Misalnya, pemimpin yang cerdas dalam menyampaikan pidato atau memiliki tim media sosial yang pandai membuat konten mungkin lebih menarik perhatian daripada mereka yang sungguh-sungguh berpikir tentang kebijakan yang komprehensif dan mendalam.
Intelektualitas seharusnya menjadi salah satu penentu utama dalam memilih pemimpin. Namun, jika pemilih tidak cukup diberi kesempatan untuk memahami gagasan dan pemikiran seorang calon, maka kita akan selalu terjebak dalam politik pencitraan. Kita butuh pemimpin yang mampu berpikir jauh ke depan, memikirkan masa depan negara, dan tidak hanya mengejar popularitas jangka pendek.
Elektabilitas, Kebutuhan atau Justifikasi?
Elektabilitas merujuk pada daya tarik seorang calon di mata masyarakat, yang kemudian tercermin dalam jumlah suara yang mereka peroleh. Dalam politik demokrasi, elektabilitas memang menjadi tolak ukur penting, karena tanpa elektabilitas, seorang calon tak akan pernah bisa duduk di kursi kekuasaan.
Namun, elektabilitas sering kali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, popularitas memang penting untuk memenangkan pemilu, tapi di sisi lain, popularitas ini sering kali didorong oleh hal-hal superfisial.
Media sosial, misalnya, telah mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia politik. Seorang calon yang pandai menggunakan media sosial bisa dengan mudah membangun citra positif, meski mungkin tidak memiliki kompetensi atau integritas yang memadai.
Di sinilah masyarakat perlu berhati-hati. Elektabilitas yang tinggi tidak selalu berarti calon tersebut layak memimpin. Popularitas bukan jaminan kualitas. Dalam banyak kasus, calon dengan elektabilitas tinggi justru lebih mengandalkan pencitraan daripada substansi.
Mereka bisa meraih simpati dengan janji-janji manis yang belum tentu bisa mereka tepati. Oleh karena itu, penting bagi pemilih untuk tidak hanya melihat elektabilitas semata, tetapi juga menilai dua aspek lain, yaitu etikabilitas dan intelektualitas.
Tantangan Masyarakat, Memilih dengan Kesadaran
Jika kita kembali pada gagasan Rocky Gerung, penting bagi kita untuk mengedukasi masyarakat bahwa memilih pemimpin tidak boleh sekadar berdasarkan elektabilitas. Pemimpin yang terpilih harus lolos dari tiga poin penting, yaitu etikabilitas, intelektualitas, dan elektabilitas. Ketiganya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.
Etikabilitas memberikan fondasi moral, intelektualitas memberikan arah visi, dan elektabilitas memastikan bahwa pemimpin tersebut memiliki dukungan rakyat. Namun, dalam praktiknya, bagaimana kita bisa mendorong masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih?
Pertama, kita harus meningkatkan literasi politik. Masyarakat perlu diajak untuk lebih kritis dalam memahami latar belakang calon pemimpin, bukan hanya dari sisi popularitas, tetapi juga dari sisi moral dan intelektual mereka. Debat calon pemimpin harus lebih diarahkan pada gagasan substantif dan bukan sekadar ajang menunjukkan siapa yang paling pandai berbicara.
Kedua, pendidikan politik yang merata juga penting. Jika sebagian besar masyarakat masih terpaku pada politik uang atau janji-janji palsu, kita tidak akan pernah bisa memilih pemimpin yang berkualitas. Di sinilah peran lembaga pendidikan, media, dan komunitas masyarakat sipil sangat penting untuk membentuk kesadaran politik yang lebih baik.