Mohon tunggu...
Nareswari
Nareswari Mohon Tunggu... Seorang Penyintas

'Pada genggaman himada, aku berpegang. Entah bara, entah kuntum bunga. Hakikat keindahan berada di dalamnya"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mentari, Apakah Cinta adalah Tentang Memberi atau Memiliki? (Part II)

7 April 2020   19:12 Diperbarui: 7 April 2020   19:19 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PART II

Pria di sisi kiri Rangga datang lima belas menit setelah Rangga. Pria itu nampak seusia dengan Rangga. Pakaian hitamnya yg klimis menunjukkan ia berasal dari keluarga yang cukup berada. Seperti Rangga, pria ini juga memilih tidak membaur dengan pelayat yang lain. Hal pertama yang ia lakukan setelah datang kemudian duduk adalah membuka sebagian zipper jaket hitamnya. 

Tangannya kemudian merogoh saku bagian dalam jaketnya untuk menemukan sebuah buket mini bunga forget me not.  Buket mini itu kemudian diletakkan di hadapannya. Pria itu menatap buket mini itu sambil bergumam pelan, "Hari ini aku datang, membawakan bunga yang cantik untuk gadis yang cantik".

"Hari ini aku datang, membawakan bunga yang cantik untuk gadis yang cantik"...kalimat itu tiga tahun yang lalu mendesak kuat di hati Gagah. Gagah sudah lupa berapa kali tepatnya ia nyaris mewujudkan kalimat itu di depan Mentari.

Sebagai ketua kelas dengan nilai akademik di puncak peringkat dan sifat perfeksionis sekaligus tanggung jawab yang luar biasa, Gagah cukup terganggu oleh Mentari pada mulanya. Mentari selalu menjadi ketidaksempurnaan dari kegiatan kelas mereka. 

Setiap kali murid kelas merenanakansuatu kegiatan bersama seperti darmawisata, membuat kaos seragam untuk PORSENI, mengunjungi museum, dan lain-lain, Mentari selalu menjadi satu-satunya yang tidak ikut berpartisipasi. 

Alasannya selalu saja tidak punya waktu atau tidak punya uang. Gagah dan teman-teman sekelas akhirnya menganggap bahwa Mentari hanya tidak peduli pada orang lain. Mereka juga berpikir bahwa Mentari tidak suka menjadi bagian dari kelas mereka.

Namun naluri perfeksionis Gagah tidak mengijinkan kepemimpinannya sebagai ketua kelas memiliki cela. Gagah mulai memutar otak, mencari akal agar dapat mengubag Mentari. 

Oleh karena itu ia mulai memperhatikan dan mempelajari semua hal tentang Mentari. Semakin Gagah memperhatikan Mentari, semakin Gagah merasa dugaannya keliru tentang Mentari. Meskipun Mentari tidak begitu disukai di kelas, namun Mentari selalu yang menjadi paling pertama dan paling setia membantu teman-teman kelasnya yang kelupaan atau kehilangan barang di sekolah. 

Semakin Gagah mempelajari Mentari, semakin Gagah merasa Mentari sungguh menarik. Ketika ia mengetahui betapa keras Mentari bekerja seusai jam sekolah dan betapa ia berusaha tetap fokus di kelas meskipun tubuhnya lelah, Gagah benar-benar terkesima. Ia selalu merasa bahwa ia adalah orang yang paling bertekad dalam hidup dibandingkan teman-teman seusianya. Anggapan itu runtuh dihadapan keseharian Mentari.

Tanpa disadari, hati Gagah mulai menggerakkan dirinya untuk membantu Mentari secara samar. Ia sengaja melebihkan jumlah kaos seragam kelas untuk PORSENI agar Mentari dapat memilikinya secara cuma-cuma. Gagah juga sengaja menyabotase pengacakan tempat duduk di kelas agar dapat duduk di samping Mentari, dengan begitu ia dapat membangunkan Mentari jika tertidur di tengah pelajaran.

Suatu saat, ketika Gagah bersiap pulang,  Mentari memberikan Gagah sebuah lukisan yang digambarnya saat kelas seni tadi. Lukisan padang bunga forget me not dengan sebuah catatan di balik kertas: Aku sebenarnya tidak mengetahui nama bunga ini. Hanya saja keindahan bunga ini selalu menghiburku dalam perjalanan pulang yang melelahkan. Aku ingin membagi semua hal indah yang ku lihat denganmu. Aku menyukaimu.

Gagah tersenyum. Hatinya bak lukisan itu...berbunga-bunga. "Bagaimana tangan yang lelah itu bisa melukis seindah ini?" batinnya. Namun tiba-tiba lukisan itu direbut oleh sebuah tangan hingga robek. Tangan Kiki, siswa paling usil di kelasnya. Entah kenapa ia kembali lagi ke kelas saat itu. Gagah merasa begitu marah. Namun Kiki tanpa merasa bersalah menggodanya. 

"Wah...Mentari ternyata menyukaimu ya? Upik abu mencintai pangeran? Dia kira ini negeri dongeng apa? Sungguh tidak tahu diri kan dia?" ejek Kiki. Gagah hanya diam dengan wajah yang merah padam. Direbutnya kembali penggalan lukisan itu. Lalu ia pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Keesokan harinya, kelas gempar. Kiki menjalankan tugasnya dengan baik sebagai biang isu. Mentari diam. Begitu juga Gagah. Anak-anak kelas mengelilingi mereka dengan cecaran pertanyaan bernada miring. Mereka mempertanyakan perasaan Gagah sekaligus mempertanyakan kenekatan Mentari yang menjengkelkan bagi mereka. Di tengah ributnya cecaran tersebut, Mentari tiba-tiba buka suara, "Gagah, apa kamu menyukaiku?".

"Iya. Aku juga menyukaimu. Hari ini sebenarnya aku ingin memetik beberapa bunga forget me not di halaman rumahku untukmu, Mentari. Aku ingin memberikan bunga yang cantik itu untuk gadis yang cantik"...ingin rasanya Gagah menjawab demikian, namun nyali Gagah ciut oleh berpasang-pasang mata yang menatapnya. 

Gagah begitu mengagumi Mentari. Namun ia benci pada semua pandangan miring yang akan ia terima jika menjalin hubungan dengan Mentari. Siapa yang akan merasa kehidupan remajanya normal bila berkencan dengan gadis yang begitu keras memeras keringatnya disana sini?

Aku mengagumimu, Mentari. Namun ketika kamu menghampiriku, aku merasa tidak bisa menyandingmu. Begitu banyak mata menaruh perhatian padaku.

Kini setelah bertahun-tahun berlalu. Setelah aku hadir disini, aku menyadari bahwa pikiranku lah yang membuat semua ku miliki menjadi beban bagiku. Harusnya aku menggunakan semua yang aku miliki...kepandaian...pengaruhku...untuk melindungimu.

Aku yang lebih dulu menyukaimu, tapi aku begitu pengecut untuk menggapaimu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun