Mohon tunggu...
narti
narti Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa

menulis, membaca, masak.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Noktah Hitam di balik nyamannya Kain Kapas

15 Desember 2024   12:03 Diperbarui: 15 Desember 2024   12:03 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanaman kapas memang jenis tanaman yang membutuhkan banyak air---terutama pada tahap awal penanaman. Pasokan air ini tidak bisa hanya mengandalkan dari curah hujan. Apalagi jika musim kemarau tiba, petani harus menyediakan irigasi atau cadangan air untuk mengairi lahan tanaman kapas. Hal tersebut menyebabkan dampak negatif yang sangat besar dari produksi kapas. Dampak negatif ini tidak sebanding dengan pemanfaatan yang didapat. Berangkat dari permasalahan tersebut, topik ini sangat perlu untuk dibahas guna memberikan informasi terhadap banyak orang mengenai produksi kapas yang memberikan dampak buruk bagi sumber daya alam sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi air yang berlebihan. 

Tanaman Kapas (Gossypium hirsutum L.) merupakan salah satu tanaman budidaya yang memiliki nilai tinggi dalam produksinya. Selain sebagai bahan bantu untuk perawatan kecantikan para wanita pada saat menggunakan produk kecantikan yang bersifat cair seperti  micellar water, toner, essence, dan sebagainya, kapas juga menjadi salah satu tanaman untuk bahan baku industri tekstil penting di dunia. Serat tanaman kapas dimanfaatkan untuk bahan sandang, sedangkan bijinya digunakan untuk bahan industri. Awal mulanya, kapas dikenalkan oleh negara India pada 5000 tahun yang lalu. Pada saat itu, masyarakat di daerah India sudah gencar membudidayakan tanaman kapas. Kemudian, kapas semakin dikenal oleh masyarakat luas dan berkembang sampai daratan Cina hingga Mediterania. Saat ini, Cina dan India menjadi eksportir kapas terbesar di dunia. Tingkat produksi kapas tertinggi negara Cina, memiliki proyeksi tingkat produksi yang mencapai 27,5 juta bal kapas. Cina mendapatkan dukungan kombinasi iklim yang sangat mendukung dalam menghasilkan sebuah kapas sebab tanaman kapas sangat bergantung pada kondisi iklim. Beberapa faktor iklim yang turut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kapas adalah suhu dan kelembaban udara, curah hujan, intensitas cahaya matahari, serta angin. Proses budidaya tanaman kapas sangat dikenal dengan kebutuhannya terhadap saluran air karena panjang akar pada tanaman kapas dapat mencapai 4 meter menembus dalam tanah. Inilah yang menyebabkan mengapa kapas sangat membutuhkan ikim yang mengandung banyak air dalam membudidayakannya. 

Setiap satu kilogram tanaman kapas diperkirakan membutuhkan sebanyak 10.000 liter air menurut Water Footprint Network. World Wide Fund (WWF) menerangkan bahwa jumlah air yang digunakan untuk menghasilkan satu kilogram kapas setara dengan kebutuhan air minum satu orang selama tiga tahun. Padahal ini hanya untuk memproduksi kapas sekali pakai. Sedangkan, untuk memproduksi satu baju rata-rata membutuhkan sekitar 5.000 liter air. 

Air Laut Aral yang Hilang Ditelan Kapas

Laut Aral merupakan salah satu contoh kerusakan alam yang hebat akibat produksi kapas. Dulunya, Laut Aral adalah danau payau (air asin) terbesar keempat di dunia dengan air yang bersumber dari Sungai Amu Darya dan Sungai Syr Darya. Laut Aral yang membentang seluas 68.000 kilometer sebenarnya bukanlah laut, melainkan danau. Saking besarnya, Danau Aral terlihat seperti laut, sehingga disebut dengan Laut Aral. Laut Aral terletak di Uzbekistan, antara Kazakhstan dan Karakalpakstan. Di dalam Laut Aral terdapat sumber daya alam hewani yang dapat dijadikan mata penghasilan masyarakat di sana dan juga untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Setiap tahunnya, Laut Aral mampu menghasilkan hingga ribuan ton ikan. Laut Aral diibaratkan sebagai oasis di tengah gurun yang panas selama ratusan tahun. Namun, keuntungan alam di Laut Aral telah berubah semenjak Uni Soviet membuat keputusan untuk membangun perkebunan kapas di wilayah itu pada tahun 1960-an dengan membendung Syr Darya dan Amu Darya. 

Berdasarkan laman National Geographic, para insinyur Soviet membangun jaringan irigasi yang sangat besar, termasuk kanal sepanjang 200.000 mil, 45 bendungan, dan lebih dari 80 waduk untuk mengairi ladang kapas dan gandum. Proyek irigasi tersebut mengeksploitasi Laut Aral secara maksimal. Selanjutnya, United Nations menuliskan bahwa 20 tahun kemudian kuota produksi kapas Asia mencapai angka 9 juta ton, menjadikannya produsen kapas terbesar keempat di dunia. Dengan menghasilkan produk kapas sebanyak itu, tentu saja proyek irigasi ini menghasilkan keuntungan uang yang sangat melimpah. Namun, keuntungan dari produksi kapas tersebut telah mengakibatkan kerusakan Laut Aral. 

Sistem irigasi yang dibangun banyak mengalami kebocoran sehingga sebagian besar air Laut Aral terbuang dengan sia-sia ke gurun dan mengurangi volumenya. Selain pengurangan volume, Laut Aral juga mengalami penurunan kualitas air. Pestisida, zat karsinogenik, serta mineral beracun seperti natrium sulfat dan magnesium klorida banyak dilepaskan dari produksi kapas yang membuat air pada Laut Aral tercemar. Belum lagi penurunan volume air membuat salinitas atau kadar garam menjadi semakin tinggi. Jika salinitas air laut biasa memiliki 35 gram per liter air, maka Laut Aral bisa mencapai 376 gram per liter air. Hal ini membuat Laut Aral  menjadi sangat asin, di atas kadar garam yang bisa ditoleransi makhluk hidup. Aktivitas produksi mengakibatkan ekosistem pada Laut Aral rusak, ikan-ikan dan hewan mati, begitu juga dengan tumbuhan di sekitarnya. Para penduduk yang awalnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan menjadi kehilangan profesinya dan juga kehilangan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Kisah gelap di Laut Aral membuktikan bahwa budidaya kapas telah menimbulkan efek domino yang sangat dahsyat bagi sumber daya alam. Penderitaan ini berlangsung hingga detik ini, tidak mampu dihapuskan oleh sejarah, terekam dengan abadi. 

Tangan Indonesia yang Mendorong Kerusakan Alam Buntut Produksi Kapas

Indonesia saat ini tercatat menduduki peringkat ke-21 sebagai produsen tekstil terbesar yang menyuplai kebutuhan pasar global. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (ITPT) merupakan salah satu industri padat karya yang memiliki peran krusial terhadap tingkat ekonomi negara. Pada tahun 2022, industri tekstil mampu menerima sekitar 3,6 juta orang untuk dipekerjakan. Industri ini juga telah menyumbang 6,38% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada sektor nonmigas. Selain itu, terjadi peningkatan ekspor tekstil di Indonesia hingga mencapai 16,87% pada Maret 2023 (Setyawan, 2023). 

ITPT yang berkontribusi besar terhadap ekonomi Indonesia membutuhkan tanaman kapas sebagai bahan baku utama. Kebutuhan nasional terhadap kapas sebagai penghasil serat alam terus meningkat, mengingat penduduk Indonesia yang semakin bertambah dan tentu memerlukan sandang sebagai kebutuhan pokok. Pada tahun 2017, kebutuhan kapas nasional mencapai kurang lebih 900 ribu ton setiap tahunnya dan Indonesia maksimal hanya dapat menghasilkan 4% dari jumlah kebutuhan tersebut (Rini, 2017). Bahkan data United States Department of Agriculture menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi ke-10 dalam kategori konsumen kapas terbesar di dunia pada periode 2022/2023 yang menyentuh 1,6 juta bal (Muhamad, 2023). Kementerian Pertanian turut memaparkan bahwa Indonesia hanya memproduksi 127 ton kapas pada tahun 2020 dan angka tersebut menurun sebesar 54,6% dibanding tahun lalu (Rizaty, 2021). Alih fungsi lahan penanaman kapas untuk keperluan selain pertanian dan penanaman komoditas yang memiliki profit lebih tinggi seperti jagung atau padi menjadi salah satu penyebab mengapa produksi kapas di Indonesia selalu menurun (Azizah, et al., 2024). 

Penurunan produksi kapas menyebabkan Indonesia harus mengimpor demi menutupi kebutuhan kapas nasional. Berdasarkan data United States Department of Agriculture, Indonesia menempati peringkat ketiga importir kapas terbesar di dunia (Emeria, 2023). Badan Pusat Statistik menjabarkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan impor kapas selama tahun 2019-2022. Indonesia mengimpor kapas sebesar 14.843 ton pada tahun 2019 dan sempat menurun pada tahun 2020 menjadi 12.588 ton. Namun, meningkat hingga 65,82% pada 2021 yakni mencapai 20.873 ton. Jumlah  tersebut melonjak 43,28% pada 2020 yaitu menyentuh angka 29.908 ton. Tiga negara terbesar pemasok kapas ke Indonesia adalah Vietnam dengan jumlah 45,65%, Tiongkok mencapai angka 27,80%, dan India sebesar 8,20% (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 2023). Namun, tingkat konsumsi kapas Indonesia---termasuk impor---yang sangat besar ini telah berkontribusi terhadap masalah lingkungan. Seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa produksi kapas menyebabkan kerusakan lingkungan, layaknya yang terjadi di Xianjing sebagai daerah penghasil kapas utama di Tiongkok. 

Produksi kapas melalui sistem irigasi berkembang cepat selama dua dekade belakangan di Xianjing---tepatnya di daerah Aksu-Tarim---hal ini mengakibatkan eksploitasi sumber daya air secara berlebihan. Meluasnya lahan irigasi untuk memproduksi kapas secara pesat mengakibatkan lonjakan konsumsi air pertanian. Air permukaan yang diambil dengan berlebih juga mengurangi limpasan sungai dan berdampak buruk terhadap ekosistem alam di sepanjang hilir Sungai Tarim. Konsumsi air pertanian yang melonjak tentu berdampak terhadap pengambilan air tanah. Akhirnya, eksploitasi air tanah ini berpengaruh negatif pada riparian yang kebanyakan diisi oleh populus euphratica dan tamarix sebab keduanya sangat bergantung terhadap ketersediaan air tanah (Feike, et al., 2017). Indonesia memang tidak berperan langsung dalam kerusakan alam yang timbul akibat produksi tanaman kapas. Namun, tingkat konsumsi kapas nasional yang tinggi dan ditopang oleh impor dari sejumlah negara seperti Tiongkok, telah menjadikan Indonesia secara tidak langsung berkontribusi pada kerusakan lingkungan. Seolah-olah Indoneia ikut mendorong kerusakan lingkungan dengan mengimpor kapas sekaligus mengonsumsinya dalam jumlah raksasa. Indonesia telah meninggalkan jejak hitam pada dongeng produksi kapas. 

Apakah Kapas Mampu Tergantikan?

Sebenarnya, penggunaan rayon dan polyester---terutama rayon---sebagai bahan baku pengganti kapas telah dilakukan oleh ITPT untuk memproduksi kebutuhan dalam negeri. Hal ini dipicu oleh harga kapas yang meningkat dan rayon serta polyester memiliki harga lebih murah dibanding kapas. Pada tahun 2019 konsumsi serat kapas di Indonesia sebesar 28% dan disusul rayon yang mampu menyentuh 17% (Rabbi, 2021). Selain itu, Indonesia dapat menghasilkan serat rayon dan polyester sendiri. Tercatat Indonesia menduduki peringkat kedua terbesar di dunia sebagai produsen rayon dengan tingkat produksi pada 2022 mencapai 1 juta/tahun. Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menjabarkan bahwa produksi rayon akan semakin gencar guna mengganti kapas yang proses produksinya menyerap banyak sekali air (Fauzan, 2022). Namun, beberapa sifat kapas tidak dapat digantikan oleh bahan rayon. Untuk mengakali masalah tersebut, dilakukan pencampuran antara rayon, polyester, dan serat bambu untuk menghasilkan produk yang memenuhi kriteria kapas dan ekspor. Lebih lanjut, kriteria kapas telah berhasil diciptakan dalam bahan polyester oleh industri polyester domestik (Wahyudi, 2021). 

Sayangnya, penggunaan bahan polyester dan rayon berpeluang menimbulkan dampak negatif bagi tubuh. Polyester dapat mengakibatkan iritasi kulit dan alergi akibat zat kimia seperti anti-kusut dan pewarna yang terkandung dalam polyester. Contoh gejalanya seperti kulit kering, mengelupas, gatal, muncul kemerahan, dan ruam-ruam. Keringat juga tidak dapat diserap secara maksimal oleh polyester sehingga menyebabkan kulit infeksi dan lembab. Berbagai dampak ini akan lebih mudah timbul bagi orang yang memiliki jenis kulit sensitif. Bahkan gejala sesak napas hingga bagian tubuh membengkak dapat menyerang orang yang mempunyai alergi terhadap polyester (Laraswati, 2024). Sedangkan rayon turut dapat menimbulkan alergi dan iritasi pada kulit akibat sisa-sisa zat kimia yang digunakan dalam tahapan produksi. Maka dari itu, risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh kapas lebih aman dibandingkan dengan polyester maupun rayon sehingga kapas masih menjadi bahan tekstil favorit bagi sebagian besar orang. Namun, tersimpan sejuta cerita kelam di balik nyamannya kain katun tersebut. Manusia yang dibekali akal dan perasaan harus mulai memikirkan dan merefleksikan dampak negatif dari produksi kapas. Pelan-pelan, setiap insan diharapkan untuk sadar dan lebih bijak dalam menggunakan kapas. Efek panjang yang diakibatkan oleh produksi kapas dapat sangat mengerikan jika dibiarkan begitu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun