungkin tidak memiliki kompetensi atau integritas yang memadai.

Di sinilah masyarakat perlu berhati-hati. Elektabilitas yang tinggi tidak selalu berarti calon tersebut layak memimpin. Popularitas bukan jaminan kualitas. Dalam banyak kasus, calon dengan elektabilitas tinggi justru lebih mengandalkan pencitraan daripada substansi.

Mereka bisa meraih simpati dengan janji-janji manis yang belum tentu bisa mereka tepati. Oleh karena itu, penting bagi pemilih untuk tidak hanya melihat elektabilitas semata, tetapi juga menilai dua aspek lain, yaitu etikabilitas dan intelektualitas.

Tantangan Masyarakat, Memilih dengan Kesadaran

Jika kita kembali pada gagasan Rocky Gerung, penting bagi kita untuk mengedukasi masyarakat bahwa memilih pemimpin tidak boleh sekadar berdasarkan elektabilitas. Pemimpin yang terpilih harus lolos dari tiga poin penting, yaitu etikabilitas, intelektualitas, dan elektabilitas. Ketiganya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.

Etikabilitas memberikan fondasi moral, intelektualitas memberikan arah visi, dan elektabilitas memastikan bahwa pemimpin tersebut memiliki dukungan rakyat. Namun, dalam praktiknya, bagaimana kita bisa mendorong masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih?

Pertama, kita harus meningkatkan literasi politik. Masyarakat perlu diajak untuk lebih kritis dalam memahami latar belakang calon pemimpin, bukan hanya dari sisi popularitas, tetapi juga dari sisi moral dan intelektual mereka. Debat calon pemimpin harus lebih diarahkan pada gagasan substantif dan bukan sekadar ajang menunjukkan siapa yang paling pandai berbicara.

Kedua, pendidikan politik yang merata juga penting. Jika sebagian besar masyarakat masih terpaku pada politik uang atau janji-janji palsu, kita tidak akan pernah bisa memilih pemimpin yang berkualitas. Di sinilah peran lembaga pendidikan, media, dan komunitas masyarakat sipil sangat penting untuk membentuk kesadaran politik yang lebih baik.

Akhirnya, pilihan ada di tangan kita sebagai masyarakat. Jika kita hanya melihat pemimpin dari segi elektabilitasnya saja, maka kita berisiko memilih mereka yang pandai bicara tapi minim prestasi.

Namun, jika kita memperhatikan juga etikabilitas dan intelektualitas, maka kita akan lebih mungkin menemukan pemimpin yang benar-benar layak memimpin. Seperti yang dikatakan Rocky Gerung, pemimpin sejati harus lolos dari ketiga tantangan ini. Dan itu tergantung pada kita, pemilih, untuk memastikan bahwa hal tersebut terjadi.

Pena Narr, Belajar Mencoret...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun