Mohon tunggu...
Marhaen Jalanan
Marhaen Jalanan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perspektif Orangtua tentang Calon Pemimpin pada Anak Muda

24 September 2019   18:14 Diperbarui: 24 September 2019   18:23 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disparasitas pembangunan desa antar RT/RW sering menjadi permasalahan serius apabila tidak dielimir secara bijak dan professional, kebelingeran dan ketidakbecusan Kepala Desa (Kades) dalam mengelola anggaran seperti DD dan ADD dapat menimbulkan permasalahan konpleks bagi ekonomi masyarakat desa. Sehingga memicu kasus lama terulang seperti korupsi yang dilakukan oleh 32 kades di NTT dalam pusaran korupsi Dana Desa dan ADD (florespedia25/05/19. 10:70 WIB).

 Mosi tidak percaya pada pemimpin desa selaku pemangku kepentingan (stakeholder) digaungkan oleh masyarakat desa, karena pemimpin desa tidak mampu mengayomi sekaligus tidak mampu menciptakan kebijakan publik yang pro rakyat pada aspek pemberataan infrastruktur pembangunaan di desa.

Dward L. Munson dalam bukunya "the management of man a handbook on the systematic devolelopment of morale and the control of human behavioral 1905". Menyatakan kepemimpinan adalah suatu kesangupan ataupun kemampuan untuk mengatasi orang-orang yang sedemikian rupah agar mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan kemungkinan konflik yang sekecil-kecilnya dan sebesar mungkin menjalin kerja sama. 

Upayah esensi dasar teori kepemimpinan ini berbading terbalik pada kenyataan  pemimpin desa. Kepala Desa (Kades) tidak lagi menjadi pemimpin visioner melainkan pemimpin korupsioner. 

Menjelang hajat demokrasi pilkades 2019, Seruhan politik tentu suatu yang wajar bila didukung penuh oleh kebiasaan bersikap santun dalam berpolitik, menjunjung tinggi etika dan moral. Namun sering dijumpai gesekan ditengah warga antar RT/RW seperti permusuhan antara keluarga. 

Harmonisasi untuk perdamaian dan kerukunan berubah menjadi tabiat tak bermoral, semua karena beda pilihan politik. Perseteruan politik pilkades mewarnai gejolak emosi membabi buta dan gesekan antar RT/RW menjadi pontensi konflik horizontal, pemisahan kategori golongan kita (in group) dan kelompok mereka (out group) akan terwujudnya sikap antagonisme.

Masalah hajat demokrasi tingkat desa lebih mengarah ke primodial, mengedepankan tensi emosi yang disebabkan oleh perbedaan pilihan, fanatik terhadap suku, kontrak janji, ikatan kekeluargaan antar golongan/kelompok. 

Dampaknya adalah pertalihan kekerabatan dan kedekatan luntur, ironisnya tradisi bertamu ke keluarga dan kerabat dikesampingkan bahkan bisa pula pertalihan persahabatan renggang dalam tempo waktu yang begitu panjang hanya karena berbeda pilihan. 

Pola penentuan pada pemilihan kepala desa tidak lagi melihat rekam jejak, ide dan gagasan, visi dan misi yang membangun serta jiwa kepemimpinan.

Skeptisisme Kepemimpinan

Masalah lain yang sangat kontroversial adalah memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap anak muda dalam memimpin, paradigma ini sejak lama menghantui masyarakat yang dibuktikan dengan lemanya ikatan sosial ditingkat desa antara anak muda dan orang tua karena perubahan tradisi dan cara pandang orang tua terhadap generasi muda, menilai. "anak muda tidak punya pengalaman memimpin". Padahal jika dilihat dari kapasitasnya banyak anak muda tergolong berpendidikan. Gelar sarjana yang jauh lebih tinggi dari orang tua yang hanya tamat SD, SMP dan SMA. 

Ikatan anak muda terhadap tradisi lama semakin longgar dan tidak terpakai dalam mengatasi persoalan, musyawarah mufakat dan tradisi guyub guna menyelesaikan sengkarut sosial dimasyarakat desa cendrung tidak terpakai pada generasi muda oleh orang tua. Kasus ini semacam ada sekat antar golongan muda dengan golongan tua, hingga akhirnya memicu relasi yang longgar.

Peran anak muda dalam rentetan penyelesain konflik begitu stagnan, konflik muncul ditengah arus aktivitas masyarakat desa dapat diselesaikan oleh generasi tua yang kadang kala keputusan dalam menentukan jalan keluar penyelesaian masalah sedikit dangkal dan ngawur. Demikian tingkat kepercayaan masyarakat pada generasi muda begitu rendah.

Dari kasus diatas, pendekatan yang dipakai untuk meretas tradisi lama soal relasi yang longgar antara generasi muda dengan orang tua, melalui pendekatan kultural. Warga desa, tokoh-tokoh masyarakat serta pemerintah desa harus membuka ruang dialog bagi anak muda, membicarakan kepentingan anak muda pada fase calon kepemimpinan. Bersama menyerukan pesan-pesan moral, politik yang baik, perdamaian serta menjaga kerukunan dalam pilkades oktober 2019. 

Gotong royong, musyawarah antarwarga anak muda kembali dilibatkan sebagai corong terdepan dalam mengatasi persolan desa karena sejatinya anak muda adalah agen perubahan dan agen control  ditengah arus politik loka (desa) pada pilkades mendatang.

 Yulianus Nardin (Penulis adalah Pegiat literasi di komunitas Study Clup Unitri Malang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun