Mohon tunggu...
Mihael Kheel
Mihael Kheel Mohon Tunggu... Ilmuwan - Seorang penulis yang sangat random, sama kayak otaknya, random hehe.

Saya cinta berbahasa, karena dengan berbahasa manusia itu ADA. Tulisan saya disini hanya coba-coba dari berbagai ide yang keluar sacara acak, selamat berpetualang!

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Masih Relevankah "Melatih Mental"?

31 Oktober 2021   22:09 Diperbarui: 31 Oktober 2021   22:32 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar duka kembali hadir, tunas harapan bangsa itu akhirnya gugur di usia muda. Berita kematiannya terus menyeruak di kancah media Indonesia, banyak juga yang mengecam kejadian ini di ranah media sosial. Namun, belum ada titik temu mengapa dia menghembuskan nafas terakhirnya kala itu, pun begitu tanggung jawab dari pihak yang berkaitan dengan korban di saat-saat terakhir.

            Kejadian nahas di *NS tersebut saya yakin hanyalah fenomena gunung es dari berbagai macam kekerasan di sekolah-sekolah maupun kampus dengan mengatasnamakan "melatih mental".  Sebagai orang yang pernah terjebak dalam lingkungan seperti itu untuk "melatih mental", berikut saya paparkan mengapa hal ini agak useless dan tidak relevan lagi di zaman sekarang.

            Pertama-tama, saya jujur tidak tahu sejak kapan istilah "melatih mental" ini digunakan untuk melegalkan tindak kekerasan atas dalih kekeluargaan, kekompakan, bahkan rasa sayang antar angkatan senior dan junior (?), yang pasti saya yakin hal ini sudah lama terjadi jauh sebelum saya pertama kali terjebak dalam lingkungan seperti itu. Parahnya tindak kekerasan di acara semacam diklat ini dilanggengkan dan terus diturunkan bertahun-tahun lamanya dengan sedikit tindakan kritis. Alhasil pola-pola itu tetap sama dan terus terjadi berulang bahkan sampai menelan korban.

            Istilah "melatih mental" ini biasanya dilakukan di acara-acara keorganisasian. Sebelum resmi diterima menajadi anggota, umumnya ada beberapa acara yang harus diikuti oleh anggota baru untuk bisa diterima di organisasi tersebut. Acara tersebut umumnya dikenal sebagai diklat A, B, C dan seterusnya. Isinya apa? Yaa itu tadi, kadang dimarah-marahin, kadang ditampar-tamparin, kadang melakukan hal konyol, kadang diburu-buru, dan seterusnya. Hal tersebut dengan dalih melatih kekompakan, disiplin, dan mental itu tadi.

            Apa yang paling saya ingat ketika melaksanakan diklat adalah saya seperti dipermainkan dan tidak diperlakukan dengan selayaknya manusia. Masih saya ingat, campuran nasi dan Nutrisari itu. Awalnya saya dan teman-teman seangkatan  makan nasi dan lauknya dengan normal, kemudian tiba-tiba you named it senior datang dan mengambil botol yang berisi air Nutrisari.  

Kamu tahu apa yang dilakukan kemudian? Mereka menyatukan semua bekal kami dan mencampurkannya dengan air Nutrisari. Kami semua harus memakan makanan yang sangat menjijikan itu. Oh ya ada satu lagi, ketika saya dan juga teman-teman seangkatan saya melakukan perjalanan yang sangat jauh dan kami tidak diberikan minum yang layak. Saat itu botor air dipegang oleh senior, kami yang kelelahan hanya diberi jatah sebanyak dua kali tutup botor air. Tidak lupa juga tamparan-tamparan serta teriakan makian yang tak tentu arah itu. Apa yang yang berikan hanyalah sekelumit dari banyak hal yang terjadi di lapangan.

            Pola-pola itu tetap sama terulang, entah di lingkungan extrakulikuler sekolah maupun UKM di kampus.  Semua hal yang terjadi di lapangan itu mereka anggap sebagai kenang-kenangan nostalgia dan yaa mungkin suatu cerita yang layak untuk kembali diceritakan kepada angkatan muda. Hal yang konyol adalah mereka berhadap dengan diklat semacam itu dapat mempererat ikatan kekeluargaan dalam internal angkatan. 

Namun kenyataannya banyak saya temui pasca diklat satu per satu anggota mengundurkan diri. Termasuk juga saya yang hahahaha makasih deh. Dengan berbagai pengalaman buruk yang diterima, bagaimana mungkin bisa menghasilkan suatu pondasi yang solid? Meskipun dalihnya kan kalian sudah melakukan ini dan itu. Akal saya terkadang tidak sampai memikirkan hal itu and it seems impossible.

            Setelah sekian lama berlalu, saya menyadari diklat dengan dalih "melatih mental" itu agaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap kelancaran karir maupun kehidupan. Di zaman teknologi dan industri kreatif sekarang ini, nampaknya diklat kekerasan berlabel "melatih mental" tidak lagi relevan. Berhubung tantangan zaman sudah semakin kompleks, ada baiknya energi yang sebegitu banyak itu dialokasikan untuk mengeksplorasi hal-hal baru yang akan menjadi langkah karir ke depan. Terlebih pada ranah mahasiswa, di mana adalah saatnya untuk berkarya untuk masyarakat, bangsa dan negara.

            Apa yang saya tulis di sini, hanyalah pandangan pribadi merespons peristiwa yang terjadi. Boleh setuju, boleh tidak, asal kurang-kurangi dulu salty. Saya akui, meskipun banyak kenangan buruk tentang "melatih mental" itu, tetapi saya tidak menafikan banyak kenangan bahagia yang telah kami lewati bersama. Banyak juga hal yang membuat kita tertawa bahagia, meskipun pada akhirnya tidak dapat saya selesaikan sampai garis akhir. Peristiwa yang telah terjadi, semoga menjadi titik balik pola diklat yang dilakukan di berbagai instansi pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun