Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Reorientasi Pendidikan Tinggi, Kuliah untuk Belajar, Bukan Sekadar Mencari Kerja

7 September 2024   12:24 Diperbarui: 7 September 2024   14:59 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi normalisasi kuliah untuk belajar bukan alat mencari pekerjaan | Image by Dictio.id | Madeline

Pernahkah kita merenung, mengapa pendidikan tinggi kerap kali dipersepsikan sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan, alih-alih tempat yang seharusnya didedikasikan untuk pembelajaran dan pengembangan intelektual?

Dalam realitas sosial kita, kuliah sering kali dipandang sebagai langkah instrumental menuju karir, namun jarang sekali kita mengeksplorasi nilai intrinsik dari proses pendidikan itu sendiri.

Sudah waktunya kita menggeser paradigma ini bahwa kuliah seharusnya berfungsi sebagai ruang untuk belajar, memperkaya wawasan, dan memperdalam ilmu, bukan sekadar menjadi jembatan menuju dunia kerja.

Mengapa Kuliah Diharapkan Menjadi Jalan Menuju Pekerjaan?

Sejak kecil, banyak di antara kita sudah diajarkan bahwa kuliah adalah instrumen penting untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Ada semacam jalan lurus yang dirancang dari awal, yaitu lulus sekolah, masuk universitas, dan akhirnya bekerja di perusahaan bergengsi dengan gaji besar.

Pendidikan tinggi dianggap sebagai tangga sosial yang perlu dilalui demi stabilitas finansial dan status sosial. Sistem ini didukung oleh struktur ekonomi dan sosial yang mengarahkan para lulusan untuk mencari pekerjaan, sering kali tanpa mempertimbangkan apakah proses pembelajaran yang mereka jalani selama kuliah benar-benar memberikan nilai yang mendalam.

Namun, kenyataannya tidak seindah itu. Banyak lulusan yang, setelah menempuh pendidikan tinggi, masih sulit mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini kemudian menimbulkan rasa kecewa dan frustrasi, yang pada gilirannya membuat mereka mempertanyakan tujuan dari kuliah yang telah mereka jalani.

Lulusan ini merasa bahwa mereka telah "ditipu" oleh janji bahwa gelar akan membuka pintu dunia kerja dengan lebar. Tetapi apakah masalah sebenarnya terletak pada pendidikan itu sendiri, atau pada ekspektasi yang salah tentang tujuan kuliah?

Ilustrasi normalisasi kuliah untuk belajar bukan alat mencari pekerjaan | Image by Dictio.id | Madeline
Ilustrasi normalisasi kuliah untuk belajar bukan alat mencari pekerjaan | Image by Dictio.id | Madeline

Melihat Kembali Tujuan Utama Pendidikan

Jika kita menilik sejarah pendidikan tinggi, universitas pada awalnya dibangun sebagai institusi untuk mencari ilmu, bukan sebagai mesin pencetak pekerja. Pembelajaran, pengembangan intelektual, dan eksplorasi ide adalah inti dari pendidikan tinggi. Proses ini dirancang untuk memperluas wawasan, mengasah kemampuan berpikir kritis, serta mendorong mahasiswa untuk berpikir secara mandiri.

Namun, di era modern ini, tujuan-tujuan luhur tersebut sering kali tenggelam dalam obsesi akan pencapaian karier. Kuliah sering dipandang sebagai alat yang harus menghasilkan keuntungan ekonomi, bukan sebagai sarana pembelajaran yang mandiri. Mahasiswa berfokus pada bagaimana mendapatkan IPK tinggi untuk menarik perhatian perusahaan, alih-alih memahami esensi dari ilmu yang dipelajari.

Pergeseran paradigma ini bisa dikatakan problematik. Ketika kita hanya berfokus pada aspek ekonomi dari pendidikan, kita melupakan aspek penting lainnya: pengembangan diri. Seharusnya, kuliah tidak hanya tentang menyiapkan diri untuk bekerja, tapi juga membentuk individu yang berpikir kritis, adaptif, dan inovatif kualitas yang sebetulnya sangat dibutuhkan di dunia kerja.

Realitas Dunia Kerja, Tidak Sebatas Gelar

Salah satu alasan penting mengapa normalisasi kuliah untuk belajar perlu didorong adalah karena dunia kerja tidak hanya menilai seseorang dari gelar atau IPK semata. Banyak perusahaan, terutama di era modern, lebih menghargai skill set yang spesifik, kemampuan berpikir kritis, serta keterampilan interpersonal. 

Seseorang yang hanya mengandalkan gelar tanpa mengasah kemampuan ini bisa saja tertinggal di pasar kerja yang sangat kompetitif.

Di sinilah masalah besar terjadi. Mahasiswa sering kali terjebak dalam rutinitas belajar demi nilai, bukan untuk memahami atau menguasai materi yang sebenarnya dapat berguna dalam kehidupan nyata. Saat dunia kerja menuntut keterampilan praktis, lulusan yang hanya fokus pada gelar akan kewalahan ketika dihadapkan dengan tantangan di luar teori.

Salah satu contoh nyata adalah bagaimana mahasiswa teknik dan bahasa bisa saja lulus dengan nilai yang sangat baik tetapi kesulitan ketika dihadapkan dengan masalah riil di lapangan. Hal ini terjadi karena selama kuliah, orientasi belajarnya bukan untuk memahami ilmu secara mendalam, melainkan sekadar memenuhi standar nilai.

Membangun Mindset Belajar yang Sejati

Untuk memperbaiki masalah ini, kita harus mulai membangun mindset yang lebih sehat tentang kuliah. Langkah pertama adalah menggeser pandangan bahwa kuliah harus berorientasi pada hasil (pekerjaan), menjadi kuliah sebagai proses belajar yang dinamis. Artinya, mahasiswa perlu menyadari bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang lebih berfokus pada pengembangan diri daripada sekadar mencapai target karir tertentu.

Dalam konteks ini, belajar bukan hanya tentang menguasai teori di kelas, tetapi juga tentang memahami bagaimana ilmu tersebut dapat diterapkan di berbagai aspek kehidupan. 

Kuliah seharusnya menjadi arena di mana mahasiswa bebas mengeksplorasi minat, belajar berpikir kritis, dan membangun keterampilan yang relevan untuk kehidupan di luar kampus. Pendidikan tinggi adalah tentang bagaimana seseorang membangun dirinya sebagai pribadi yang utuh, bukan sekadar memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Merangkul Pembelajaran sebagai Tujuan Utama

Normalisasi kuliah untuk belajar, bukan sekadar mencari kerja, juga akan membantu mengatasi ketidakpuasan yang dirasakan banyak lulusan. Jika seseorang masuk kuliah dengan ekspektasi bahwa proses pembelajaran itulah yang utama, bukan hasil akhirnya, maka kemungkinan besar mereka akan merasa lebih puas dengan apa yang mereka dapatkan.

Belajar adalah proses yang tidak pernah berhenti, dan jika ini yang menjadi orientasi utama, maka pekerjaan akan datang sebagai konsekuensi alami dari keterampilan dan pemahaman yang dibangun selama kuliah.

Namun, untuk mencapai perubahan ini, diperlukan dukungan dari banyak pihak. Institusi pendidikan, misalnya, harus mulai menekankan pentingnya pembelajaran yang mendalam dan aplikatif, alih-alih hanya berfokus pada pencapaian akademik semata.

Di sisi lain, masyarakat perlu memahami bahwa sukses di dunia kerja tidak hanya bergantung pada gelar, tetapi juga pada sejauh mana seseorang bisa mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajarinya.

Ubah Ekspektasi, Ubah Hasil

Normalisasi kuliah sebagai tempat belajar, bukan hanya alat untuk mencari kerja, adalah langkah penting untuk memperbaiki paradigma kita tentang pendidikan tinggi. Dunia kerja tidak akan lari kemana-mana, tapi kemampuan berpikir kritis, keterampilan beradaptasi, dan semangat belajar seumur hidup adalah hal-hal yang seharusnya menjadi tujuan utama dari pendidikan.

Dengan membangun ekspektasi yang lebih realistis tentang kuliah, kita akan menciptakan lulusan yang tidak hanya siap untuk bekerja, tetapi juga siap untuk terus belajar dan berkontribusi pada masyarakat dalam berbagai cara. 

Pada akhirnya, pendidikan tinggi seharusnya lebih dari sekadar jembatan menuju pekerjaan ia adalah fondasi bagi pengembangan individu yang utuh.

Pena Narr, Belajar Mencoret.

***

Daftar Bacaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun