Hikayat Prang Sabi adalah sebuah karya sastra legendaris yang tak asing lagi dalam lingkup masyarakat Aceh. Karya tersebut telah menghipnotis muda mudi Aceh sehingga rela mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperoleh mati syahid melawan kaphe Belanda. Pengakuan seorang wartawan dan pensiunan militer Belanda bernama Zentgraff yang pernah bertugas di Aceh ketika perang kolonial Belanda mengatakan bahwa Hikayat Prang Sabi itu sangatlah berbahaya yang menjadi senjata baru untuk membangkitkan semangat peperangan bagi rakyat Aceh melawan serdadu-serdadu kolonial Belanda. Hikayat itu dirancang dengan bahasa yang indah dan penuh semangat. Ia melukiskan nikmat balasan yang diperoleh seseorang yang mati syahid. Karya ini telah memberikan pengaruh besar bagi jiwa yang ragu-ragu dalam menghadapi maut.
Sebelumnya penulis telah membahas bagaimana Hikayat Prang Sabi itu sendiri, mulai dari eksistensi hikayat, pengarangnya, hingga bagaimana hikayat itu bertranformasi dengan sedemikian rupa. Dapat dilihat opini https://www.kompasiana.com/narasiku/64d3028808a8b50cd851a632/hikayat-prang-sabi-manuskrip-yang-mengobarkan-semangat-masyarakat-aceh-melawan-belanda
Menurut penulis, Tengku Chiek Pante Kulu mengarang Hikayat Prang Sabi bukan untuk mengada-ngada. Namun isi kandungannya diambil dari Al-Qur'an dan Hadis Rasulullah Saw sebagai rujukan. Terlihat beberapa potongan ayat Al-Qur'an beserta lafadz hadis dalam Hikayat Prang Sabi. Al-Qur'an bersifat qat'i sedangkan hadis bersifat zanni yaitu tidak adanya jaminan yang otentik yang dapat menjamin kepastian teks dan maknanya. Lantas bagaimana kajian hadis yang tercantum di dalam Hikayat Prang Sabi? Apa sebenarnya fungsi hadis di dalamnya?
Peran hadis begitu penting sebagai dalil dan alat legitimasi dalam Hikayat Prang Sabi. Hadis yang dipakai oleh pengarang berfungsi untuk memotivasi serta memperkuat argumentasi yang telah disampaikannya dalam mengobarkan semangat peperangan yang terjadi di Aceh.
Ada dua pendekatan yang harus dipahami oleh seorang pensyarah hadis. Pendekatan tekstual dan kontekstual. Dalam pendekatan tekstual, praktik syarah lebih cenderung pada teks yang terdapat di dalamnya. Pendekatan ini lebih memfokuskan kinerjanya pada gramatikal, sehingga cenderung menggunakan analisis yang bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks).
Sedangkan pendekatan kontesktual melibatkan pemahaman yang diluar dari teks (asbabul wurud), artinya melihat kembali bagaimana sebuah teks muncul dan hadir dalam lingkup masyarakat. Pendekatan ini biasanya memfokuskan pada pemahaman suatu teks dengan cara melacak keadaan/peristiwa yang melibatkan teks harus muncul dalam kehidupan saat itu. Termasuk situasi dan kondisi dimana hadis hadir dalam masyarakat saat itu.
Kemudian juga harus dipahami dengan interdisiplin ilmu-ilmu yang berkembang saat ini. Kajian hadis dalam Hikayat Prang Sabi lebih mendahulukan konteks yang kemudian dijustifikasi oleh teks. Artinya pengarang tidak akan menjelaskan secara spesifik terhadap redaksi yang ia gunakan. Pengarang akan lebih mengutamakan bagaimana pengaplikasian sebuah redaksi tersebut untuk kepentingan kondisi yang sedang dialami pada saat itu.
Misalnya seperti teks "hubbul Wathan Minal al-iman" mencintai tanah air sebagian dari iman yang diklaim oleh Tengku Chiek Pante Kulu sebagai teks hadis dalam bait kisah Ainul Mardhiah. Memang, teks "Hubbul Wathan Minal al-iman" sering dianggap hadis oleh para tokoh-tokoh nasionalis dan da'i. Tujuan mereka memakai hadis ini tidak lain adalah untuk menanamkan paham nasionalisme dan patriotisme. Dengan begitu, teks tersebut sering dijadikan dalil untuk menyakini umat Islam.
Menurut penulis, teks di atas bukanlah sebuah hadis, seperti yang dikatakan oleh Syekh Abdurrahman As-Sakhawi dalam kitabnya al-Maqasid al-Hasanah fi Bayan Kasir min al-Ahadis al-Musytahirah 'ala al-Alsinah. Menurutnya makna yang terkandung di dalamnya merupakan sebuah kebenaran, namun Syekh Sakhawi belum menemukan teks tersebut dari sumbernya. Dalam kitabnya ia menjelaskan bahwa terdapat beberapa ulama yang menghukumi hadis tersebut sebagai hadis maudhu', seperti Imam As-Shaghani yang menerangkan kepalsuannya dalam kitab al-Maudhu'at.
Secara eksplisit, teks di atas tidak dapat diinterpretasikan dengan berperang atau jihad di jalan Allah sebagaimana yang dijelaskan oleh Tengku Chiek Pante Kulu. Karena teks di atas sama sekali tidak menunjukkan makna perang dengan mengangkat senjata di jalan Allah. Namun, di sisi lain subjektifitas Tengku Chiek Pante Kulu memiliki pengalaman hidup pada masa peperangan. Ia merupakan seorang ulama dan pemimpin perang dalam membela negara melawan kolonial-imperalisme Belanda di Aceh. Maka, konteks ini menjadi alasan Tengku Chiek Pante Kulu menjelaskan teks "Hubbul Wathan Minal al-iman" sebagai ajakan jihad atau berperang di jalan Allah untuk membela agama dan bangsa. Ditambah lagi Tengku Chiek Pante Kulu menganggap Belanda sebagai contoh orang-orang kafir di zaman Rasulullah Saw. Dengan begitu, Belanda wajib untuk diperangi demi menjaga kehormatan agama dan bangsa. Disinilah kemudian urgensi hadis yang diaplikasikan oleh pensyarah sesuai dengan konteks yang terjadi pada masa itu.