Mohon tunggu...
terasbudaya.id
terasbudaya.id Mohon Tunggu... Guru - Lanesra

terasbudaya.id hadir sebagai media edukasi kepada khalayak ramai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kontribusi dan Pendekatan Pemikiran Hadis Syaikh Nawawi al Bantani dalam Dunia Kajian Islam

28 Agustus 2023   15:58 Diperbarui: 28 Agustus 2023   16:03 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syekh Nawawi al Bantani (Sumber: qotrunnada-depok.ponpes.id)

Selama ini kajian hadis dan ilmunya dianggap sebagai sebuah disiplin ilmu yang hanya digeluti oleh para ulama hadis berlatar belakang timur tengah (sarjana-sarjana Arab). Pernyataan tersebut tidak disimpulkan semuanya salah, jika parameter yang digunakan adalah dengan memperhatikan literatur-literatur hadis, khususnya ilmu hadis yang kebanyakan merupakan buah pemikiran para ulama timur tengah. Terlepas dari banyaknya literatur tersebut, ada beberapa yang merupakan hasil pemikiran dari ulama-ulama Indonesia. Bahkan hasil pemikiran dari para ulama tersebut ternyata juga cukup diperhitungkan dan mendapatkan perhatian oleh para cendikiawan secara luas dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya disiplin hadis dan ilmu hadis.

Di Nusantara kajian hadis sedikit memiliki latar belakang keterlambatan dibanding kajian ilmu lainnya. Karena hadis-hadis tersebut sudah diproses dalam bidang ilmu yang lain, seperti fiqih yang karyanya didukung oleh argument-argumen berdasarkan hadis. Pada abad 17 sudah dapat ditemukan adanya kajian hadis di Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kitab hadis yang ditulis oleh Nur Al Din Al Raniry dan Abdurrauf As Singkili. Meskipun dua karya tersebut lebih dapat dikatakan sebagai kitab hadis yang tujuan utamanya adalah sebagai pembinaan keberagamaan, terutama fiqh dan akhlak.

Ketika abad ke 19 muncullah ulama seperti Nawawi al Bantani (Banten) yang dikenal sebagai pengarang yang paling produktif. Beliau menulis kitab tafsir An-Nur Marah Labid, dan menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Selain itu juga lahir seorang ulama seperti Syaikh Mahfudz at Tirmasi (w.1919/1920), beliau dikenal sebagai ulama hadis terkemuka dan dianggap sebagai pembangkit ilmu dirayah (ilmu kritik sanad dan matan hadis). Dan juga dianggap bejasa dalam kajian disiplin ilmu hadis di Indonesia. Jaringan ulama tersebut terus berlanjut hingga abad ke 20, ulama besar saat itu adalah Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al Padangi (w.1990).

Biografi Nawawi Al Bantani

Syaikh Nawawi al Bantani, nama lengkapnya Abu 'Abd al Mu'thi Muhammad Nawawi bin Umar al Tanari al Bantani al Jawi, lahir di desa Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten, pada tahun 1230 H/1813 M. Ia meninggal pada hari Kamis, 25 Syawal 1314 H/1897 M di Syi'ib Ali, Mekkah, dalam usia 84 tahun, dan dimakamkan di pemakaman Ma'la dekat makam Ibnu Hajar al Asqalani dan Siti Asma' binti Abu Bakar Ash Shiddiq.

Sebagai putra pertama dari tujuh bersaudara, Nawawi al Bantani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Umar, adalah seorang penghulu dan ulama, sedangkan ibunya, Jubaidah, merupakan keturunan kesultanan Banten. Ia belajar agama sejak usia dini, termasuk dari ulama terkenal di daerahnya seperti Kyai Sahal dan Raden Haji Yusuf.

Pada usia 15 tahun, Nawawi al Bantani pergi ke Mekkah untuk menimba ilmu. Di sana, ia belajar dari berbagai guru terkemuka seperti Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimsyathi, dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Ia juga menuntut ilmu kepada Muhammad Khatib al Hanbali di Madinah, serta melanjutkan studinya ke Syam (sekarang Suriah) dan Mesir. Ilmu yang diperolehnya menjadi pondasi untuk karya-karya besarnya.

Tidak hanya menimba ilmu, Nawawi al Bantani juga mengajarkan pengetahuannya kepada murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Nusantara, termasuk tokoh seperti KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memiliki pengikut dari Malaysia.

Setelah menghabiskan 30 tahun di tanah suci, Nawawi al Bantani kembali ke Tanara, Banten, pada tahun 1833. Ia menyebarluaskan ilmunya di pesantren dan masyarakat sekitar, memberikan ceramah yang menginspirasi semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda. Meskipun para kolonial mengawasinya dan mencoba menghalangi pengaruhnya, ceramah-ceramahnya tetap membangkitkan kesadaran rakyat.

Meskipun kondisi politik di Banten belum berubah banyak, Nawawi al Bantani terus mengamati perkembangan dari jauh. Keterbatasan dalam menyebarkan paham keagamaan akibat tekanan kolonial membuatnya merasa tidak betah di tanah kelahirannya. Pada tahun 1855, setelah tiga tahun di Banten, ia kembali ke Mekkah untuk menimba ilmu lagi. Meskipun begitu, ia tetap peduli terhadap nasib bangsanya dan terus berkontribusi melalui kontak dengan murid-muridnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun