"Ya PLT lagi, kayak kemarin. Sebenarnya PLT kemarin itu lumayan. Nah kalau dapat yang kayak gitu lagi kan bagus." Jawabnya sambil mencukur rambut anaknya.
"Tapi kalau mau diongkosi ya sini, saya akan memilih yang ngasi ongkos. Lah wong ninggalin kerjaan kan kehilangan penghasilan." Tambahnya.
Berbeda dengan pensiunan ASN yang ngobrol dengan saya beliau mengatakan, "Kalau Banyumas ini masih ada preman. Nah kalau calon yang ini jadi kayaknya Banyumas lebih aman. Tapi sebenarnya saya diajak kawan-kawan untuk memilih kotak kosong saja."
Lain lagi dengan bapak penjual barang bekas atau rongsokan. Beliau mengatakan, "Kalau untuk gubernur silahkan pilih terserah anda. Tapi saya punya catatan untuk masing-masing calon. Kalau yang paslon nomor 2 didukung penguasa sedangkan nomor 1 pernah menjadi panglima dan membolehkan anak keturunan PKI menjadi tentara.
Kalau yang Banyumas mendingan kotak kosong saja. Karena saya tahu backgorund calon yang sekarang. Siapa teman-temannya, karakternya, dan kebiasaanya. Jadi kalau saya sarankan kotak kosong saja.
Meskipun pasangan Sadewo-Lintarti diperkirakan menang menurut hitung cepat, namun pemilih kotak kosong cukup tinggi. Hasil pilkada Banyumas versi Quick Count (QC), Sadewo-Lintarti 59,21% sedangkan kotak kosong 40.79%. (detik.com, Jumat 29 November 2024). Angka ini cukup mengejutkan bahkan membuat Pak Sadewo bingung juga.
Fenomena ini setidaknya memberi gambaran kepada para elit bahwa masyarakat kecewa dengan partai politik yang tersandera oleh kepentingan pragmatis. Tidak bisa dipungkiri bahwa partai politik tentu akan mendukung paslon yang kemungkinan besar menang meskipun belum tentu benar. Paslon yang kalau menang bisa diharapkan memberi "imbalan" atas dukungan yang diberikan.Â
Masyarakat bertanya-tanya mengapa partai politik yang jumlahnya belasan tidak mampu atau tidak mau menghadirkan calon alternative untuk pemimpin Banyumas ke depan. Padahal Banyumas tidak kekurangan orang pintar dan benar yang bisa membawa masyarakat lebih sejahtera dan terhormat.
Masyarakat perlu tahu, mungkin partai politik sudah menawarkan dukungan tapi para calon yang ditawari tidak punya modal atau tidak ada kata sepakat soal mahar. Akhirnya masyarakat harus puas memilih calon tunggal yang didukung semua partai atau terpaksa kotak kosong meskipun sebenarnya sulit diterima akal. Wallahu A'lam. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H