Ironisnya, mereka yang menyerukan ketidaksetujuan terhadap homoseksual atau bahkan tayangan-tayangan bernuansa "kewanita-wanitaan" di atas, dianggap melakukan diskriminasi dalam pengertian terburuknya. Katakanlah, di Belanda ada Pendeta yang mendekam di penjara karena berani menyerukan kepada publik menentang homoseksual. Di Amerika, John Piper menulis sebuah artikel berisi argumentasi-argumentasi menentang homoseksual kepada salah satu harian terkenal di sana dan pihak editor menelponnya kemudian mengingatkannya untuk tidak melakukan diskriminasi. Menurut mereka, homoseksual sudah dianggap sebagai bagian dari human right, maka bersuara menentang human right berarti melakukan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Itu jelas merupakan suatu cara pikir yang terbelakang di era di mana kemampuan berpikir menjadi begitu dominan. Tidak ada alasan intrinsik untuk memasukan homoseksual ke dalam kategori human right sama sekali. Homoseksual itu lebih merupakan penyimpangan atau penyakit, ketimbang human right. Artinya, homoseksual bukanlah human right melainkan human wrong!
Termasuk, tayangan-tayangan "kewanita-wanitaan" di televisi-televisi di Indonesia yang begitu marak pun, sebenarnya memiliki esensi yang sama dengan gagasan pada paragraf di atas. Kecenderungan untuk menjadi seperti "wanita" itu bukan hak. Itu adalah penyimpangan dan atau penyakit. Maka tayangan-tayanang seperti itu atas nama hiburan dan kelucuan, merupakan sebuah upaya penghapusan kecerdasan diskriminasi publik untuk membedakan secara jelas perbedaan-perbedaan gender yang bersifat given!
Saya kira, kita harus tetap mempertahankan pemaknaan kata "diskriminasi" dalam pengertian terbaiknya seperti yang sudah saya kemukakan di atas.
Selamat pagi; Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H