Pada bulan November 2013 yang lalu, secara berjamaah orang menghojat "mulutnya" Ahok karena menggunakan kata "calon bajingan" bagi sekelompok remaja yang membawa celurit kemudian membajak bis kota. Mengamati fenomena tersebut, saya menulis sebuah artikel berjudul: "Sekali Lagi tentang Mulutnya Ahok." Dalam artikel tersebut, saya berargumentasi bahwa konteks memang mengijinkan penggunaan kata negatif tersebut, suka atau tidak suka!
Hari ini dua tulisan yang mendapat posisi terhormat di Kompasiana (HL) masing-masing ditulis oleh Kompasianers Ryan M dan Muhammad Armand. Saya pada dasarnya setuju dengan pesan umum dari tulisan Ryan mengenai kehati-hatian untuk menjaga tutur kata. Juga setuju dengan pesan umum dari tulisan Mohammad Armand soal teori psikologi yang digarisbawahinya. Tetapi, saya mendapati sejumlah pokok kritis yang perlu saya tanggapi pada bagian-bagian di bawah ini.
Tanggapan untuk Ryan M
Saya setuju separoh dengan Ryan M bahwa kata "anjing" yang digunakan dalam konteks makian untuk Ahok pada rapat mediasi berujung kisruh kemarin, adalah tidak etis. Bukan hanya itu, umpatan bergaung rasis juga terdengar dari mulut para anggota DPRD DKI Jakarta pada saat itu. Dan karena umpatan-umpatan ini terkait langsung dengan etika, maka harus ditolak pada kesempatan pertama!
Tetapi, saya tidak setuju dengan Ryan M yang menaruh ungkapan "nenek lu" dari Ahok pada level ketidaketisan yang setara dengan ungkapan "anjing" dari mulut oknum anggota DPRD di atas. Ryan M, tampaknya menggunakan jurus "pukul rata" di sini tanpa memperhatikan konteks penggunaan kata-kata itu. Dalam penelusuran saya, ada dua lapisan konteks yang mesti dipertimbangkan (baca di sini):
- Ahok menggunakan sebutan itu dalam sebuah catatan atau sebut saja coretan pribadi di atas kertas usulan dana sejumlah Rp. 8,8 triliun dari DPRD untuk sosialisasi pemahaman kepada masyarakat terkait SK-SK Gubernur.
- Entah apa pun maksud spesifiknya, lontaran itu adalah luapan kekesalan yang sangat beralasan. Beralasan karena dana sebesar itu masa' hanya mau digunakan untuk sosialisasi pemahaman terkait SK-SK? Sesuatu yang sangat absurd. Dan kekesalan itu juga memperlihatkan nurani yang tidak ingin dana sebesar itu terhambur untuk keperluan yang tidak substansial.
Dua lapisan konteks di atas memperlihatkan bahwa itu bukanlah sebuah ungkapan yang publicly digunakan oleh Ahok bagi para anggota DPRD. Sebuah ungkapan yang mengekspresikan nurani yang bergejolak atas sebuah pengajuan usulan jumlah dana dalam jumlah yang fantastis untuk keperluan yang remeh-temeh. Dan ini sangat berbeda dengan makian "anjing" serta umpatan rasis lainnya yang diungkapkan secara publik bagi Ahok juga didasarkan atas emosi yang tidak beralasan sama sekali.
Dalam koridor konteks di atas, coretan tangan Ahok: "pemahaman nenek lu", mestinya dipahami sebagai "pemahaman absurd" atau jika dikaitkan dengan salah satu fitur lansia, pikun, "pemahaman pikun", pikun akan kebutuhan yang substansial lalu digantikan dengan urusan remeh-temeh.
Untuk kepikunan akan konteks yang substansial di atas dalam rangka memahami "pemahaman nenek lu"-nya Ahok, saya kira Ryan yang menyebut ungkapan ini ungkapan kasar bisa disebut juga: "kasar nenek lu" (dalam arti mengabaikan konteks penting di atas)!
Catatan lain untuk Ryan adalah penggunaan analogi seorang istri yang kedapatan berselingkuh oleh suaminya. Suaminya memutuskan tidak ribut di hadapan anak-anak. Ryan percaya bahwa seharusnya kisruh itu tidak perlu sampai ke rakyat. Seharusnya itu dibicarakan saja secara intern. Ini adalah analogi yang cacat karena transparansi untuk kasus suami-istri tersebut justru tidak diperlukan, sementara transpransi di hadapan publik dalam kisruh Ahok-DPRD DKI Jakarta merupakan sebuah aksioma!
Tanggapan untuk Mohammad Armand
Mohammad Armand mengungkapkan keprihatinannya atas teriakan (scream) Ahok yang menurutnya memberikan teladan psikologis yang buruk bagi anak-anak. Kekhawatiran ini membuat Armand mengusulkan,
Bila anak-anak Anda bertanya di rumah, mengapa orang-orang berpangkat suka berkelahi? Katakan dengan lembut padanya bahwa itu hanyalah sandiiwara, mereka itu temenen, sahabatan bukan musuhan. Artinya, yang kerap bersandiwara itu adalah anak-anak, berteman dan suka berantem-berantem kecil, setelah itu temanan lagi dan saling mencari.
Saya ada beberapa catatan penting untuk Armand terkait isi tulisannya:
- Saya tidak menafikan teori psikologis yang secara spesifik digunakan Armand sebagai lensa untuk membedah sikap Ahok. Saya percaya teori tersebut bermanfaat.
- Namun, saya percaya Arman mengaplikasikan teori tersebut secara salah dalam konteks Ahok. Misalnya, dalam konteks rapat mediasi kemarin. Saya menonton rekaman rapat tersebut dari awal hingga selesai dan mendapati bahwa pada penghujungnya, Ahok memang sudah dipersilakan oleh pimpinan rapat untuk berbicara. Awalnya Ahok menjelaskan dengan nada normal membantah tudingan "diskriminasi" yang dilontarkan oleh Haji Lulung sebelumnya. Sementara berbicara, berkali-kali Haji Lulung memotong pembicaraan Ahok disertai tantangan terhadap Ahok: "Ini hasil pembahasan. Mau sewenang-wenang atau pake hukum." Tantangan ini beberapa kali coba ditepis oleh Ahok dengan beberapa ujaran "betul..betul..betul". Tetapi Haji Lulung terus memprovokasinya dengan memotong-motong pembicaraan dan tantangan yang sama. Ahok pun bersuara keras meminta Walikota untuk berbicara soal UPS yang kemudian langsung berujung kisruh.
- Terkait poin di atas. Armand tidak konsisten dengan mengarahkan pisau bedahnya hanya kepada Ahok sementara mengabaikan Haji Lulung yang tidak beretiket memotong giliran berbicaranya Ahok berkali-kali dengan nada menantang.
- Juga Armand lupa bahwa teriakan itu bukan teriakan yang out of context. Ahok menaikan suaranya, tetapi substansinya adalah meminta testimoni Walikota untuk membantah Haji Lulung bahwa itu "hasil pembahasan"
- Saya tidak setuju dengan solusi Armand di atas yang bagi saya tidak ada bedanya dengan mengatakan hal bohong kepada anak. Saya justru menganjurkan untuk mengatakan apa adanya kepada anak sambil memberikan pemahaman bahwa ada hal substansial yang sedang dibicarakan dan itu dapat saja melibatkan emosi. Dan dalam konteks seperti itu terdapat strong human dimension yang tidak dapat kita tuntut untuk menjadi setara dengan malaikat tanpa emosi di sana. Anak tidak perlu dicekoki dengan solusi manipulatif yang diusulkan Armand. Anak harus diajarkan untuk berhadapan dengan realitas kehidupan yang sesungguhnya dan dengan informasi yang otentik!
Kisruh itu sendiri adalah bagian dari kerja!
Tidak masuk akal untuk orang berujar: "Kalau ribut terus kapan kerjanya?" Ini digarisbawahi dalam tulisan Ryan. Ujaran seperti ini mungkin benar dalam konteks yang lain tapi tidak dalam konteks kisruh Ahok vs DPRD. Justru kisruh sekarang adalah bagian dari kerja itu sendiri. Ahok sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang pejabat pemerintahan yang tidak menginginkan ada dana siluman di RAPBD. Dan itu harus dilihat sebagai bagian dari kerja.
Asumsi-asumsi terkait penggunaan kata-kata negatif, sudah saya bahas pada tulisan saya yang linknya ditautkan di atas. Di sini, saya ingin menggarisbawahi lagi sebuah gagasan yang juga sudah sering saya tandaskan. Jangan fokus pada pohonnya lalu kehilangan hutannya. Hal-hal detail semisal yang disorot kedua Kompasianers di atas adalah hal-hal yang non esensi dalam kisruh ini bahkan kontribusinya minim untuk kisruh ini. Esensi dari kisruh ini adalah perjuangan untuk menolak upaya-upaya memasukkan dana menggelembung ke dalam RAPBD. Dan ini, saya kira yang perlu menjadi fokus kita bersama.
Berhentilah menjadi orang yang kelewat sopan padahal sopan-santun Anda tidak pada tempatnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H