Agak sulit bagi saya untuk mencari padanan kata "rumah" di dalam bahasa Indonesia guna mengartikan rumah secara bangunan fisik (house) dan rumah dalam artian tempat yang penuh kenyamanan serta kehangatan keluarga (home).
Semua bermula ketika sahabat saya datang dan mengatakan, "Aku sudah tidak nyaman di rumah." Tentu yang dimaksudkannya adalah hilangnya rasa "home" di dalam "house"-nya.
Sudah barang tentu masalah hilangnya rasa nyaman bagi seorang anak di dalam rumahnya tidak dapat dianggap sepele.
Akibat hilangnya rasa nyaman di dalam rumah
Saya bukan seorang psikolog atau pun konselor, karena itu saya hanya mencoba membandingkannya dengan keluarga saya sendiri.
Dari pengamatan saya, hilangnya rasa nyaman di dalam rumah sahabat saya telah banyak mempengaruhi karakter dan tingkah lakunya. Dari sekian banyak perilaku tersebut, beberapa diantaranya :
Pertama, pulang larut malam bahkan lebih nyaman tidur di rumah orang lain. Perilaku ini nampak semenjak dia SMP. Kecenderungan orang tuanya pun  melakukan pembiaran, membuatnya terus melakukannya hingga saat ini di usianya yang menginjak 27 tahun. Dia merasa menemukan "rumah" yang lebih nyaman bersama orang lain.
Kedua, komunikasi yang tidak sehat dengan orang tua. Entah ini merupakan sebuah akibat dari hilangnya rasa nyaman di rumahnya, ataukah ini penyebab hilangnya rasa nyaman di rumah. Namun, menelisik dari kerasnya cara ayah sahabat saya mendidik serta ibunya yang pilih kasih terhadap anak-anaknya (menurut penilaian dia) ikut membuatnya semakin sulit untuk merasa "diterima" di rumah.
Ketiga, perilaku destruktif. Merokok di usia muda dan minum-minuman keras merupakan salah satu kebiasaannya ketika dia merasa gagal untuk berdiskusi ataupun mendapatkan perhatian dari keluarganya.
Keempat, selalu mengejar "pengakuan" dari orang lain. Mengejar pengakuan ini berupa pemenuhan rasa ingin didengarkan, dipuji maupun dihargai. Sehingga tidak jarang dia melakukan tindakan konyol untuk sekedar mendapatkan pengakuan dari keluarga maupun lingkungannya. Ataupun setiap mendapatkan masalah, dia selalu mengatakan, "aku sudah berbicara dengan bapak ibuku, tapi mereka malah asik sendiri-sendiri tidak memberikan solusi." Kecenderungan ini mungkin dampak dari poin kedua sebelumnya. Â Dan jika gagal,
Kelima, rasa takut disalahkan yang berlebihan. Rasa takut disalahkan jika gagal melakukan sesuatu sering membuatnya panik lalu bertindak dengan ceroboh yang tidak jarang justru semakin merugikan dirinya sendiri.
Selain itu, masih banyak dampak lainnya, seperti sewaktu sekolah sering terlibat perkelahian dengan teman, nilai pelajaran yang rendah, mudah marah, bicaranya kasar dengan nada tinggi.