Suatu saat, ketika Gagah bersiap pulang, Â Mentari memberikan Gagah sebuah lukisan yang digambarnya saat kelas seni tadi. Lukisan padang bunga forget me not dengan sebuah catatan di balik kertas: Aku sebenarnya tidak mengetahui nama bunga ini. Hanya saja keindahan bunga ini selalu menghiburku dalam perjalanan pulang yang melelahkan. Aku ingin membagi semua hal indah yang ku lihat denganmu. Aku menyukaimu.
Gagah tersenyum. Hatinya bak lukisan itu...berbunga-bunga. "Bagaimana tangan yang lelah itu bisa melukis seindah ini?" batinnya. Namun tiba-tiba lukisan itu direbut oleh sebuah tangan hingga robek. Tangan Kiki, siswa paling usil di kelasnya. Entah kenapa ia kembali lagi ke kelas saat itu. Gagah merasa begitu marah. Namun Kiki tanpa merasa bersalah menggodanya.Â
"Wah...Mentari ternyata menyukaimu ya? Upik abu mencintai pangeran? Dia kira ini negeri dongeng apa? Sungguh tidak tahu diri kan dia?" ejek Kiki. Gagah hanya diam dengan wajah yang merah padam. Direbutnya kembali penggalan lukisan itu. Lalu ia pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Keesokan harinya, kelas gempar. Kiki menjalankan tugasnya dengan baik sebagai biang isu. Mentari diam. Begitu juga Gagah. Anak-anak kelas mengelilingi mereka dengan cecaran pertanyaan bernada miring. Mereka mempertanyakan perasaan Gagah sekaligus mempertanyakan kenekatan Mentari yang menjengkelkan bagi mereka. Di tengah ributnya cecaran tersebut, Mentari tiba-tiba buka suara, "Gagah, apa kamu menyukaiku?".
"Iya. Aku juga menyukaimu. Hari ini sebenarnya aku ingin memetik beberapa bunga forget me not di halaman rumahku untukmu, Mentari. Aku ingin memberikan bunga yang cantik itu untuk gadis yang cantik"...ingin rasanya Gagah menjawab demikian, namun nyali Gagah ciut oleh berpasang-pasang mata yang menatapnya.Â
Gagah begitu mengagumi Mentari. Namun ia benci pada semua pandangan miring yang akan ia terima jika menjalin hubungan dengan Mentari. Siapa yang akan merasa kehidupan remajanya normal bila berkencan dengan gadis yang begitu keras memeras keringatnya disana sini?
Aku mengagumimu, Mentari. Namun ketika kamu menghampiriku, aku merasa tidak bisa menyandingmu. Begitu banyak mata menaruh perhatian padaku.
Kini setelah bertahun-tahun berlalu. Setelah aku hadir disini, aku menyadari bahwa pikiranku lah yang membuat semua ku miliki menjadi beban bagiku. Harusnya aku menggunakan semua yang aku miliki...kepandaian...pengaruhku...untuk melindungimu.
Aku yang lebih dulu menyukaimu, tapi aku begitu pengecut untuk menggapaimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H