Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fadli Zon, Sang Debator Jempolan!

4 Juni 2014   06:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:44 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1401814879996358297

[caption id="attachment_309599" align="aligncenter" width="483" caption="Sumber: http://blog.discourse.org/wp-uploads/2013/03/your-face-is-a-logical-fallacy.png"][/caption]

Sesi kedua perdebatan di Mata Najwa tanggal 28 Mei 2014 diisi oleh perdebatan antara Fadli Zon (kubu Prabowo) dan Maruar Sirait (kubu Jokowi). Terus terang, saya menilai Fadli Zon sebagai seorang debator jempolan di sesi ini. Dan mungkin karena ia seorang debator jempolan maka Gerindra begitu mengedepankan tokoh yang satu ini. Mari kita lihat mengapa saya mengklaim demikian!

Tidak semua detail perdebatan mereka akan disorot di sini. Selain itu, saya juga akan langsung memberikan komentar sesudah secara singkat memberikan ulas ulang argumen mereka.

Pertama, ketika Sirait berargumen bahwa Jokowi unggul karena pernah terpilih sebagai walikota terbaik ketiga di dunia, Fadli Zon menolak argumen ini dengan memberi kesan bahwa World Mayor itu dapat memilih siapa saja secara serampangan. Dan karenanya, [implicit conclusion], terpilihnya Jokowi sebagai walikota terbaik ketiga di dunia tahun 2014 menjadi tidak relevan untuk digunakan mendukung keunggulan Jokowi.

Kedua, ketika Sirait berargumen bahwa Jokowi unggul karena menurut survei bulan lalu, Jokowi 12 % - 15 % di atas Prabowo (SMRC). Fadli Zon meresponsi data ini dengan menyatakan bahwa survei seperti itu "bisa dikutak-katik". Sama seperti poin pertama di atas, implicit conclusionnya adalah bahwa hasil survei tersebut tidak layak dipertimbangkan.

Ketiga, menurut Fadli Zon visi dan misi itu penting karena itu cerminan dari pikirannya. Mengutip "ada yang mengatakan," Fadli Zon meragukan bahwa tulisan yang pernah dikemukakan Jokowi itu mungkin bukan berasal dari Jokowi sendiri. Alasannya, pada hari yang sama pada hari yang sama.

Untuk poin pertama, kedua, dan ketiga di atas di atas, Fadli Zon menggunakan bantahan ala taktik perang di masa lampau yaitu meracuni sumur musuh untuk memperlemah kekuatan musuh. Dalam kondisi seperti ini, tentu pasukan musuh akan dikalahkan dengan sangat gampang.

Dalam berargumen, taktik di atas dikenal sebagai sebuah sesat pikir bernama poisoning the well fallacy. Sesat pikir ini terjadi ketika seseorang memberi asosiasi negatif (tanpa bukti) terhadap sumber dari argumen lawannya guna menolak kekuatan dari argumen lawan tersebut. Sesat pikir ini merupakan salah satu bagian dari sejumlah sesat pikir yang tergolong dalam argumentum ad hominem (lih. Damer, Attacking Faulty Reasoning, 198, 200-201).

World Mayor, lembaga yang memberi penghargaan terhadap Jokowi sebagai walikota terbaik ketiga di dunia tahun 2014 adalah lembaga yang memiliki code of ethics yang sangat baik sebagai kriteria dalam menentukan kandidat-kandidat penerima penghargaan darinya. Anda bisa mengecek hal ini langsung di website World Mayor (klik di sini).

Lembaga survei SMRC sendiri pernah menerima penghargaan dari American Political Science Association (APSA) pada tahun 2010. Dan ini membuktikan bahwa lembaga ini memiliki kompetensi riset yang tidak dapat begitu saja diasumsikan buruk.

Mengenai tulisan yang dimaksudkan pada poin ketiga di atas, adalah tulisan berjudul: "Revolusi Mental" yang dapat dibaca di sini. Dan mengenai tulisan ini, Pepih Nugraha sudah menulis sebuah reportase yang menegaskan bahwa tulisan itu memang berasal dari Jokowi sendiri (baca di sini).

Bagaimana pun juga, ketiga "sumber" di atas secara logis harus diasumsikan kredibel. Karena secara umum, kita memiliki acuan untuk mengasumsikan kredibilitas sumber-sumber ini. Jadi, beban pembuktian (burden of proof) untuk membuktikan ketidakhandalan sumber-sumber ini, bukan ada pada pihak Sirait, melainkan ada pada pihak Fadli Zon. Dengan kata lain, Fadli Zion meracuni sumber-sumber ini dengan membalikkan asumsi seakan-akan Sirait harus memberikan bukti bagi kredibilitas ketiga "sumber" di atas untuk dijadikan sebagai acuan berargumen (shifting the burden of proof fallacy).

Keempat, Fadli Zon menganggap Jokowi itu pemimpin yang ambisius karena belum menyelesaikan tugasnya di Jakarta tetapi sudah menginginkan tugas yang lain (presiden). Sirait mengingatkan bahwa justru Gerindra yang mendukung Jokowi sebagai Gubernur Jakarta ketika ia masih menjabat sebagai walikota Solo untuk periode yang kedua.

Argumen Fadli Zon di atas mengacu kepada kriteria yang ia ciptakan sendiri mengenai "ambisius", yaitu "menyelesaikan masa jabatan". Konklusi implisitnya adalah Jokowi ambisius karena belum menyelesaikan masa jabatannya di DKI namun sudah menginginkan posisi Presiden. Dan ini adalah serangan terhadap karakter Jokowi.

Sayang sekali, kriteria di atas bermasalah dalam tiga hal:


  1. Kriteria yang diciptakan Fadli Zon di atas menjadi bumerang bagi Gerindra sendiri karena faktanya, Jokowi didukung oleh Gerindra ke Jakarta tatkala Jokowi masih menjabat sebagai walikota Solo untuk yang kedua kalinya. Sirait benar bahwa ini kriteria yang inkonsisten! Tetapi, inkonsistensi dari kriteria itu belum membuktikan bahwa kriteria itu salah! Misalnya, saya menyatakan "Jangan mencuri", padahal saya mencuri, itu berarti saya tidak konsisten. Tetapi, ketidakkonsistenan saya tidak membuat pernyataan saya mengenai jangan mencuri itu salah!
  2. Ketika diserang inkonsisten oleh Sirait, Fadli Zon mengubah kriteria di atas dari "menyelesaikan masa jabatan" menjadi "menyelesaikan masa jabatan yang pertama" [ini implisit dari jawaban Fadli]. Artinya, dengan mengubah definisi ini, Fadli Zon ingin melepaskan diri dari inkonsistensi pada poin pertama di atas! Sayangnya, dengan mengubah cakupan kriteria itu, Fadli Zon telah melakukan sebuah sesat pikir bernama ekuivokasi. Sesat pikir ini terjadi, ketika seseorang berargumen dengan mengubah definisi awalnya hanya untuk mencocokkan dengan posisinya sendiri.
  3. Tidak ada alasan objektif untuk menjadikan kriteria "menyelesaikan masa jabatan" sebagai acuan untuk menilai karakter Jokowi. a) Tidak ada UU yang mendukung kriteria tersebut; b) pencapresan Jokowi bukan semata-mata keinginan Jokowi tetapi keinginan masyarakat yang melihat kinerja bagus Jokowi baik di Solo mau pun di Jakarta. Artinya, perihal pencapresan Jokowi tidak boleh semata-mata dilihat sebagai sebuah keinginan pribadi! Dengan kata lain, Fadli Zon menciptakan sebuah kriteria palsu (false criteria). Dan kebetulan sekali kriteria palsu ini juga memiliki tempat dalam jejeran sesat pikir dengan nama yang sama yaitu false criteria fallacy.


Nah, sekarang mengapa saya memberi judul: Fadli Zon Debator Jempolan? Jelas beliau adalah debator jempolan! Jempolan dalam hal melakukan banyak sesat pikir dalam satu sesi perdebatan. Itulah sebabnya, saya sangat setuju bahwa Fadli Zon seorang cerdas yang membungkam Maruar Sirait (bnd. tulisan ini). Betul sekali, Fadli Zon cerdas dan jempolan dalam hal mengggunakan argumen-argumen fallaious! Dan entah bagaimana caranya saya bisa membuktikan kesetujuan saya bahwa Fadli Zon adalah orang yang cerdas yang membungkam Maruar Sirait, ketika orang yang cerdas ini jempolan dalam hal melakukan sesat pikir!

Anda paham sekarang mengapa saya menjuluki Fadli Zon debator jempolan? Kalo belum juga gpp.

Ya udah, gitu aja. Selamat malam; Salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun