[caption id="attachment_403118" align="aligncenter" width="560" caption="Dua warga Australia, terpidana mati kasus narkotika kelompok Bali Nine, Andrew Chan (kiri) dan Myuran Sukumaran, saat perayaan HUT Kemerdekaan RI di Lapas, Denpasar, Kerobokan Bali, 17 Agustus 2011. (Firda Lisnawati/KOMPAS.com)"][/caption]
Saya  baru saja membaca dua media online Australia yang mempropagandakan tudingan bahwa pemerintah Indonesia mengidap standar ganda (double standard) dalam penerapan hukuman mati terhadap para terpidana mati kasus Bali Nine, khususnya terhadap dua warga Australia: Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Pertama, sebuah reportase yang dipublikasikan di The Guardian mengusung judul "Bali Nine: Indonesian has Death Penalty Double Standard, Says Brother of Spared Maid". Dalam reportase ini, mereka menggarisbawahi kasus Satinah Binti Jumadi Ahmad yang diloloskan pemerintah Indonesia dari hukuman mati di Arab Saudi dengan membayar "blood money". Mereka "meminjam" kata-kata Paeri al-Feri (saudara Satinah) untuk menuding Pemerintah Indonesia bersikap munafik. Di satu sisi mengupayakan pembebasan warga negara Indonesia dari hukuman mati di luar negeri, sementara saat yang sama menyiapkan pasukan eksekusi untuk menghabisi para terpidana mati di Indonesia.
Dan kedua, tulisan dengan tudingan senada juga dipublikasikan beberapa hari lalu di The Daily Telegraph dengan judul "Indonesia Got Its Own Citizen Death Row But Aussie Bali Nine Duo Still Await Execution". Dalam tulisan ini, dinyatakan bahwa Indonesia telah berupaya keras membebaskan para warga negaranya dari hukuman mati di luar negeri termasuk dalam kasus narkoba, maka hal yang sama dilakukan oleh pemerintah Australia terhadap kedua warga negaranya.
Terhadap tudingan di atas, Armantha Nasir (juru bicara Menlu Indonesia) membantah bahwa pemerintah Australia tidak mengupayakan pembebasan kedua negaranya lebih awal ketimbang yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia terhadap para warga negaranya (sumber).
Saya sendiri, jika harus menjawab tudingan standar ganda di atas, tidak akan berargumentasi berdasarkan momentum waktu upaya pembebasan sebagaimana yang dikemukan Nasir. Argumen ini memang mengindikasikan penekanan pada palu hukum yang sudah diketok, namun tidak memperhitungkan intonasi dalam trakat safeguards pada hukum internasional yang mendorong pengupayaan pembebasan pada semua tahap peradilan. Artinya, berdasarkan safeguards, momentum waktu upaya pembebasan dari hukuman mati merupakan kriteria yang tidak relevan!
Sebenarnya mudah saja menolak tudingan standar ganda di atas dengan menggunakan dua argumen. Pertama, argumen berdasarkan hukum internasional:
- Walau terdapat intonasi yang kuat ke arah abolisionisme, namun ICCPR masih mengijinkan hukuman mati untuk the most serious crimes.
- Walau ada jaminan yang tidak ambigu untuk pengupayaan grasi pada semua tahap peradilan bagi para terpidana mati, namun hukum internasional tidak mengharuskan pemberian grasi.
Berdasarkan dua proposisi penting di atas, Indonesia memiliki basis legal yang kuat untuk: a) menerapkan hukuman mati terhadap para terpidana kasus narkoba yang dalam hukum domestik tergolong sebagai the most serious crime; dan b) memutuskan untuk menolak memberikan grasi.
Argumen di atas soal validitas pelaksanaan hukuman mati dan keputusan untuk menolak memberikan grasi kepada para terpidana mati. Tetapi, argumen ini belum secara langsung menjawab tudingan standar ganda berkait upaya pemerintah Indonesia untuk membebaskan para warga negaranya dari hukuman mati di luar negeri, namun saat yang sama masih menerapkan hukuman mati di Indonesia.
Karena itu, kita perlu merujuk kepada argumen yang kedua, yaitu argumen analogis berdasarkan kesamaan posisi Indonesia dan Australia (analogical argument from the same position). Secara analogis, pada satu sisi, Indonesia dan Australia berada pada posisi yang sama di sini, yaitu sebagai pihak yang mengupayakan pembebasan para warga negaranya dari hukuman mati di luar negeri. Pada aspek ini, Indonesia hanya dapat dituduh mengidap standar ganda jika pemerintah Indonesia tidak memperbolehkan pemerintah Australia untuk mengupayakan pembebasan para warga negaranya. Nyatanya, mereka bebas bersuara dan mengajukan permohonan dan itu dihargai serta diakomodasi, sama seperti yang dilakukan Indonesia kepada negara-negara di mana warga Indonesia dijatuhi hukuman mati di sana.
Pertanyaannya, apakah penolakan grasi itu tergolong dalam "tidak memperbolehkan" pengupayaan di atas? Tidak sama sekali. Karena penolakan grasi itu adalah aspek yang berbeda dari upaya pembebasan itu sendiri. Penolakan pemberian grasi itu ada pada wilayah kedaulatan negara pelaksana hukuman mati. Posisi ini tidak dapat dianggap analogis dengan posisi Australia yang semata-mata ada pada posisi negara pengupaya pembebasan dari hukuman mati. Karena tidak analogis, maka bukan standar ganda ketika pemerintah Indonesia menolak memberikan grasi kepada dua terpidana mati asal Australia tersebut.