Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - طلب العلم

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pertanyaan Kritis atau Stigma "Cari Muka"? Keresahan Publik di Balik Partisipasi Akademis

29 Agustus 2024   13:08 Diperbarui: 29 Agustus 2024   16:23 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lingkungan akademis, diskusi kelompok sering kali menjadi ajang yang penting untuk berbagi ide, mengasah pemikiran kritis, dan mendapatkan wawasan baru.

Namun, ada satu fenomena yang kerap kali menimbulkan keresahan, terutama di kalangan mahasiswa, yaitu perasaan takut atau enggan bertanya kepada pemateri dari kelompok lain.

Ketakutan ini bukan semata-mata karena kurangnya pemahaman terhadap materi yang dibahas, melainkan karena adanya stigma bahwa bertanya, terutama dengan pertanyaan yang kritis, dapat dianggap sebagai upaya untuk 'cari muka' di hadapan dosen.

Dilema Bertanya dalam Diskusi Kelompok

Dalam setiap diskusi kelompok, terutama yang melibatkan presentasi dari kelompok lain, bertanya seharusnya menjadi bagian integral dari proses belajar. Pertanyaan kritis tidak hanya membantu klarifikasi topik yang mungkin kurang dipahami, tetapi juga mendorong diskusi yang lebih dalam dan bermanfaat bagi semua peserta.

Sayangnya, niat baik ini sering kali disalahartikan. Ketika seorang mahasiswa melontarkan pertanyaan yang mendalam atau kritis, tidak jarang muncul pandangan skeptis dari rekan-rekannya. Pertanyaan itu, bukannya dianggap sebagai kontribusi positif, malah dipandang sebagai upaya untuk 'cari muka' atau menonjolkan diri di depan dosen.

Stigma ini menciptakan dilema tersendiri bagi mahasiswa. Di satu sisi, mereka ingin terlibat aktif dalam diskusi, menunjukkan pemahaman mereka, dan mungkin juga memperluas wawasan teman-teman mereka. Di sisi lain, mereka khawatir akan pandangan negatif yang bisa muncul dari tindakan tersebut.

Akibatnya, banyak mahasiswa yang memilih untuk diam, meskipun sebenarnya mereka memiliki pertanyaan atau komentar yang dapat memperkaya diskusi. Fenomena ini tentunya merugikan, tidak hanya bagi individu yang merasa terhambat untuk bertanya, tetapi juga bagi kualitas diskusi secara keseluruhan.

Asal Usul Stigma 'Cari Muka'

Stigma 'cari muka' ini mungkin berasal dari budaya akademis yang terlalu mengedepankan penilaian dosen sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Dalam konteks ini, mahasiswa sering kali merasa bahwa perhatian dosen adalah sesuatu yang sangat penting, dan cara terbaik untuk mendapatkannya adalah dengan menunjukkan pengetahuan atau keaktifan dalam diskusi.

Ketika seorang mahasiswa tampak terlalu menonjol dalam diskusi, terutama jika sering bertanya atau mengkritik, ia bisa dianggap sedang berusaha untuk menarik perhatian dosen demi mendapatkan penilaian yang lebih baik. Ini menjadi lebih kompleks jika mahasiswa tersebut dikenal sebagai individu yang ambisius, yang kemudian menimbulkan asumsi bahwa setiap tindakannya, termasuk bertanya dalam diskusi, semata-mata dilakukan untuk 'cari muka'.

Padahal, tidak semua pertanyaan kritis muncul dari keinginan untuk menonjolkan diri. Banyak mahasiswa yang benar-benar tertarik pada materi dan ingin memahami lebih dalam. Namun, asumsi bahwa setiap pertanyaan kritis adalah upaya 'cari muka' sering kali membuat motivasi mereka disalahartikan. Ketidakadilan ini menciptakan lingkungan akademis yang kurang sehat, di mana niat baik bisa dipandang dengan sinis, dan keinginan untuk belajar justru terhambat oleh ketakutan akan stigma negatif.

Dampak Negatif pada Proses Belajar

Stigma ini berdampak serius pada proses belajar. Ketika mahasiswa merasa takut untuk bertanya karena khawatir dianggap 'cari muka', mereka kehilangan kesempatan untuk memperjelas pemahaman mereka, menguji ide-ide baru, dan bahkan untuk mengkritisi materi yang disampaikan.

Diskusi yang seharusnya menjadi ajang pertukaran ide yang dinamis dan konstruktif menjadi dangkal dan minim partisipasi. Dalam jangka panjang, ini bisa menghambat perkembangan intelektual mahasiswa dan merugikan pengalaman belajar mereka secara keseluruhan.

Selain itu, rasa takut bertanya juga dapat menimbulkan perasaan frustrasi dan ketidakpuasan di kalangan mahasiswa. Ketika mereka merasa bahwa mereka tidak dapat mengekspresikan diri atau mengajukan pertanyaan penting karena khawatir akan pandangan negatif dari rekan-rekannya, mereka mungkin mulai meragukan nilai dari partisipasi aktif dalam diskusi akademis.

Ini bisa mengarah pada sikap apatis, di mana mahasiswa lebih memilih untuk tidak terlibat dan hanya menjadi penonton pasif dalam proses belajar.

Mengubah Persepsi, Membangun Lingkungan Akademis yang Sehat

Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya perubahan dalam cara pandang terhadap pertanyaan kritis dalam diskusi kelompok. Pertama, dosen dan pengajar harus lebih aktif dalam mendorong partisipasi mahasiswa tanpa memberikan kesan bahwa mereka lebih menghargai mahasiswa yang 'cari muka'.

Dosen bisa menekankan bahwa bertanya dan mengkritisi adalah bagian penting dari proses belajar yang normal dan harus dilihat sebagai hal positif, bukan sebagai upaya untuk menonjolkan diri.

Selain itu, perlu dibangun budaya akademis di mana setiap pertanyaan, baik kritis maupun sederhana, diterima dengan baik dan dianggap sebagai kontribusi yang berharga. Mahasiswa harus merasa bahwa mereka berada dalam lingkungan yang mendukung, di mana mereka bisa mengajukan pertanyaan tanpa takut dihakimi oleh rekan-rekannya.

Ini bisa dilakukan dengan memberikan apresiasi terhadap setiap partisipasi dalam diskusi, dan dengan mengajak mahasiswa untuk melihat pertanyaan sebagai peluang belajar bersama, bukan sebagai ajang kompetisi.

Mengubah stigma ini juga memerlukan perubahan sikap dari mahasiswa itu sendiri. Mereka harus belajar untuk menghargai pertanyaan dari rekan-rekannya, dan melihatnya sebagai bagian dari proses pembelajaran yang kolektif. Dengan membangun sikap saling mendukung dan menghargai, mereka dapat menciptakan lingkungan akademis yang lebih inklusif dan produktif.

***

Diskusi kelompok seharusnya menjadi kesempatan untuk belajar, berbagi ide, dan mengembangkan pemikiran kritis. Namun, stigma bahwa bertanya kritis adalah 'cari muka' sering kali menghambat proses ini. Untuk menciptakan lingkungan akademis yang sehat dan produktif, perlu ada perubahan dalam cara pandang terhadap partisipasi mahasiswa dalam diskusi.

Dengan mendukung dan menghargai setiap pertanyaan yang diajukan, kita bisa memastikan bahwa diskusi kelompok menjadi ajang belajar yang benar-benar bermanfaat bagi semua peserta.

Pena Narr, Belajar Mencoret...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun