Pada era Pilpres 2014 yang lalu, saya sudah menulis sebuah artikel berjudul: Argumentum ad Hominem, Tidak Boleh Menyerang Pribadi Sama Sekali? Dalam artikel tersebut, saya memperlihatkan bahwa dalam konteks legal argumentatation (argumentasi hukum) di pengadilan (law court), khususnya dalam rangka mengevaluasi reliabilitas testimoni, argumentum ad hominem boleh dilakukan.
Argumentum ex Concessis
Sebenarnya masih ada satu konteks lain di mana argumentum ad hominem sah untuk dilakukan. Sebelumnya, kita perlu membedakan terlebih dahulu dua macam argumentum ad hominem, yaitu:
- Abusive ad hominem yaitu serangan yang kasar terhadap pribadi lawan diskusi, ketimbang argumennya. Jelmaan intonatif dari sesat pikir ini umumnya adalah caci maki dan sejenisnya. Anda tidak menumbangkan argumen lawan diskusi dengan mencaci maki pribadi lawan diskusi Anda!
- Circumstantial ad hominem yaitu menyerang situasi personal tertentu dari lawan diskusi Anda guna menolak argumennya. Contohnya bisa sangat beragam. Misalnya Anda menolak argumentasi lawan politik Anda hanya karena ia berbeda ideologi kepartaian dengan Anda. Atau misalnya ada pendukung Jokowi yang menulis secara positif mengenai kebijakan tertentu Jokowi lalu Anda menolaknya dengan menyatakan, "Akh, itu karena Anda pendukung Jokowi." Anda benar bahwa ia pendukung Jokowi, tapi itu tidak relevan sama sekali dengan benar atau salahnya argumen lawan diskusi Anda.
Untuk dua jenis spesifik dari argumentum ad hominem di atas yang merupakan sesat pikir, Walton menggunakan sebuah istilah lain yang lebih khusus yaitu argumentum ad personam (serangan terhadap pribadi). Istilah ini digunakan agar orang tidak berpikir bahwa semua jenis argumentum ad hominem merupakan sesat pikir.
Lebih dari satu dekade yang lalu, para pakar logika mengidentifikasi sebuah jenis spesifik dari argumentum ad hominem yang dikenal dengan sebutan argument from commitment (argumentum ex concessis). Jenis argumen ini dibahas dengan sangat apik dan detail oleh Douglas Walton dalam bukunya yang berjudul: Ad Hominem Arguments. Walton menjelaskan bahwa argument from commitment digunakan secara khusus untuk memperlihatkan konflik atau inkonsistensi antara wawasan konseptual yang diasumsikan lawan diskusi dengan either konsepnya yang lain atau perilakunya yang relevan dengan isu diskusi.
Contoh: Kebiasaan Merokok
Walton memberikan sebuah contoh praktis mengenai efektifnya argument from commitment dalam sebuah dialog ayah-anak mengenai kebiasaan merokok sang ayah.
[caption id="attachment_356848" align="aligncenter" width="498" caption="Diterjemahkan dengan sejumlah modifikasi dari: Walton: Ad Hominem Arguments, 32"][/caption]
Pada contoh di atas, sang anak menggunakan argument from commitment untuk memperlihatkan inkonsistensi di dalam pandangan konseptual yang tercermin dari perilaku praktis sang ayah. Meski ini adalah ad hominem argument, namun sah untuk dilakukan karena salah satu kriteria penting dalam berargumen adalah kriteria konsistensi. Dan dalam taraf tertentu, terdapat keharusan yang integral antara pandangan konseptual dan perilaku praktis. Singkatnya, secara logis ada komitmen yang dituntut dari pemahaman konseptual yang dianut seseorang dengan perilakunya.
Menariknya adalah berdasarkan kriteria konsistensi komitmen juga, meski sang ayah inkonsisten, ia tetap memiliki kekuatan logis untuk menasihati anaknya agar tidak merokok atas basis yang sama, yaitu komitmen terhadap kesehatan yang tidak koresponden dengan perilaku merokok.
Argument from commitment saya kira akan sangat efektif dalam bidang politik (juga dalam berbagai bidang lainnya). Misalnya berdasarkan argumen ini, kita dapat bersikeras menuntut Jokowi agar tidak melantik BG (dan memang akhirnya tidak dilantik) berdasarkan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Kita juga dapat menggunakan jenis argumen ini untuk mengharuskan dukungan bagi perjuangan Ahok memberantas "dana siluman" RAPBD. Anda bisa mempertimbangkan contoh-contoh lainnya dalam bidang politik untuk menggunakan argumen ini dalam rangka mempresentasikan sebuah opini yang bernas.
Semoga bermanfaat. Salam Kompasiana!
Referensi:
- Douglas Walton, Ad Hominem Arguments (Studies in Rethoric and Communication; Tuscaloosa: The University of Alabama Press, 1998).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H