Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paradigma Perbedaan Pendapat

26 Desember 2013   02:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:29 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Mengapa Perlu Paradigma?

Saya sadar betul bahwa pada era ini di mana Pragmatisme begitu mendarah-daging, kita mungkin lebih menginginkan sesuatu yang praktis, siap saji, gampang, dan tidak memerlukan proses bernalar yang rumit. Dalam hal ulasan mengenai “perbedaan pendapat” pun mungkin saja kita menginginkan ulasan yang demikian.

Tetapi, supaya tidak ada dusta di antara kita [hehehehe], saya perlu menandaskan bahwa saya bukan penganut Pragmatisme. Saya percaya bahwa sebuah praktik yang benar dan baik sebenarnya bersumber dari paradigma yang benar dan baik pula mengenai praktik tersebut.

Untuk menggambarkan maksud saya di atas, dan karena keterbatasan ruang, di sini saya akan memperlihatkan pentingnya paradigma dengan meminjam ulasan dari Stephen R. Covey yang sebenarnya sudah pernah saya kutip dalam sebuah tulisan lain. Covey menjelaskan bahwa “paradigma” berasal dari kata bahasa Yunani, paradeigma, yang digunakan untuk menyebut “persepsi, asumsi, teori, kerangka, acuan, atau ‘kaca mata’ yang Anda gunakan untuk memandang dunia” (The 8th Habit, terj. Wandi S. Brata dan Zein Isa [Jakarta: Gramedia, 2008], 31). Covey melanjutkan,

Apabila Anda ingin membuat perubahan dan perbaikan kecil-kecilan, sedikit demi sedikit, lakukan sesuatu pada tataran praktik, tingkah laku, dan sikap. Tetapi, bila Anda ingin membuat perbaikan besar yang amat berarti, lakukan sesuatu pada paradigma (The 8th Habit, 31).

Tepat sekali. Bila Anda ingin berbeda pendapat secara efektif, Anda mesti memiliki paradigma yang baik mengenai perbedaan pendapat itu sendiri. Dan dalam rangka inilah saya menulis artikel ini.

Dalam tulisan ini, saya akan membahas berbagai aspek paradigmatis berkait perbedaan pendapat, yakni: konteks, maksud, prinsip-prinsip dasar, dan implikasi-implikasinya. Perlu saya kemukakan juga bahwa karena topik ini berkaitan dengan banyak topik lainnya yang sudah pernah saya bahas, maka untuk bagian-bagian yang sudah pernah saya bahas sebelumnya, saya hanya akan memberikan rujukan link sebagai referensi.

B. Konteks

Konteks dari “perbedaan pendapat” sudah bisa dipastikan adalah sebuah diskusi antara dua pihak atau lebih. Sebab secara logis, orang tidak dapat berbeda pendapat dengan pendapatnya sendiri. Artinya, perbedaan pendapat mengasumsikan keberadaan lebih dari satu pendapat.

Sebuah diskusi itu dapat berbentuk perdebatan bahkan polemik di mana kedua istilah yang terakhir ini lebih cenderung mengasumsikan pendapat-pendapat yang berlawanan satu sama lain (lih. Poin C). Karena saya sudah membahas tentang hal ini dalam tulisan lain, maka saya tidak akan mengulanginya di sini (baca di sini).

C. Maksud

Apa yang dimaksudkan dengan “perbedaan pendapat”? Saya kira kita harus memperjelas terlebih dahulu cakupan pengertian dari frasa ini.

Pertama, perbedaan pendapat mencakup dua konotasi arti, yaitu: a) pendapat yang komplementer terhadap pendapat lain. Artinya, perbedaan pendapat di sini lebih bersifat melengkapi pendapat lain yang mungkin kurang komprehensif. Dan b) pendapat yang kontradiktif dengan pendapat lain. Dalam konotasi ini, perbedaan pendapat itu lebih bersifat pertentangan dan dimaksudkan untuk menggugurkan pendapat lain. Hal ini tidak dapat dihindari karena bila dua pendapat itu bertentangan (kontradiksi) maka keduanya dapat sama-sama salah, namun keduanya tidak dapat sama-sama benar.

Pada poin pertama di atas, saya lebih menitikberatkan elaborasi pada kata perbedaan dalam kaitan dengan berpendapat. Maka, selanjutnya saya akan menitikberatkan elaborasi pada kata pendapat dalam konteks frasa “perbedaan pendapat”.

Kedua, perbedaan pendapat itu dapat terekspresi dalam dua bentuk, yaitu: a) pendapat yang sekadar berupa lontaran sebuah klaim atau asersi; dan b) pendapat berupa sebuah argumen [saya sudah membahas tentang perbedaan klaim dan argumen di sini].

D. Tiga Prinsip Dasar

Karena perbedaan pendapat terjadi dalam konteks diskusi, maka kita perlu memahami secara jelas prinsip-prinsip berikut ini. Ada banyak prinsip yang bisa dikemukakan di sini, namun karena keterbatasan ruang, di sini saya hanya akan mengajukan tiga prinsip yang diakui sebagai prinsip-prinsip yang berlaku universal dalam diskusi yang efektif (ketiga prinsip ini saya adaptasikan dari tulisan: T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments [6th edition; Belmont, California: Wadsworth, 2009], 8-11 - Saya merevisi prinsip pertama yang diajukan Damer dan menggantikannya dengan "prinsip keterbukaan").

1. Prinsip Keterbukaan

Keterbukaan di sini maksudnya adalah bahwa dalam sebuah diskusi, setiap partisipan (peserta diskusi) harus bersikap terbuka untuk didatangi dengan pendapat-pendapat yang berbeda, entah dalam pengertian komplementer mau pun dalam pengertian pendapat yang kontradiktif (lih. poin C).

Itu berarti, prinsip keterbukaan di atas juga mengasumsikan prinsip toleransi yang telah saya bahas dalam beberapa artikel terdahulu (di sini, di sini, di sini, di sini, di sini,dan di sini).

Tetapi, perlu diingat bahwa sikap keterbukaan yang mengasumsikan prinsip toleransi di atas, tidak berarti bahwa kita tidak boleh mempertahankan pendapat kita sendiri atau bahwa kita harus menyetujui setiap pendapat yang berbeda dari lawan diskusi. Tidak!

Tidak semua pendapat yang berbeda yang dilontarkan terhadap pendapat kita adalah pendapat yang baik dan benar. Itulah sebabnya, prinsip keterbukaan yang dimaksudkan di sini tidak berarti ketiadaan sikap kritis terhadap pendapat-pendapat yang berbeda terhadap pendapat kita sendiri.

Dengan kata lain, prinsip keterbukaan yang dimaksudkan di sini tidak mengasumsikan bahwa kebenaran itu relatif maka wajar bila ada perbedaan pendapat. Tidak. Asumsi yang demikian adalah sebuah asumsi yang fallacious karena asumsi tersebut bersifat "menolak dirinya sendiri" (self-refuting; bnd. tulisan saya di sini).

2. Prinsip Mencari Kebenaran

Yang dimaksudkan dengan prinsip mencari kebenaran di sini adalah kesediaan untuk berdiskusi dalam rangka mencari kebenaran atau paling tidak mencari sebuah pandangan atau posisi yang paling dapat bertahan terhadap kritikan-kritikan terbaiknya.

Prinsip ini mengasumsikan prinsip keterbukaan di atas. Orang tidak dapat mengklaim bahwa ia bersedia berdiskusi untuk mencari kebenaran atau mencari argumen yang paling kuat, kecuali kalau pertama-tama ia menetapkan dalam dirinya untuk memiliki keterbukaan untuk didatangi dengan pendapat yang berbeda.

3. Prinsip Kejelasan

Prinsip ini berarti bahwa pengajuan pendapat, entah dalam rangka melengkapi atau membantah pendapat lain harus bebas dari dua hal, yaitu: a) ia harus bebas dari ketidakjelasan linguistik atau ambiguitas kebahasaan; dan b) ia bebas dari ketidakjelasan dalam hubungan dengan pendapat lain.

Poin a di atas berarti bahwa pendapat yang kita ajukan itu tidak boleh mengandung istilah-istilah atau frasa-frasa ambigu atau multi-tafsir. Pendapat yang multi-tafsir cenderung menimbulkan kebingungan dari lawan diskusi untuk menentukan maksud kita yang sebenarnya. Dengan kata lain, pendapat kita harus dipresentasikan sedemikian rupa sehinga secara jelas mewakili apa yang kita maksudkan.

Poin b di atas berarti bahwa jika kita mengajukan sebuah pendapat yang berbeda [entah dalam arti komplementer mau pun kontradiksi] dari pendapat lawan diskusi, maka pendapat kita tersebut harus dipresentasikan sedemikian rupa sehingga jelas perbedaan [komplemen atau kontradiksinya] di mana.

Diskusi mengenai topik apa pun, prinsip-prinsip di atas merupakan standar minimal yang menjadikan sebuah diskusi menjadi diskusi yang efektif, meskipun di dalamnya terdapat pertukaran argumentasi yang berbeda yang dilakukan secara intens.

E. Implikasi 1: Pseudo-Diskusi

Di atas saya sudah meletakkan pemahaman-pemahaman dasar berkait perbedaan pendapat dalam konteks diskusi yang efektif.

Tetapi, kita harus realistis bahwa tidak semua diskusi itu dapat disebut sebagai diskusi yang efektif dalam arti di dalamnya para partisipan dapat berdiskusi berdasarkan prinsip-prinsip dasar di atas.

Untuk itu, kita perlu mengenali apa yang saya sebut sebagai pseudo-diskusi atau diskusi palsu atau diskusi yang sia-sia. Ringkasnya, sebuah diskusi itu merupakan pseudo-diskusi, apabila para partisipan tidak memedulikan prinsip-prinsip dasar di atas.

Misalnya, seseorang mendatangi kita dengan pendapat yang berbeda yang jelas teridentifikasi sebagai sesat pikir (logical fallacies) namun tetap ngotot mempertahankan pendapat tersebut, maka pasti sia-sia berdiskusi dalam kondisi seperti ini. Mengapa? Karena jelas sekali bahwa ia tidak berdiskusi berdasarkan prinsip mencari kebenaran di mana implikasi dari prinsip ini adalah bahwa kebenaran tidak dapat bersanding dengan ketidakbenaran, mis. sesat pikir (bnd. tulisan saya di sini dan di sini dan di sini, banyak tulisan saya yang lain mengenai sesat pikir yang link-linknya terdapat di bawah tulisan-tulisan tersebut).

Misalnya juga seseorang yang mendatangi kita dengan klaim yang berbeda namun tidak bersedia dimintai pertanggungjawaban berupa argumen untuk mendukung klaim tersebut atau tidak bersedia bertukar argumen. Ia malah menyatakan bahwa ia menganut prinsip tidak mau berdebat atau berdiskusi karena ia dilarang oleh keyakinannya, namun terus menerus mengemukakan klaim yang persis berlawanan dengan pendapat kita. Orang seperti ini menjadikan diskusi tersebut sebagai pseudo-diskusi karena ia hanya ingin bermonolog dan sangat jelas mengabaikan prinsip keterbukaan di atas (bnd. tulisan saya di sini).

Singkatnya, implikasi penting dari pengenalan akan prinsip-prinsip dasar di atas adalah bahwa kita menjadi tertolong untuk mengenali apakah sebuah diskusi itu adalah diskusi yang efektif atau pseudo-diskusi. Jika kita mendapati indikasi-indikasi yang jelas bahwa prinsip-prinsip dasar di atas terabaikan, maka langkah yang paling bijak adalah berhenti atau menghentikan diskusi.

Dan inilah yang saya lakukan selama ini. Saya hanya mau melanjutkan diskusi bila diskusi itu efektif dalam pengertian mencerminkan prinsip-prinsip dasar di atas. Bila tidak, maka saya pasti segera menarik diri dari diskusi dan atau menghentikan diskusi.

Entah dalam diskusi online maupun offline, prinsip implikatifnya jelas: Melibatkan diri dengan pendapat yang berbeda dalam sebuah diskusi yang efektif berarti melibatkan diri dalam sebuah proses pencarian kebenaran. Sebaliknya, melibatkan diri dengan pendapat yang berbeda dalam pseudo-diskusi berarti membodohi diri sendiri!

F. Implikasi 2: Menghargai Perbedaan dalam Berdiskusi

Berdasarkan prinsip-prinsip dasar di atas, tentu "menghargai perbedaan pendapat" dalam diskusi ada dalam kategori prinsip keterbukaan. Kita terbuka untuk didatangi dengan pendapat yang berbeda, entah pendapat yang melengkapi pendapat kita atau bahkan pendapat yang berkontradiksi dengan pendapat kita.

Tetapi, karena adanya prinsip mencari kebenaran, maka pendapat yang berbeda tersebut mesti diuji berdasarkan kriteria-kriteria beropini dan berargumentasi yang sehat (baca di sini dan di sini).

Dan itulah sebabnya mengapa diskusi itu penting, yaitu di dalamnya, selain kita belajar mengenali kritikan-kritikan terbaik terhadap posisi yang kita anut, juga kita mendapatkan pencerahan dari sisi-sisi positif dari argumen lawan diskusi.

Benarlah isi kalimat hikmat ini: "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya". Dan ini dapat terjadi, bila kita bersedia dan terbuka untuk menghargai pendapat yang berbeda dengan pendapat yang kita anut tanpa meniadakan sikap kritis terhadap pendapat yang berbeda tersebut!

Selamat Malam; Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun