Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - طلب العلم

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pertanyaan Kritis atau Stigma "Cari Muka"? Keresahan Publik di Balik Partisipasi Akademis

29 Agustus 2024   13:08 Diperbarui: 29 Agustus 2024   16:23 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diskusi kelompok | Image by Merdeka.com

Ketika seorang mahasiswa tampak terlalu menonjol dalam diskusi, terutama jika sering bertanya atau mengkritik, ia bisa dianggap sedang berusaha untuk menarik perhatian dosen demi mendapatkan penilaian yang lebih baik. Ini menjadi lebih kompleks jika mahasiswa tersebut dikenal sebagai individu yang ambisius, yang kemudian menimbulkan asumsi bahwa setiap tindakannya, termasuk bertanya dalam diskusi, semata-mata dilakukan untuk 'cari muka'.

Padahal, tidak semua pertanyaan kritis muncul dari keinginan untuk menonjolkan diri. Banyak mahasiswa yang benar-benar tertarik pada materi dan ingin memahami lebih dalam. Namun, asumsi bahwa setiap pertanyaan kritis adalah upaya 'cari muka' sering kali membuat motivasi mereka disalahartikan. Ketidakadilan ini menciptakan lingkungan akademis yang kurang sehat, di mana niat baik bisa dipandang dengan sinis, dan keinginan untuk belajar justru terhambat oleh ketakutan akan stigma negatif.

Dampak Negatif pada Proses Belajar

Stigma ini berdampak serius pada proses belajar. Ketika mahasiswa merasa takut untuk bertanya karena khawatir dianggap 'cari muka', mereka kehilangan kesempatan untuk memperjelas pemahaman mereka, menguji ide-ide baru, dan bahkan untuk mengkritisi materi yang disampaikan.

Diskusi yang seharusnya menjadi ajang pertukaran ide yang dinamis dan konstruktif menjadi dangkal dan minim partisipasi. Dalam jangka panjang, ini bisa menghambat perkembangan intelektual mahasiswa dan merugikan pengalaman belajar mereka secara keseluruhan.

Selain itu, rasa takut bertanya juga dapat menimbulkan perasaan frustrasi dan ketidakpuasan di kalangan mahasiswa. Ketika mereka merasa bahwa mereka tidak dapat mengekspresikan diri atau mengajukan pertanyaan penting karena khawatir akan pandangan negatif dari rekan-rekannya, mereka mungkin mulai meragukan nilai dari partisipasi aktif dalam diskusi akademis.

Ini bisa mengarah pada sikap apatis, di mana mahasiswa lebih memilih untuk tidak terlibat dan hanya menjadi penonton pasif dalam proses belajar.

Mengubah Persepsi, Membangun Lingkungan Akademis yang Sehat

Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya perubahan dalam cara pandang terhadap pertanyaan kritis dalam diskusi kelompok. Pertama, dosen dan pengajar harus lebih aktif dalam mendorong partisipasi mahasiswa tanpa memberikan kesan bahwa mereka lebih menghargai mahasiswa yang 'cari muka'.

Dosen bisa menekankan bahwa bertanya dan mengkritisi adalah bagian penting dari proses belajar yang normal dan harus dilihat sebagai hal positif, bukan sebagai upaya untuk menonjolkan diri.

Selain itu, perlu dibangun budaya akademis di mana setiap pertanyaan, baik kritis maupun sederhana, diterima dengan baik dan dianggap sebagai kontribusi yang berharga. Mahasiswa harus merasa bahwa mereka berada dalam lingkungan yang mendukung, di mana mereka bisa mengajukan pertanyaan tanpa takut dihakimi oleh rekan-rekannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun