Mohon tunggu...
Ninuk Setya Utami
Ninuk Setya Utami Mohon Tunggu... lainnya -

Beberapa bulan ini nyari uang segede koran di salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Pengennya, bisa segera kembali ke Kepulauan Riau, atau bersua bersama saudara-saudaraku suku-suku termajinalkan di Indonesia. Berbagi kasih, berbagi keceriaan....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencari Kutu Gajah di Tesso Nilo

27 Desember 2010   03:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:21 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kumasih bermain di Taman Kanak-Kanak (TK) Al Mukmin I Cemani, Sukoharjo, Bu Tik dan Bu Mut sering mengajari kami begini, "Gajah, binatang yang sangat besar. Hidungnya panjang, telinganya lebar. Kalau berjalan, trenggenuk...trenggenuk...."

[caption id="attachment_80271" align="aligncenter" width="512" caption="Halo, saya Rahman (Foto-foto oleh Heri Tarmizi - KSLH)"][/caption] Sekalipun tidak ada hutan di kotaku Sala, binatang berhidung panjang ini tidak asing bagi anak-anak di jamanku. Siapa tak kenal Kyai Anggoro yang menempati salah satu sudut Taman Sriwedari? Kyai Anggoro yang merupakan binatang klangenan (kesayangan) Ingkang Sinuwun Kanjeng (ISSK) Paku Buwono X sangat istimewa. Jika ada pengunjung mengunjingnya, terlebih jika berbisik, "Kupinge perung ya...(telinganya cacat ya)" Kyai Anggoro marah. Ia melemparkan buah-buahan di dekatnya, atau air untuk disemburkan lewat hidungnya pada siapa saja yang mengunjingnya.

[caption id="attachment_80272" align="aligncenter" width="300" caption="Segarnya air Sungai Perbekalan"]

12934208891288407975
12934208891288407975
[/caption]

Walau sejak kanak-kanak akrab dengan Elephas maximus sumatranus, aku baru benar-benar merasakan, mengelus kulit tebalnya, hingga mandi bersamanya saat berada di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Perang Kentut Usai melepas rindu dengan anak-anak Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi, gantian Rahmad Adi atau Ucok dan Heri mengajakku berkenalan dengan Rahman, Ria dan Nela anak Ria, Hendro, Lisa dan Teso anaknya di TNTN.

[caption id="attachment_80273" align="aligncenter" width="300" caption="Selamat Datang di Flying Squad"]

12934209551673810577
12934209551673810577
[/caption]

"Rahman? Ria? Nela?" tanyaku pada temanku dari Kelompok Studi Lingkungan Hidup (KSLH) Riau ini. Yap, besok pagi aku akan bertemu dengan binatang-binatang bertubuh maksimal itu. Dari kota Pekanbaru, travel PO Inhil Jaya jurusan Rengat membawa kami ke Simpang Ukui. Ongkosnya Rp. 50.000 per orang. Sebenarnya ada yang lebih murah kalau kami naik bus jurusan Jambi atau Jakarta. Cukup Rp 30.000 per orang. Jika saja tidak ada truk-truk pembawa logging dari perusahaan Hutan Tanaman Industri, atau juga truk pengangkut minyak kelapa sawit, perjalanan kami tidak lebih dari 3 jam. Apalagi jalan lintas timur memang mulus. Umumnya travel yang juga jurusan Tembilahan itu tidak memakai AC. Orang merokok di dalam mobil sudah biasa. Biasanya lagi, perokok tidak begitu peduli dengan kenyamanan penumpang lain. Beruntung seorang lelaki di bangku belakangku bersedia mematikan rokoknya ketika kuminta, hingga aku turun di Ukui. Ukui seperti kota lain yang sedang berbenah, di beberapa ruas jalan lintas itu berdiri ruko-ruko. Menurut seorang penjaga apotek, Penginapan Garuda adalah satu-satunya penginapan di sana. Hmm, jika kami berangkat lebih pagi, tentu kami bisa lebih irit Rp 120.000! Uang itu untuk membayar dua (2) kamar yang kami sewa. "Kalau tidak pakai kartu mahasiswa, harganya bisa lebih mahal lagi. Ini tadi kutawar," ujar Heri sambil tertawa. Kamar-kamar hanya berbatas kayu triplek. Suara orang ngorok pun terdengar dari kamarku. Lebih-lebih ketika pagi tiba, Ucok dan Heri saling menyerang! Thut! Thuuuuut! Pretepret tepret tepret.... "Hey, jorok kalian! Kentut mulu!" teriakku ke kamar mereka. Ucok dan Heri malah tertawa. Ohya, kamar mandi dipakai bareng sesama penyewa kamar. Letaknya di belakang rumah. Tidak ada air hangat di sana. Meskipun mematok harga murah, pasangan bukan suami istri atau laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak boleh menginap di satu kamar. Sawit dan Akasia Pagi usai mandi, kami bergegas menuju pasar tradisional Pasar Ukui. Berbagai sayuran, ikan asin, telur, beras, dan bumbu-bumbu kami beli untuk persediaan makan selama di dalam Taman. Kata Heri, "Semua kebutuhan makan harus kita siapkan agar kedatangan kita justru nggak merepotkan tim yang ada di dalam. Kan kalau butuh sesuatu, mereka jauh dari mana-mana." Belanjaan kami tidak lebih dari Rp 200.000 untuk menginap 4 hari 3 malam, termasuk beberapa bungkus biskuit dan makanan ringan. Kelak sesampai di 'dalam', masakan kami bahkan tidak hanya kami santap bertiga. Tetapi juga teman-teman Balai Taman Nasional Tesso Nilo yang tengah bertugas di sana. Usai packing perlengkapan dan belanjaan, kami bertiga menuju Simpang SP IV naik becak motor, ongkosnya Rp 20.000. Tidak begitu jauh, tetapi berat! Informasi pada plang "Selamat Datang" menyebutkan, jarak antara Simpang SP IV - TNTN sejauh 25,3 KM. Dari Simpang itu, kami naik ojek motor. Setelah negosiasi, Heri dan Ucok memperoleh harga Rp. 80.000 per motor.

[caption id="attachment_80274" align="alignright" width="300" caption="25,3 KM lagi"]

1293420696864730967
1293420696864730967
[/caption]

Sekali lagi aku merasa beruntung, jalan tanah tak beraspal tidak tersiram hujan. Lebih dari satu jam pemandangan di sisi kanan kiri jalan hanya sawit. Sungguh membosankan! Empat desa terakhir yang kuingat antara lain Desa SP (Satuan Pemukiman) I, SP II, Air Hitam, dan Lubuk Kembang Bunga. Tukang ojek yang memboncengku ternyata Orang Jawa. Kata mas Nardi, "Okeh wong trans neng kene (banyak transmigran di sini)." Semakin masuk, setelah sawit-sawit tua berhektar-hektar itu jenis pohon berganti. Mas Nardi mengatakan, "Iki akasia HTIne RAPP." Yap, pohon-pohon akasia milik PT Riau Andalas Pulp and Paper memang langsung berbatasan dengan Taman Nasional yang diresmikan pada 19 Juli 2004 itu. Sebelum masuk taman, masih di wilayah HTI tersebut, sebuah bangunan berdiri di sisi kiri jalan. Tampak kosong. Tertulis kantor Balai Taman Nasional Tesso Nilo. Menurut Mas Nardi, menjadi tukang ojek untuk masuk ke dalam tidak hanya sekedar bermodal kemauan, tetapi harus hapal jalan. Jika tidak, simpang-simpang jalan yang banyak ditemui bisa membuat salah jalan. Pukulan kasih sayang 'Gapura selamat datang' Flying Squad tertata apik. Tidak kurang lima bangunan di sana. Satu bangunan untuk kantor, dua guest house, dua rumah mahot yang salah satunya menjadi satu dengan dapur. Satu bangunan lagi adalah klinik gajah. Untuk menerangi temaram malam, satu genset harus diengkol. Bang Iwan yang tengah mengajak anak bungsunya Tia main ke dalam taman menyambut ramah. Esok pagi, ayah 2 anak inilah yang membimbingku naik ke punggung gajah. Esok, aku juga akan tahu bahwa pria bertubuh tinggi besar ini merupakan mahot (pawang)nya Ria.

[caption id="attachment_80275" align="aligncenter" width="512" caption="Gagah! Perkasa!"]

12934207512057340564
12934207512057340564
[/caption]

Malam menjelang, Heri kubantu bersama Ucok memasak di dapur. Tak kunyana, malam pertamaku disambut seekor musang. Beberapa kali ia mengendap-endap di luar dapur untuk memakan sisa-sisa bagian tubuh ikan yang dibuang para mahot. Viviera tangalunga yang termasuk binatang terancam punah itu malu-malu pada kami.

12934207861612743013
12934207861612743013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun