Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Argumen Tingkat Kata di Kompasiana

24 Juni 2014   09:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:23 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain buku: The Doctrine of the Knowledge of God yang ditulis oleh profesor John M. Frame, saya belum pernah membaca buku atau sumber lain yang membahas tentang argumen tingkat kata. Meski begitu, sebenarnya pembahasan mengenai argumen tingkat kata yang dilakukan oleh Frame didasarkan atas studi yang sangat luas diterima di kalangan para ahli bahasa Alkitab, yang dilakukan oleh profesor James Barr dalam bukunya yang berjudul: Semantics of Biblical Language.

Di sini, saya tidak ingin Anda kehilangan minat gara-gara membaca paragraf pengantar di atas. Karena meskipun dua hasil riset yang sangat berpengaruh di atas dilakukan oleh para pakar Alkitab, namun saya akan memperlihatkan bahwa relevansinya tidak hanya terbatas dalam konteks Kekristenan. Lebih spesifik lagi, kita dapat memetik manfaat darinya untuk menilai sejumlah argumen serta diskusi-diskusi di kolom komentar di Kompasiana.

Mengacu kepada tulisan Frame di atas, saya akan langsung mengemukakan tiga contoh spesifik di mana argumen tingkat kata digunakan di Kompasiana:


  • Menolak penggunaan istilah tertentu, hanya karena istilah tersebut pernah digunakan dalam muatan konsep yang salah atau pernah digunakan oleh komunitas yang berseberangan atau setidaknya yang tidak ia setujui wawasan konseptualnya. Misalnya saya pernah berdiskusi dengan seorang Kompasianer yang mengkritik saya karena saya menggunakan istilah pluralisme. Menurutnya, pluralisme itu salah karena digunakan oleh kaum pluralis filosofis yang menolak kebenaran absolut. Padahal saya menggunakan istilah pluralisme bukan dalam pengertian filosofisnya, melainkan dalam pengertian empirisnya (fakta keberagaman).
  • Melakukan pembelaan berdasarkan ada atau tidak adanya sebuah kata atau frasa. Beberapa hari lalu saya nimrung dalam sebuah diskusi mengenai apakah Prabowo dipecat atau tidak dipecat. Salah seorang Kompasianer bersikeras bahwa dalam Kepres, istilah yang digunakan adalah Diberhentikan dengan hormat. Argumen semacam ini juga pernah digunakan oleh Kompasianer Thamrin Dahlan beberapa waktu lalu, salah seorang pembela Prabowo. ni adalah argumen tingkat kata karena mengabaikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penting di seputar pemberhentian Prabowo. Dan ternyata beberapa waktu terakhir ini, muncul Surat Rekomendasi DKP yang secara eksplisit menyebutkan alasan-alasan pemberhentian Prabowo. Menyimak alasan-alasan tersebut, tidak mungkin orang dapat membantah lagi bahwa Prabowo, meskipun dalam Kepres disebut diberhentikan dengan hormat namun sebenarnya itu merupakan eufimisme (ungkapan pelembut) dari pemecatan. Istilah dipecat memang tidak ada, tetapi gagasan itu ada berdasarkan alasan-alasan pemberhentiannya!
  • Melakukan "elakan" berdasarkan ada atau ketiadaan kata. Misalnya beberapa waktu lalu, seorang Kompasianer mencoba memperlihatkan "netralitasnya" dengan menyatakan: Jokowi (kasus bus karatan), JK (century), Prabowo (HAM). Lalu ia menyatakan bahwa hal-hal ini "menghancurkan harapannya". Ketika dikonfrontasi oleh Kompasianer lain bahwa Jokowi tidak terlibat kasus itu, ia mengelak bahwa ia tidak menggunakan istilah "terlibat". Ini adalah elakan tingkat kata, karena keterangan "menghancurkan harapan" tidak akan masuk akal tanpa asumsi bahwa Jokowi terlibat kasus bus karatan itu.

Argumen tingkat kata tidak pernah merupakan argumen yang kuat dan berhasil, sebaliknya merupakan argumen yang bangkrut karena konsep atau gagasan itu harus dibangun di atas kata-kata yang termaktub dalam suatu konteks. Di sini, konteks menjadi penentu makna. Di samping itu, sebuah gagasan atau konsep itu bisa saja ada tanpa harus ada kata-kata yang eksplisit di dalam konteksnya!

Semoga bermanfaat; Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun