Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 akhirnya telah usai. Â Bisa dibilang ini Pemilu yang paling melelahkan sepanjang berdirinya Republik. Bayangkan saja, pada Pemilu kali ini, Pemilihan Presiden dan Legislatif dilakukan secara serentak.
Tanpa dipungkiri, Pemilu kali ini juga membuat masyarakat kita terpolarisasi menjadi dua kubu, yaitu Cebong dan Kampret.  Pemilu kali ini juga seakan menjadi catatan bagaimana belum mapannya Demokrasi kita.  Tak jarang kita temukan Kampanye hitam, hoax, sampai isu Agama, yang membuat perdebatan seakan tidak produktif, alih-alih membahas program apa yang akan dikerjakan lima tahun kedepan.  Sebelum dan selama masa Kampanye, bahkan sampai Pemilu usai, hawa panas nya pun masih terasa. Â
Fenomena seperti unfriend di Facebook, block social-media kawan yang berlainan haluan Politik, sampai di "kick"Â dari grup WhatsApp-pun tak jarang kita jumpai karena panasnya tensi Pemilu kali ini. Â Saya kira masyarakat kita sudah lelah dengan kondisi yang sedemikian panasnya.
Hasil Pemilu sama-sama kita sudah tau, yang mana Pasangan 01, Joko Widodo (Jokowi) dan KH. Ma'aruf Amin memenangi Pemilihan Presiden. Â Gugatan Tim Prabowo-Sandi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pun juga mental, dan pada akhirnya Prabowo menerima dengan legowo, bahkan sudah menjajal MRT Jakarta bersama Jokowi dan juga sempat menyantap Nasi Goreng buatan ibu Megawati Soekarnoputri.Â
Pemilunya sudah, lalu apa?Â
Hal ini menjadi pertanyaan kita bersama.  Sedikit Kilas balik dalam perjalanan Pemilu 2019 ini, ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dalam proses Demokrasi lima tahunan kali ini.  Satu diantara nya ialah Presidential Threshold atau ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh Partai Politik dalam suatu Pemilu untuk mengajukan calon Presiden.
Pada Pemilu 2019, pencalonan Presiden menggunakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, yakni gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres dalam pilpres. Â Hal ini mengarah pada keterbatasan pilihan masyarakat untuk memilih Presidennya, karena sulit bagi Parpol untuk memenuhi ambang batas tersebut.Â
Alhasil, kita hanya disajikan dengan dua calon pilihan Presiden. Â Tidak ada variasi dalam pilihan Presiden, yakni hanya dua, menimbulkan Polarisasi dalam masyarakat, yang kita tau hanya terfokus pada dua calon tersebut, dan juga berdampak pada abainya masyarakat dalam Pemilihan Legislatif, yang juga tidak kalah pentingnya. Â
Terlebih bakal ada banyak calon potensial yang digadang-gadang akan maju pada pemilihan Presiden di tahun 2024, setidaknya, menurut survei yang dilakukan LSI Denny JA, ada 15 nama calon Potensial, dari Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sampai Kapolri Tito Karnavian.Â
Tentunya, kita tetap butuh Presidential Threshold tersebut, sebagai salah satu saringan utama dalam pencalonan Presiden. Â Hanya saja, persentase nya harus diturunkan, yang idealnya menurut saya pada kisaran 4-10 persen. Â Setidaknya, akan banyak Parpol yang bisa berkoalisasi mencalonkan calon Presidennya, dan masyarakat pun bisa disuguhkan dengan pilihan-pilihan terbaik.
Ambang batas yang terlalu tinggi, yakni 20 persen, juga dikhawatirkan akan membuat pemilu menjadi pragmati dan tidak mengarah pada Demokrasi yang progresif yang diingkan bersama. Tidak akan fokus dalam visi-misi dan program, namun hanya fokus berkoalisi untuk memenuhi ambang batas pencalonan Presiden.
Tentunya, banyak sekali catatan-catatan penting untuk menyambut kontestasi Pemilu 2024 nanti, dari mengatasi gerakan Radikalisme yang mengganggu Proses Demokrasi, pemberantasan Hoax dan peningkatan mutu Sumber Daya Manusia, sampai, Peraturan Perundang-undangan Pemilu yang harus dirumuskan seksama agar terciptanya iklim Demokrasi yang kondusif, dan melahirkan program-program yang bermanfaat untuk masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H