Ulon Pujoe po sidroe po
Syukor keu Rabbi Ya `aini
Keu kamoe neubri beu suci Aceh mulia
Tajak prang musoh beuruntoh dum sitre Nabi
Nyang meu ungki keu Rabbi keu po nyang Esa
Meusoe hantem prang cit malang ceulaka tuboh rugoe roh
Syuruga tan roh rugoe roh balah nuraka.
Jika mencermati kembali isi kandungan yang terdapat dalam Hikayat Prang Sabi, cuplikan bait-bait syair seperti di atas yang sering dilantunkan dengan nada dan irama yang syahdu bukanlah bagian dari Hikayat Prang Sabi seperti stigma dan persepsi publik tentang Hikayat Prang Sabi. Bait-bait syair itu merupakan ringkasan dari Hikayat Prang Sabi, bukan Hikayat Prang Sabi itu sendiri. Intisari dari Hikayat Prang Sabi diperas sedemikian rupa oleh seniman-seniman di Aceh dalam bentuk sesederhana mungkin. Sampai pada akhirnya ia dijadikan lagu untuk membangkitkan semangat perjuangan. Maka dari itu, bait-bait syair di atas lebih tepat dikatakan sebagai Lagu Prang Sabi, bukan Hikayat Prang Sabi. Karena pada hakikatnya Hikayat Prang Sabi yang ditulis oleh Tengku Chiek Pante Kulu memiliki karakteristik dan suistematika penulisan yang berbeda dengan lagu di atas.
Tengku Chiek Pante Kulu telah mengarang hikayat tersebut dengan sangat bagus dan sistematis. Jika dulu Tengku Chiek Pante Kulu menyumbang sebuah hikayat untuk membangkitkan semangat perang, kini saatnya kita membangkitkan masyarakat Aceh untuk mengenang karya sastra legendaris yang satu ini. Penulis berharap pelajaran bahasa Aceh beserta ejaannya bagi para siswa di setiap madrasah dijadikan sebagai pendidikan modern yang nantinya akan melahirkan kembali generasi pujangga-pujangga penulisan hikayat seperti Tengku Chiek Pante Kulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H