Mohon tunggu...
Nareswari
Nareswari Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Penyintas

'Pada genggaman himada, aku berpegang. Entah bara, entah kuntum bunga. Hakikat keindahan berada di dalamnya"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebelum Kau Mengetahui Namaku (part II)

30 Maret 2020   20:33 Diperbarui: 1 April 2020   12:21 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PART II

Apakah semua perkenalan memang membawa luka?

Apakah dengan menghindari luka, aku dapat selamanya terhindar dari luka?

Aku bertanya ribuan kali pada diriku sendiri.

Pria Caramel Machiato itu tidak pernah hadir lagi. Apakah itu sebuah keberuntungan atau kesialan...aku sama sekali tidak tahu. Apakah hatiku akan lebih nyaman ketika masih dapat melihatnya...masih dapat mendengar suaranya meskipun aku tahu aku telah dipermainkan? Ataukah hatiku akan lebih cepat pulih dengan cara ini...dengan kehilangan jejaknya sama sekali?

Aku menjadi sensitif pada pelanggan pria yang memesan Caramel Machiato. Untungnya tidak banyak pelanggan pria yang menjadikan Caramel Machiato sebagai menu kesukaannya. Tidak banyak memang, namun ada seorang pelanggan yang selalu memesan Caramel Machiato setiap jam makan siang para pegawai. Seperti pria itu. Untungnya pelanggan ini hanya memiliki kesamaan menu yang disukai dengan pria itu. Secara penampilan, mereka sepenuhnya berbeda. Pelanggan pria ini tampak pegawai kantoran dari ID card yang berada di saku bajunya, namun ia tidak memakai kemeja seperti pegawai kebanyakan. Ia memakai kaos polo dengan warna yang beragam setiap harinya. Ada sebuah logo khas yang dibordir di bagian dada sebelah kanan kaosnya, namun aku tidak ingat logo perusahaan apakah itu. Pria Caramel Machiato kedua ini memiliki paras yang tidak istimewa, namun lesung pipitnya yang selalu muncul ketika menyodorkan uang pembayaran, menyihirku sehingga tanpa sadar tersenyum padanya. Padahal setelah itu, aku langsung kembali menampilkan wajah muakku pada Caramel Machiato pesanannya yang harus ku sajikan.

Suatu hari, pria lesung pipit datang dengan penampilan yang mengejutkan. Tangan kanannya yang di-gips tergantung di depan perut dengan sokongan kain yang melingkari lehernya. Beberapa goresan luka juga terlihat menjadi dekorasi di kening dan pipinya. Aku tidak bisa berhenti meliriknya dari balik layar kasir. "Apa yang telah terjadi padanya?" aku membatin. Antrian cukup panjang siang itu seperti biasanya karena para pegawai biasanya ingin meminum kopi dalam perjalanan kembali ke kantor setelah makan siang.

Akhirnya tibalah giliran si pria lesung pipit. Sambil terus menerka-nerka apa yang terjadi padanya, aku menyiapkan pesanannya siang itu: 3 Americano dan 1 Caramel Machiato. Celakanya kami tidak memiliki kotak jinjing take away kopi untuk 4 gelas. Kami hanya memiliki ukuran untuk dua gelas. Aku menjadi risau. Membawa dua kotak jinjing kopi mustahil dilakukan dengan satu tangan. Bila dipaksakan bisa-bisa gelas kopinya miring dan tumpah. 'Bagaimana ini?' pikirku.

Aku kemudian menjelaskan keadaannya pada si pria lesung pipit. Ia nampak kebingungan. Wajar saja, ia sudah mengantri begitu lama dan kini menghadapi dilema seperti ini. Aku tidak tega. Aku melirik jam, "Kak, bagaimana jika saya antarkan? Silahkan kakak tulis saja alamat kantor kakak disini" aku menyodorkan selembar notes dan bolpen. "Apakah memang ada layanan pengantaran?" tanyanya terkejut. "Sebenarnya tidak kak. Namun saya ingin membantu kakak" ujarku. Wajahnya yang semula kebingungan mendadak cerah. Ia menepis notes dan bolpen yang ku sodorkan, "Kalau begitu, bagaimana kalau kita berjalan bersama saja? Lebih praktis dibandingkan menulis alamat kan?" ucapnya.

Akhirnya kami berjalan bersama menuju kantor perusahaannya. Kami berjalan dalam hening. Aku terlalu pemalu untuk memulai percakapan, dan mungkin dia pun demikian. Namun lesung pipitnya tidak tenggelam sama sekali selama perjalanan kami menuju kantor perusahaannya. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah ia adalah pria yang semurah senyum itu?

Ternyata kantor perusahaannya cukup jauh dari kafe tempat aku bekerja. Yang membuatku heran adalah 300 meter dari kantornya terlihat ada kafe cabang kami. "Mengapa ia tidak membeli kopi disitu saja? Apakah rasanya berbeda? Haruskah aku bertanya padanya?". Namun terlalu canggung rasanya bagiku untuk menanyakan itu padanya. Setelah kopi di tanganku beralih kepada rekan kerja yang ditemuinya di depan kantor, aku pamit undur diri pada pria lesung pipit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun