[caption id="attachment_107717" align="aligncenter" width="640" caption="Foto"][/caption]
Kaki kiri laki-laki berusia sekitar lima tahun itu menekan papan-papan kayu yang tak beraturan. Kedua tangannya berpegangan pada besi. Tangan kecilnya belum sanggup menggenggam penuh besi berdiameter sekitar 10 sentimeter. Sedangkan kaki kanannya dieratkan pada kaki besi yang ia pegang.
[caption id="attachment_105658" align="alignleft" width="300" caption="aku juga bisa! (Foto oleh Heri Tarmizi KSLH dan Ninuk)"][/caption] Setelah lelaki dewasa –kemungkinan besar ayahnya- melepaskan tali tambang, ia merubah posisi kaki dan tangannya. Tangan kanan memegang besi, tangan kiri mendekap erat besi hingga menutupi telinganya. Bahkan ketika lelaki dewasa bekopyah itu belum memulai menekan papan kayu, ia yang mungil itu telah melakukannya lebih dulu. Kaki kiri menekan, kaki kanan menahan. Sesaat kemudian, kulihat - bersama Heri Tarmizi dari Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH-Riau) yang mengajakku- gerakan yang sama juga dilakukan sang ayah. Menekan papan sekaligus mendorong kapal agar menjauh dari kayu-kayu yang digunakan untuk jembatan menuju kapal.
Menuju Desa Wisata Buluh Cina -seberang, Kecamatan Suak Hulu, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau, yang terbelah Sungai Kampar tidak butuh waktu lama. Bahkan kurang dari lima menit sudah sampai seberang. Bagi orang yang baru datang ke desa itu tak perlu takut ditipu tarif penyeberangan. Tim Pengelola Pemelihara Prasarana (TP3) KM Penyebrangan Desa Buluh Cina telah memasang spanduk tarif penyeberangan. Harga bagi warga lebih murah Rp 500,- ketimbang tarif penyeberangan untuk tamu.
[caption id="attachment_105660" align="aligncenter" width="300" caption="sungai kampar menghampar"][/caption]
[caption id="attachment_105661" align="aligncenter" width="300" caption="tamu lebih mahal. tentu"][/caption]
Saat menanti kapal bantuan PNPM Pedesaan –yang tertulis di kapal PNPM Perdesaan Tahun 2008- datang, kita bisa melihat kehidupan sungai pembelah desa yang berjarak 20 Km dari kota Pekanbaru dan sekitar 90 Km dari Bangkinang ini. Perahu kayu bermotor hilir mudik walau tak terlalu ramai. Terkadang, tongkang lewat dengan menggendong kayu berkubik-kubik ke arah hulu. Entah kawasan hutan mana yang dibabat. Di seberang sana, aktivitas di sungai tak henti sepanjang terang. Ibu-ibu mencuci –juga mencuci sayuran yang hendak dijual, juga anak-anak dan orang dewasa mandi.
[caption id="attachment_105662" align="aligncenter" width="300" caption="cuma sebentar saja"][/caption]
[caption id="attachment_105663" align="aligncenter" width="300" caption="kayu-kayu tebangan mengalir sampai jauh"][/caption]
[caption id="attachment_105664" align="aligncenter" width="300" caption="walau air coklat, tetap segar..."][/caption] Tak terawat
Masuk ke desa seberang, jalan-jalan telah disemen. Walau kecil, sepertinya penduduk desa ini terbiasa hidup bersih. Aku tak melihat sampah sepanjang jalan desa. Aku yang masih asing dengan desa itu pun mendapat sapaan ramah penduduk yang berpapasan denganku.
[caption id="attachment_105665" align="aligncenter" width="300" caption="panggung, banjir? nggak masalah"][/caption]
Umumnya rumah-rumah di desa berpenduduk 1500 jiwa atau sekitar 300 KK ini berbahan kayu dan berbentuk panggung. Sangat umum pula di bawah rumah ada satu perahu kayu tertambat. Mengapa panggung? ”Jika sungai meluap, rumah mereka tidak tergenang. Sedangkan untuk akses transportasi, setiap rumah bisa menggunakan perahu mereka masing-masing. Ini adalah salah satu bentuk ketahanan hidup warga terhadap kondisi alam,” tutur Heri padaku. Namun, meski banjir masih melanda saat ini beberapa warga mulai membuat rumah permanen, berlantai semen, dan tidak berbentuk panggung.
[caption id="attachment_105666" align="aligncenter" width="300" caption="papan informasi. baca dulu sebelum tersesat"][/caption]
Di antara rumah-rumah warga, ada satu bangunan paling besar berhalaman luas. Bentuknya juga panggung walau di lantai bawah dibuat ruangan-ruangan kecil. Pintu berdaun dua terbuka satu. Aku ingin tahu isi dalamnya. Heri enggan masuk. Ia hanya mengatakan, ”Malas aku,” padaku saat kuajak masuk.
[caption id="attachment_105667" align="aligncenter" width="300" caption="katanya balai adat. sayang, tak terawat"][/caption]
Sepuluh anak tangga kujajaki. Saat menapak, aku harus memilih. Tahi kambing banyak sekali rupanya. Lalu ketika aku masuk di dalam rumah beratap campuran seng dan genteng warna biru, bau tahi kambing semakin tajam. Hmmm, pantas saja koordinator KSLH itu enggan masuk! Informasi yang kuperoleh, rumah ini merupakan balai adat. Ada belasan foto terpampang tapi tak terawat. Satu meja besar dibiarkan teronggok dengan debu tebal.
Di halaman balai adat seharusnya ada burung di Taman Burung. Namun ternyata nama yang terpampanghanya tinggal nama. Tidak satupun burung kutemukan di Taman Burung. Dalam kandang-kandang berukuran besar itu hanya ada tumbuhan yang kukira hidup dan tumbuh tanpa diharapkan.
Chainsaw membelah hutan, Kalpataru melayang
Pengunjung Eco-Wisata Rimbo Tujuh Danau tak usah takut tersesat saat menjelajah hutan seluas sekitar 1000 hektar. Papan informasi yang dibuat oleh Chevron dan BPMigas menyebutkan petunjuk keamanan. Begini ditulis. ”Ikutilah jalan setapak yang telah ditentukan.” Pengunjung juga disarankan untuk menggunakan jasa pemandu dari warga sekitar, serta tidak masuk hutan setelah pukul 17.30 WIB.
Kali pertama ke sana bersama Heri, aku kecewa tidak bisa masuk rimba. Air danau meluap sehingga jalan semen tergenang. Pada kunjungan berikutnya, bersama Heri, Nuskan, dan Aris yang juga dari KSLH Riau, aku bisa masuk dekat danau. Menurut informasi yang kuperoleh dari teman-teman, Desa Wisata Buluh Cina memang diapit banyak danau. Di sebelah selatan terdapat Danau Tuok Tonga, Danau Baru, Danau Tanjung Putus, Danau Pinang Dalam, Danau Pinang Luar, Danau Rayo, Danau Tanjung Baling, serta Danau Bunte. Sedangkan danau di sebelah utara, terdapat Danau Rengas, Danau Rawang, serta Danau Lagun.
[caption id="attachment_105668" align="aligncenter" width="300" caption="bukankan ini indah?"][/caption]
Dahan pohon saling terpaut. Jika tidak banyak semut merah, pastilah aku naik di dahan-dahan yang berbentuk seperti gapura itu. Nuskan malah mengajakku bergelantungan pada dahan. Dulu ketika aku masih bertugas di Taman Nasional Bukit Duabelas, Orang Rimba sering mengobati demam dengan meminum air yang ada di dahan bergelantungan itu. Sayangnya aku lupa nama latinnya.