Mohon tunggu...
Narisa H Putri
Narisa H Putri Mohon Tunggu... -

menulis bukan soal dipaksa, tapi karena rasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suatu Ketika, Ayah Saya Pernah Bilang

14 September 2016   14:36 Diperbarui: 14 September 2016   14:49 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika, Ayah saya pernah bilang, “Nek aku dadi pejabat, aku pada wae bakal korupsi. Lah bayarane pejabat wae mung pira?” (Kalau aku menjadi pejabat, aku juga akan korupsi. Lah bayarannya pejabat paling seberapa?). Saat itu saya tertawa lantas membalas kalau Ayah saya tidak usah menjadi pejabat saja kalau begitu.

Bapak Ibu guru di sekolah, juga Pak Kyai dari Pondok kecil di depan rumah selalu bilang bahwa korupsi merupakan hal yang tidak benar. Korupsi merugikan negara dan rakyatnya. Korupsi menjadikan kesejahteraan tidak merata dan dampaknya, lebih dari 28 juta jiwa rakyat Indonesia masih hidup dibawah kemiskinan. Akan tetapi, perkatakan Ayah saya waktu itu membuat saya termenung beberapa saat—sekarang, apa yang tidak pakai uang?

Sembilan Desember tahun lalu, pilkada serentak menjadi momen tersendiri bagi Indonesia yang tercatat dalam sejarah dunia sebagai negara pertama yang melakukan pilkada serentak. Selain itu, pelaksanaan pilkada serentak dianggap mampu mengurangi pengeluaran dana karena penyelenggaraan pilkada yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah.

Meskipun tak sedikit yang menganggap bahwa pilkada serentak ini justru menjadi bentuk pemborosan. Sejalan dengan ramainya pemberitaan tentang pilkada serentak, muncul pertanyaan ; apakah para calon yang kelak terpilih akan melakukan korupsi seperti pejabat-pejabat sebelumnya?

Kita memang tidak bisa langsung menyimpulkan melainkan menerka-nerka. Bukan salah masyarakat jika embel-embel korupsi seolah sudah melekat pada setiap calon pemimpin. Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia sudah menjadi momok tersendiri bagi sebagian masyarakat. Bahkan sudah ada anggapan bahwa korupsi merupakan “budaya” baru di negara kita. Siapa yang harus disalahkan? Entahlah.

Politik memang tidak pernah murah. Butuh merogoh kantong dalam-dalam untuk membuat kampanye. Belum lagi untuk membayar iklan yang “nongkrong” di televisi meskipun hanya sekian detik. Makanya , tak heran jika sekarang politikus memilih berteman dengan media. Jika pengeluaran yang besar sudah diusahakan, maka ketika jabatan sudah digenggam, tinggal mengambil balik modal yang sudah diberikan, untung-untung bisa cari “laba”.

Masyarakat, karena hal ini, seringkali lebih memilih acuh dan tidak mau tau. Tindakan skeptis muncul ketika dihadapkan untuk memilih calon-calon pemimpin. Hantu-hantu koruptor masih bergentayangan di negeri ini dan dirasa tidak akan pernah habis. Sekarang anggota-anggota dewan dapat dengan mudah masuk ke pemerintahan. Kadang saya sendiri—jujur, tidak tahu siapa yang menduduki jabatan apa, bahkan ketika para pesohor dunia hiburan satu-persatu antri untuk duduk ke kursi pemerintahan, atau para pengusaha mencoba menguasai “lahan baru” ini, saya tidak heran. Semua orang ingin eksis. Ya.

Pemberitaan tentang korupsi sering berlalu lalang baik di media massa ataupun media sosial. Media yang selama ini dianggap sebagai cerminan realitas yang terjadi, tak jarang sanggup membuat realitasnya sendiri. Pemberitaan tentang korupsi yang kadang tidak dibarengi dengan akhir penindakan hukumnya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi penikmat media. Hal ini kemudian menunjukkan seolah-olah korupsi adalah hal yang biasa—sesuatu yang memang ‘lumrah’ terjadi jika kita membicarakan politik dan kader-kadernya. Singkat kata, dimana ada politik, disitu pasti ada korupsi.

Sekarang, tak perlu membunuh lawan seperti halnya Pangeran Prawata membunuh Pangeran Sekar dalam sejarah kerajaan Demak guna memuluskan langkah ayahnya—Pangeran Trenggana untuk mendapatkan kekuasaan. Cukup dengan sedikit gesekan amplop, kekuasaan didapat sebagai imbalannya. Terjun dalam dunia politik seperti berinvestasi, kita cukup menaruh modal dan tunggu hasilnya. Ini bukan soal agama apa yang menjadi batas, atau rasa malu yang memang sudah tidak berbekas. Ini masalah kebutuhan dan kebiasaan yang diciptakan, yang seharusnya jauh-jauh sudah dilenyapkan.

Waktu itu, sebelum Ayah saya menutup pembicaraan, dia bilang, “Nanging kowe nek dadi pejabat, ora usah korupsi. Nek perlu aja dadi pejabat,” (Tapi kalau kamu jadi pejabat, tidak usah korupsi. Kalau perlu tidak usah jadi pejabat). Saya hanya menggulum senyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun