Mohon tunggu...
Radian A
Radian A Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Belajar jadi manusia

Karena "bio harus diisi" maka ingin ku ceritakan tentangku kepadamu, namun nanti ... saat kita bersua di dalam kedai, bertemankan bergelas-gelas kopi. Akan ku isi bio-ku di hatimu, tanpa terkecuali, jujur dan apa-adanya. :p

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akibat Hilangnya "Home" di Dalam "House" bagi Perkembangan Diri Seorang Anak Setelah Dewasa

8 Maret 2020   10:27 Diperbarui: 8 Maret 2020   10:27 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pixabay.com

Agak sulit bagi saya untuk mencari padanan kata "rumah" di dalam bahasa Indonesia guna mengartikan rumah secara bangunan fisik (house) dan rumah dalam artian tempat yang penuh kenyamanan serta kehangatan keluarga (home).

Semua bermula ketika sahabat saya datang dan mengatakan, "Aku sudah tidak nyaman di rumah." Tentu yang dimaksudkannya adalah hilangnya rasa "home" di dalam "house"-nya.

Sudah barang tentu masalah hilangnya rasa nyaman bagi seorang anak di dalam rumahnya tidak dapat dianggap sepele.

Akibat hilangnya rasa nyaman di dalam rumah
Saya bukan seorang psikolog atau pun konselor, karena itu saya hanya mencoba membandingkannya dengan keluarga saya sendiri.

Dari pengamatan saya, hilangnya rasa nyaman di dalam rumah sahabat saya telah banyak mempengaruhi karakter dan tingkah lakunya. Dari sekian banyak perilaku tersebut, beberapa diantaranya :

Pertama, pulang larut malam bahkan lebih nyaman tidur di rumah orang lain. Perilaku ini nampak semenjak dia SMP. Kecenderungan orang tuanya pun  melakukan pembiaran, membuatnya terus melakukannya hingga saat ini di usianya yang menginjak 27 tahun. Dia merasa menemukan "rumah" yang lebih nyaman bersama orang lain.

Kedua, komunikasi yang tidak sehat dengan orang tua. Entah ini merupakan sebuah akibat dari hilangnya rasa nyaman di rumahnya, ataukah ini penyebab hilangnya rasa nyaman di rumah. Namun, menelisik dari kerasnya cara ayah sahabat saya mendidik serta ibunya yang pilih kasih terhadap anak-anaknya (menurut penilaian dia) ikut membuatnya semakin sulit untuk merasa "diterima" di rumah.

Ketiga, perilaku destruktif. Merokok di usia muda dan minum-minuman keras merupakan salah satu kebiasaannya ketika dia merasa gagal untuk berdiskusi ataupun mendapatkan perhatian dari keluarganya.

Keempat, selalu mengejar "pengakuan" dari orang lain. Mengejar pengakuan ini berupa pemenuhan rasa ingin didengarkan, dipuji maupun dihargai. Sehingga tidak jarang dia melakukan tindakan konyol untuk sekedar mendapatkan pengakuan dari keluarga maupun lingkungannya. Ataupun setiap mendapatkan masalah, dia selalu mengatakan, "aku sudah berbicara dengan bapak ibuku, tapi mereka malah asik sendiri-sendiri tidak memberikan solusi." Kecenderungan ini mungkin dampak dari poin kedua sebelumnya.  Dan jika gagal,

Kelima, rasa takut disalahkan yang berlebihan. Rasa takut disalahkan jika gagal melakukan sesuatu sering membuatnya panik lalu bertindak dengan ceroboh yang tidak jarang justru semakin merugikan dirinya sendiri.
Selain itu, masih banyak dampak lainnya, seperti sewaktu sekolah sering terlibat perkelahian dengan teman, nilai pelajaran yang rendah, mudah marah, bicaranya kasar dengan nada tinggi.

Tentu apa yang terjadi kepada sahabat saya ini seharusnya dapat dihindari jika semenjak dini lingkungan keluarga dapat menjadi tempat kembali (home) yang nyaman bagi penghuninya.

Orang tua sebagai pemegang kunci kehangatan keluarga
Saya bersyukur dibesarkan di dalam keluarga yang hangat dan nyaman, bahkan sampai saat ini, saya masih ingat pada yang dilakukan bapak saya di dalam keluarga untuk membuat nyaman anak-anaknya. Diantaranya :

Pertama, Bapak saya --- selaku kepala keluarga, melarang anak-anaknya pergi bermain keluar rumah setelah maghrib, kami selalu sholat maghrib berjamaah, lalu satu persatu anaknya diminta mengaji dan beliau selalu menyimak disampingnya (tidak sekedar menyuruh mengaji lalu pergi meninggalkan anak-anaknya yang sedang mengaji).

Kedua, seusai mengaji, kami selalu makan malam bersama makanan yang di masak oleh ibu saya. Bapak saya lebih suka meminta ibu saya memasak daripada membeli makan diluar. "Agar lebih ada keterikatan anak dengan rumah," katanya. "Tidak dibiasakan serba jajan."

Ketiga, seusai makan, sholat isya, lalu anak-anaknya diminta belajar bersama di ruang keluarga. Saat itu, bapak pasti akan menanyakan PR dan kejadian-kejadian yang anak-anaknya alami selama seharian baik di sekolah maupun dilingkungan. Lalu menanggapinya dengan antusias ketika kami bercerita. Hingga tak terasa waktu telah malam, dan kami beranjak tidur.

Keempat, bapak selalu ringan tangan menyapu maupun mencuci pakaian ketika melihat ibu kerepotan melakukan hal lainnya.

Kelima, bapak saya selalu ada buat anak-anaknya. Sering tanpa pesan, tiba-tiba sudah di depan gerbang sekolah untuk menjemput. Bahkan kadang mengantarkan anaknya pergi bermain ke rumah temannya. (Dan itu baru saya sadari setelah dewasa, sepertinya itu cara beliau memata-matai pergaulan anaknya tanpa perlu melarang atau berfikiran negatif).

Keenam, tidak pernah marah lalu menyalahkan namun menanggapi dengan memberikan pilihan solusi ketika anaknya sadar telah melakukan kesalahan.

Ketujuh, hampir setiap akhir pekan, daripada melarang anak-anaknya pergi bermain, beliau lebih suka tiba-tiba membuat kegiatan yang melibatkan semua anggota keluarga. Saya selalu ingat, ketika Minggu pagi, entah dari mana membawa ikan besar-besar dan meminta kami membantu membuat perapian untuk membakarnya bersama-sama.

Dan hal-hal lainnya yang mendekatkan diri kami selaku anak-anak dengan orang tua, seperti mengiming-imingi hadiah yang kami inginkan jika mendapatkan ranking diakhir semester. Alih-alih memberikan uang jajan, justru membelikan ayam atau burung merpati yang harus anak-anaknya beri makan sendiri untuk mendapatkan uang jajan tambahan ketika sudah beranak-pinak. Anak-anaknya juga tidak selalu harus memanggilnya "bapak" kadang bos, babe, atau komandan, namun itu tidak membuatnya marah.

Dan meskipun beliau talah meninggalkan dunia ini 17 tahun lalu rupanya kehangatan keluarga yang pernah beliau taburkan masih terasa hingga saat ini bagi ibu, saya dan adik-adik saya.

Penutup
Mungkin, keluarga saya bukanlah contoh keluarga yang ideal. Namun, dari membandingkan apa yang sahabat saya dan saya sendiri alami dibesarkan dengan cara mendidik orang tua yang berbeda, telah membentuk kami menjadi dua karakter yang berbeda ketika dewasa. Jika sekedar house, jelas keluarga sahabat saya lebih besar dari keluarga saya, namun home keluarga saya terasa lebih hangat dibandingkan keluarganya.

Lebih daripada itu, jika kita tidak menabur kehangatan dan kenyamanan di dalam keluarga kepada anak-anak kita, yakinkah ketika kita telah tiada, dia tetap mau mengingat dan mendoakan kita?

Salam,
Radian | Kompasianer Brebes KBC-20

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun