Hampir setahun sejak aku memulai terapi ARV, dengan jumlah CD4 yang cukup tinggi, hampir 500 kala itu aku tidak mendapatkan pengobatan ARV di puskesmas dengan tim dokter yang cukup friendly denganku, namun di rumah sakit negeri dengan dokter yang sangat judes itu sudah merencanakan terapi ARV bagiku yang tengah menjalani pengobatan TB Paru.
Bingung kala itu, kalau versi dokter yang juga menjadi dosen di rumah sakit negeri itu tetap bersikeras bahwa aku harus menjalani terapi ARV, peraturan yang baru, kata beliau, bahwa tidak perlu menunggu CD4 di bawah 350 aku tetap terapi ARV. Tapi informasi dari dokter-dokter di puskesmas yang bahkan belum melayani pengambilan obat ARV, meski sudah ada poli VCT di sana, aku belum perlu terapi ARV.
Dalam hatiku, apa nunggu sampai aku sekarat baru dikasih “obat yang masih gratis” itu kali ya….
Meskipun mungkin tidak etis bila ketahuan bahwa saya berkonsultasi dengan lebih dari satu layanan kesehatan tapi bagi saya sangat penting untuk mengumpulkan informasi yang tepat sehingga dapat diambil keputusan yang cerdas.
Aku sudah datang pagi untuk mengantri di layanan VCT rumah sakit itu guna mengetahui kelanjutan pengobatanku.
Seorang wanita muda yang cukup cantik duduk di sebelahku dan bersikap sangat welcome ketika sama-sama mengantri di layanan VCT itu.
Wanita : “Mau ambil obat juga?”
Aku : “Belum tahu mbak, baru mau mulai”
Wanita : “Ketularan HIVdari mana? Bokin lo ya?”
Aku : “Iya…”
Memang sangat mudah membedakan orientasi seksual di ibukota kali ya, laki-laki yang good looking pasti ngga normal. Whatever-lah pikirku, hidup-hidup gue, masalah buat lo.
Wanita : “Bokin lo ngga nemenin?”
Aku : “Udah ke laut kali.”
Wanita muda itu tersenyum, dia bercerita kalau dia tertular HIV dari suaminya yang telah tiada. Dapat warisan HIV, tapi untung anak semata wayangnya tidak tertular HIV. Aku kagum melihat semangatnya, kejujurannya, dan keterbukaannya. Bagi kami yang sama-sama ODHA mungkin merasa seperti saudara sependeritaan sepenanggungan. Sama-sama tahu rasanya ketika terpukul di awal mengetahui status dan terus berjuang untuk bertahan hidup.
Aku : “Efek samping ARV gimana sih mbak?”
Wanita : “Udah lo coba aja gak apa-apa.”
Aku sangat penasaran karena sering baca di internet mengenai efek samping ARV, tapi tidak ada yang mau membahas secara rinci, bahkan ada yang sampai ngga kuat dengan efek sampingnya lalu memilih berhenti dari terapi itu hingga akhirnya menjalani pengobatan lini 2.
Akhirnya sang dokter di rumah sakit itu menyodorkan resep ARV buat aku, efavirens dan duviral.
Dokter : “Efavirens ini diminum sehari satu kali, dan duviral ini diminum dua kali sehari, harus konsisten meminumnya dan tidak boleh telat. Efavirens boleh diminum pagi atau malam terserah kamu, tapi saran saya minum malam sebelum tidur.”
Aku : “Ada efek sampingnya ngga dok?”
Dokter : “Saya tidak tahu pasti karena sejauh ini efek sampingnya tiap-tiap orang berbeda, bahkan ada yang tidak menunjukkan efek samping sama sekali, ada yang pusing, mual, kepala mau pecah, dan saya juga tidak tahu apakah kamu masih bisa bekerja lagi sesudah meminum ini. Satu minggu lagi kamu ke sini, saya mau lihat.”
Wow, ekstrem sekali pernyataannya. Saya hanya berharap bahwa obat ini memberikan dampak yang positif bagi saya. Lega sebenarnya ketika mendapatkan ARV yang jujur saya tunggu-tunggu itu, lifetime commitment ketika sudah memutuskan untuk terapi ARV. For your information, bahwa jenis ARV yang diresepkan kepada saya ini bekerja memberikan dampak positif bagi paru-paru saya yang sudah tidak sehat. Begitu mungkin ya bahasanya, berbeda dengan jenis ARV yang lain. Tapi, efek sampingnya berpengaruh ke syaraf keseimbangan saya, vertigo luar biasa, telinga berdenging, kepala cenut-cenut, bener-bener serasa mau pecah. Tiap kali makan muntah, penglihatan saya juga terganggu, semua objek yang saya lihat seperti jadi tiga bayangannya. Tapi beside that, ada juga tuh teman saya yang sama sekali ngga menunjukkan efek samping apapun. Ada yang hanya meriang-meriang demam saja, ada yang pusing-pusing fly, I don’t know. Dan perlu sekitar tiga bulan untuk menjadi seperti saya yang sedia kala, lama juga ya, memang terasa tersiksa sekali pada waktu itu. Ada juga jenis ARV yang berpengaruh ke kulit, kulit jadi kusam gatal-gatal, melepuh, hitam gelap.
Tapi semua itu membuat saya terus senantiasa berseru kepada Tuhan memohon pertolongan-Nya. Bahwa hidup saya bukan milik saya lagi, tapi milik Tuhan, tubuh saya juga bukan milik saya lagi jadi tidak boleh tuh melakukan hal-hal yang dulu jadi passion saya. Jadi saya memilih ikhlas apapun yang menjadi efek samping dari ARV ini seijin Tuhan, Tuhan baik, sangat baik, kulit saya masih putih cerah saja sampai sekarang walau berat badan saya turun dan ngga naik-naik seperti dulu. Well, apapun itu Tuhan begitu baik, boleh jadi ada HIV yang mengalir di darah saya tapi ada kasih-Nya juga yang terus mengalir di sana.
Tujuan saya mempublikasikan pengalaman saya ini bukan bermaksud untuk menakut-nakuti adanya efek samping yang tidak terduga, akan tetapi kita harus selalu siap dengan efek samping yang mungkin saja kita alami dengan sebuah keyakinan bahwa ARV ini berdampak positif untuk menekan laju perkembangan HIV sehingga kita punya harapan usia hidup yang lebih lama, bahkan seperti orang normal lainnya. Juga saya tidak bermaksud mencemarkan nama baik suatu instansi maupun profesi ya, yang penting apapun yang kita alami saat awal terapi ARV kita harus berkonsultasi dengan tim medis. Jangan jadi dokter buat diri kamu sendiri, temui orang-orang yang berkompeten untuk menangani kesehatan kita.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H