Mohon tunggu...
narti
narti Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa

menulis, membaca, masak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Noktah Hitam di balik lembutnya kain kapas

15 Desember 2024   15:47 Diperbarui: 15 Desember 2024   15:47 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penurunan produksi kapas menyebabkan Indonesia harus mengimpor demi menutupi kebutuhan kapas nasional. Berdasarkan data United States Department of Agriculture, Indonesia menempati peringkat ketiga importir kapas terbesar di dunia (Emeria, 2023). Badan Pusat Statistik menjabarkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan impor kapas selama tahun 2019-2022. Indonesia mengimpor kapas sebesar 14.843 ton pada tahun 2019 dan sempat menurun pada tahun 2020 menjadi 12.588 ton. Namun, meningkat hingga 65,82% pada 2021 yakni mencapai 20.873 ton. Jumlah  tersebut melonjak 43,28% pada 2020 yaitu menyentuh angka 29.908 ton. Tiga negara terbesar pemasok kapas ke Indonesia adalah Vietnam dengan jumlah 45,65%, Tiongkok mencapai angka 27,80%, dan India sebesar 8,20% (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 2023). Namun, tingkat konsumsi kapas Indonesia---termasuk impor---yang sangat besar ini telah berkontribusi terhadap masalah lingkungan. Seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa produksi kapas menyebabkan kerusakan lingkungan, layaknya yang terjadi di Xianjing sebagai daerah penghasil kapas utama di Tiongkok. 

Produksi kapas melalui sistem irigasi berkembang cepat selama dua dekade belakangan di Xianjing---tepatnya di daerah Aksu-Tarim---hal ini mengakibatkan eksploitasi sumber daya air secara berlebihan. Meluasnya lahan irigasi untuk memproduksi kapas secara pesat mengakibatkan lonjakan konsumsi air pertanian. Air permukaan yang diambil dengan berlebih juga mengurangi limpasan sungai dan berdampak buruk terhadap ekosistem alam di sepanjang hilir Sungai Tarim. Konsumsi air pertanian yang melonjak tentu berdampak terhadap pengambilan air tanah. Akhirnya, eksploitasi air tanah ini berpengaruh negatif pada riparian yang kebanyakan diisi oleh populus euphratica dan tamarix sebab keduanya sangat bergantung terhadap ketersediaan air tanah (Feike, et al., 2017). Indonesia memang tidak berperan langsung dalam kerusakan alam yang timbul akibat produksi tanaman kapas. Namun, tingkat konsumsi kapas nasional yang tinggi dan ditopang oleh impor dari sejumlah negara seperti Tiongkok, telah menjadikan Indonesia secara tidak langsung berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Seolah-olah Indoneia ikut mendorong kerusakan lingkungan dengan mengimpor kapas sekaligus mengonsumsinya dalam jumlah raksasa. Indonesia telah meninggalkan jejak hitam pada dongeng produksi kapas. 

Apakah Kapas Mampu Tergantikan?

Sebenarnya, penggunaan rayon dan polyester---terutama rayon---sebagai bahan baku pengganti kapas telah dilakukan oleh ITPT untuk memproduksi kebutuhan dalam negeri. Hal ini dipicu oleh harga kapas yang meningkat dan rayon serta polyester memiliki harga lebih murah dibanding kapas. Pada tahun 2019 konsumsi serat kapas di Indonesia sebesar 28% dan disusul rayon yang mampu menyentuh 17% (Rabbi, 2021). Selain itu, Indonesia dapat menghasilkan serat rayon dan polyester sendiri. Tercatat Indonesia menduduki peringkat kedua terbesar di dunia sebagai produsen rayon dengan tingkat produksi pada 2022 mencapai 1 juta/tahun. Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menjabarkan bahwa produksi rayon akan semakin gencar guna mengganti kapas yang proses produksinya menyerap banyak sekali air (Fauzan, 2022). Namun, beberapa sifat kapas tidak dapat digantikan oleh bahan rayon. Untuk mengakali masalah tersebut, dilakukan pencampuran antara rayon, polyester, dan serat bambu untuk menghasilkan produk yang memenuhi kriteria kapas dan ekspor. Lebih lanjut, kriteria kapas telah berhasil diciptakan dalam bahan polyester oleh industri polyester domestik (Wahyudi, 2021). 

Sayangnya, penggunaan bahan polyester dan rayon berpeluang menimbulkan dampak negatif bagi tubuh. Polyester dapat mengakibatkan iritasi kulit dan alergi akibat zat kimia seperti anti-kusut dan pewarna yang terkandung dalam polyester. Contoh gejalanya seperti kulit kering, mengelupas, gatal, muncul kemerahan, dan ruam-ruam. Keringat juga tidak dapat diserap secara maksimal oleh polyester sehingga menyebabkan kulit infeksi dan lembab. Berbagai dampak ini akan lebih mudah timbul bagi orang yang memiliki jenis kulit sensitif. Bahkan gejala sesak napas hingga bagian tubuh membengkak dapat menyerang orang yang mempunyai alergi terhadap polyester (Laraswati, 2024). Sedangkan rayon turut dapat menimbulkan alergi dan iritasi pada kulit akibat sisa-sisa zat kimia yang digunakan dalam tahapan produksi. Maka dari itu, risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh kapas lebih aman dibandingkan dengan polyester maupun rayon sehingga kapas masih menjadi bahan tekstil favorit bagi sebagian besar orang. Namun, tersimpan sejuta cerita kelam di balik nyamannya kain katun tersebut. Manusia yang dibekali akal dan perasaan harus mulai memikirkan dan merefleksikan dampak negatif dari produksi kapas. Pelan-pelan, setiap insan diharapkan untuk sadar dan lebih bijak dalam menggunakan kapas. Efek panjang yang diakibatkan oleh produksi kapas dapat sangat mengerikan jika dibiarkan begitu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun