Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Koin untuk Rasionalisasi yang Gagal?

22 Februari 2015   11:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_398591" align="aligncenter" width="624" caption="Aksi pengumpulan koin untuk Australia di Bundaran Hotel Indonesia, Minggu (22/2/2015). (Kompas.com/Jessi Carina)"][/caption]

Mengumpulkan koin untuk Australia? Pertama, seruan Abbott bukanlah sebuah seruan yang rasional; kedua, masyarakat Australia sendiri menyesalkan seruan itu bahkan yakin bahwa Abbott telah melukai hati rakyat Indonesia; ketiga, mengumpulkan koin bahkan dalam jumlah yang berkali-kali lipat pun itu tidak cukup untuk membalas bantuan Australia pada saat di mana kita benar-benar membutuhkan bantuan; keempat, saat ini Australia tidak membutuhkan koin-koin itu, tidak sama seperti kita sangat membutuhkan bantuan kala tragedi tsunami itu terjadi; dan kelima, pengumpulan koin itu hanya membuktikan bahwa kita lebih senang tersinggung dan mengatasnamakan ketersinggungan itu dengan jargon semisal harga diri, ketimbang memberikan tanggapan yang logis.

Lagi pula, kita sudah mendapatkan penegasan dari pemerintah kita bahwa seruan Abbott tidak akan mendatangkan hasil seperti yang ia inginkan. Eksekusi itu tetap akan dilakukan.

Maka, untuk membuat tudingan kita tepat sasaran, kita perlu menempatkan seruan Abbott dalam framework yang relevan.

Pertama, banyak pakar menggarisbawahi bahwa setiap pemberian itu selalu memiliki dimensi exchange-nya. Para antropolog dan sosiolog membahas topik ini dalam konsep yang dikenal dengan nama social exchange theory.

Menurut para pakar social exchange theory, mulai dari level interaksi sosial antara dua orang individu (George Homans); level mikro-ekonomis semisal kegiatan dagang di pasar juga semisal interaksi antar-sahabat hingga level makro-ekonomis (Peter Blau), pemberian itu selalu mengandung nilai exchange (Levi-Strauss). Tidak hanya dalam bentuk kuantitatif (mis. jumlah uang, barang), tetapi juga kualitatif (mis. saling setia, saling percaya, saling berbuat baik satu sama lain, dsb.).

Kedua, pemberian itu dapat menjadi alat kekuasaan. Para sosiolog dan antropolog juga membahas sebuah konsep spesifik dalam social exchange theory yang disebut dengan power-dependence relations. Richard M. Emerson yang menggagas teori spesifik ini, menyatakan bahwa konsep kekuasaan (power) dipicu oleh kebergantungan (dependence) seseorang terhadap pihak lain.

Dalam konteks seruan Abbott, jika dikaitkan dengan gagasan dalam "The Gift"-nya Marcel Mauss (sudah dibahas di sini), sebuah pemberian (biasanya dalam jumlah besar dari yang dapat dikembalikan oleh si penerima) dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kebergantungan. Dan ketika kebergantungan itu sudah terbentuk, maka ia akan menjadi alat kekuasaan yang "efektif". Ia dapat berwujud dalam dua hal: a) mengontrol perilaku si penerima sama sekali (fate control); dan b) atau setidaknya mempengaruhi perilaku si penerima dalam taraf tertentu (behavior control).

Tampak bahwa Abbott sedang melakukan rasionalisasi "pemberian" dua arah. Ke arah pemerintah Indonesia, ia mencoba membangkitkan ingatan kita akan "pemberian" Australia saat terjadi tsunami dulu untuk menciptakan behavior control. Tetapi bukan hanya itu. Secara politis, Abbott harus membuat move yang memperlihatkan keunggulannya mempertahankan kursi perdana menteri. Dan ini berarti, sama seperti rakyat dan pemerintah Indonesia, rakyat Australia pun sedang ada dalam bidikan behavior control-nya Abbott.

Jack Waterford menulis secara eksplisit di The Canberra Times bahwa pernyataan-pernyataan Abbott justru memperburuk upaya untuk mendapatkan grasi bagi kedua terpidana mati tersebut. Waterfold sendiri setuju dengan bahwa kedua terpidana mati tersebut seharusnya tidak dieksekusi. Namun ia mengkritik Abbott dengan sangat tajam bahwa mengaitkan seruan itu dengan bantuan Australia bagi masyarakat Indonesia dulu, memperlihatkan bahwa "Seperti biasa, Abbott tidak pernah tahu kapan harus berhenti."

Peter Hartcher (Sydney Morning Herald political and international editor) juga menulis di The Canberra Times sehari sebelum Jack Waterford menayangkan tulisannya. Hartcher sangat menyayangkan pernyataan Abbott. Baginya, Abbott telah "memainkan kartu yang salah". Kartu yang dimainkan Abbott (bantuan untuk tragedi tsunami), bagi Hartcher, justru dapat menjadi excuse bagi pemerintah Indonesia untuk tetap bersikeras merealisasikan hukuman mati tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun