Mohon tunggu...
Nardi elkhayr
Nardi elkhayr Mohon Tunggu... Guru - Catatan Perjalanan dan Kehidupan

Guru yg suka menulis, ngevlog dan jalan2

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bait-bait Puisi karya Penulis Cilik Palestina yang Menyayat Hati di Tengah Kelaparan dan Genosida yang Dialami

11 Agustus 2024   07:13 Diperbarui: 11 Agustus 2024   07:20 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Alghoul bersama para penulis cilik Palestina

Di tengah kelaparan yang mendera dan aksi genosida oleh Israel, para penulis cilik Palestina menyempatkan diri untuk mengekspresikan perasaan dan keadaan yang mereka alami melalui bait-bait puisi. Mereka menyakini bahwa kata-kata yang mereka tuliskan akan bisa menjadi media yang dapat mengurai kesedihan dan kegundahan, selain juga bisa mengabadikan memontum yang mereka alami.  

Melalui puisi yang dicipta, mereka ingin agar warga dunia tergerak membantu dan memastikan anak-anak Palestina juga berhak mendapatkan kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan sebagaimana anak-anak di belahan dunia lainnya, sehingga anak-anak Palestina dapat bertumbuh optimal mewujudkan cita-cita terbaik mereka.

Bermula dari inisiasi dari seorang penulis dan penggerak literasi Palestina Yousri Alghoul yang terus mengispirasikan kepada anak-anak Palestina agar menuliskan semua apa yang mereka alami, kini terkumpul sejumlah tulisan tangan puisi dari para penulis cilik Palesyina. Dalam berbagai keterbatasan, Alghoul menunjukkan kepada sejumlah wartawan kumpulan tulisan tangan berupa bait-bait puisi karya anak-anak Palestina itu. 

Alghoul sendiri, pada tahun 2022, Alghoul telah mengubah perpustakaan pribadinya, yang terdiri dari sekitar 3.000-an buku, menjadi ruang baca yang terbuka bagi warga Palestina sekaligus tempat ia mengispirasikan warga Palestina untuk menulis. Perpustakaan tersebut terkena serangan udara Israel pada tahun 2023 yang lalu, Rumah miliknya pun hancur megubur dan merusakkan buku-bukunya itu. Alghoul pun mulai mencoba membangun kembali perpustakaannya.

Alghoul menyadari bahwa membangun kembali perpustakaannya akan memakan waktu. Ia pun mulai menggali buku-buku dari puing-puing perpustakaan dan sekolah yang hancur akibat serangan udara Israel di Gaza utara. Ia menggunakan buku-buku tersebut untuk mengajar anak-anak, yang bercita-cita menjadi penyair di kamp Shati, Gaza Utara.

Dok. Alghoul bersama para penulis cilik Palestina
Dok. Alghoul bersama para penulis cilik Palestina

Berikut ini sejumlah puisi dari beberapa penulis cilik Gaza di pengungsian tersebut yang dikumpulkan olehnya. Versi Inggrisnya yang menjadi sumber terjemahan dalam tulisan saya ini tetap saya sertakan.

Siapakah aku?

Aku adalah burung berleher patah,

Keberadaanku di antara puing-puing.


“Who am I?

I am a broken-necked bird,

My existence among the rubble.”

(Kutipan bait puisi karya Raouf Yousri Abdel Raouf al Ghoul, 12 tahun. Ia kehilangan Setelah kehilangan teman sekelas dan sepupunya akibat genosida oleh Israel).

“Mereka membunuh kepolosan di mataku,

Mereka menginjak-injak mawar-mawarku,

Mereka menghancurkan mimpi-mimpiku,

Mereka tidak menunjukkan belas kasihan kepadaku.

Dalam kegelapan malam, mereka meninggalkanku.”

 

“They killed innocence in my eyes,

They trampled my roses,

They shattered my dreams,

They showed no mercy to me.

In the darkness of night, they left me.”

(Kutipan bait puisi karya Raouf Yousri Abdel Raouf al Ghoul yang lain).

“Burung-burung di langit menangis, dan bintang-bintang di langit memudar,

Daun-daun pohon layu dan berguguran,

Dan para ibu melahirkan di tengah perang.

Karena dosa apa anak-anak mereka dibunuh,

Memang, sampai sekarang, anak-anak mereka belum diberi nama.”

 

“The birds of the sky wept, and the stars in the sky faded,

The leaves of the trees withered and fell,

And mothers gave birth in war.

For what sin were their children killed,

Indeed, until now, their children have not been named.”

(Kutipan bait puisi oleh  Mahmoud al Hanawi, 10 tahun yang mengungsi di Kamp Shati. Ia merekam momen kesedihan dan kengerian yang dialaminya).

“Lilin-lilin kegembiraan telah padam

Dan para ibu meratapi anak-anak dan rumah mereka

Mereka minum air asin dan kelaparan.”

“The candles of joy were extinguished

And mothers lamented over their children and their homes

They drank hunger and salty water.”

(Karya Mahmoud al Hanawi yang lain)

 

Saya akan berbicara tentang Gaza 

seolah-olah ia adalah seorang gadis, 

yang dulunya adalah seorang gadis cantik 

yang dihiasi dengan pakaian terbaik. 

Sekarang ia terbaring di lubang yang dalam, 

tidak dapat menemukan jalan keluar. 

Gaza adalah kebanggaan, 

Gaza adalah keamanan, dan semua keindahan.

 

I will speak of Gaza 

as if she were a girl, 

once a beautiful girl 

adorned in the finest clothes. 

Now she lies in a deep pit, 

unable to find her way out. 

Gaza is pride, 

Gaza is safety, and all beauty.

(Amira Ibrahim Bedouin, 12 tahun, menangkap kontradiksi dalam puisinya. Ia menuliskan kenyataan yangterjadi di Gaza dengan Gaza yang ia bayangkan dan harapkan)

 

“Idul Fitri yang mana, ketika anak-anak hidup dengan begitu banyak ketakutan, kesedihan, dan semangat mereka suram dan buruk?

Idul Fitri yang mana, ketika Gaza dihancurkan di depan orang-orang dan anak-anak,

dan belum kembali seperti semula...Gaza.

Idul Fitri, saat orang-orang tidak lagi memiliki jejak kegembiraan atau kebahagiaan”

“Which Eid, when children live with so much fear, sadness, and their spirits are bleak and bad?

Which Eid, when Gaza is being destroyed in front of people and children,

and has not returned to what it was...Gaza.

Which Eid, when people have no trace of joy or happiness left”

(Karya Amira Ibrahim Bedouin yang lain)

"Dalam kain kafan, pemuda terbungkus.

Harus ada kebebasan untuk mengibarkan bendera

dan membiarkan merpati perdamaian berkibar."

"In shrouds, youth are wrapped.

There must be freedom to raise the flag 

and let the dove of peace flutter."

(Puisi karya Layla Ramadan, 11 tahun)

"Mereka membunuhku seribu kali,

Namun setiap kali aku hidup untuk menciptakan martabat bagi diriku sendiri untuk hidup.

Aku tidak akan mati, aku tidak akan mati, aku anak Palestina."

"They killed me a thousand times,

Yet each time I lived to create dignity for myself to live.

I will not die, I will not die, I am a Palestinian child."

(Puisi karya Tala al Danaf, 12 tahun).

Pada bulan Maret 2024 lalu, Philippe Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA, menggambarkan perang Israel di Gaza sebagai perang terhadap anak-anak, terhadap masa kecil mereka, dan terhadap masa depan mereka. 

Sejak Oktober 2023, Israel telah menewaskan lebih dari 16.000 anak, melukai sekitar 34.000 anak, membuat 17.000 anak menjadi yatim piatu, dan sekitar 21.000 anak hilang. Jumlah anak-anak yang dibunuh oleh Israel di Gaza melebihi jumlah total anak-anak yang terbunuh dalam perang di seluruh dunia dalam kurun waktu empat tahun.

Di tengah kondisi demikian mengerikan, para penulis cilik Palestina ini mengekspresikan perasaan dan keadaan yang mereka alami melalui bait-bait puisi. Mereka menyakini bahwa kata-kata yang mereka tuliskan akan bisa menjadi media mengurai kesedihan dan kegundahan, selain juga bisa mengabadikan memontum yang mereka alami.  

Melalui puisi yang dicipta, mereka ingin agar warga dunia tergerak membantu dan memastikan anak-anak Palestina juga berhak mendapatkan kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan sebagaimana anak-anak di belahan dunia lainnya, sehingga anak-anak Palestina dapat bertumbuh optimal mewujudkan cita-cita terbaik mereka.

Jayapura, 11 Agustus 2024

Alfakir Nardi el-Khayr

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun