Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Les Miserables": Benturan Keadilan dan Kasih

21 Juli 2014   08:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:44 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_316181" align="aligncenter" width="260" caption="http://img2.imagesbn.com/"][/caption]

Les Miserables adalah judul novel terkenal dari Victor Hugo yang dipublikasikan pada tahun 1862. Novel ini kemudian dipentaskan menjadi sebuah drama musikal dengan tema yang sama dengan judul novel itu.

Kandungan berharga dari novel ini akan saya "bagikan" di sini, sambil saya tautkan dengan sebuah karya menarik dari Profesor D.A. Carson, termasuk pergulatan saya memahami re-presentasi kisah ini dalam tulisan Carson, khususnya dalam konteks Indonesia.

Hugo memperkenalkan sosok Jean Valjean, yang dihukum sembilan belas tahun kerja paksa karena mencuri roti.  Kepahitan dan kekerasan hati sudah pasti mengikuti hukuman yang "tidak adil" itu dalam diri Valjean. Dan itu semakin menjerumuskannya berperilaku tidak dapat dipercaya sama sekali.

Tiba giliran seorang uskup yang baik hati ikut menanggung "hasil" pengalaman tak bersahabat itu di dalam diri Valjean. Setelah menyelamatkan Valjean dari perilaku buruk pemilik losmen pasca melarikan diri dari penjara, uskup itu pun membawanya pulang ke rumahnya. Apa lacur, Valjean malah mengkhianati kepercayaan itu. Ketika penghuni rumah itu lelap dalam mimpi, Valjean malah merayap dalam kegelapan, menggasak beberapa barang berharga dalam rumah itu.

Rupanya, Valjean tertangkap polisi dan keesokan harinya ia digiring kembali ke rumah uskup itu. Pada masa itu, uskup itu hanya perlu mengucapkan pengiyaan dan pemuda malang itu akan mendekam seumur hidup dalam penjara.

"Ah, akhirnya! Saya ingin bertemu dengan Anda. Apakah Anda lupa tempat-tempat lilin yang juga saya telah berikan kepada Anda? Itu juga terbuat dari perak seperti yang lainnya, dan harganya 200 francs. Apakah Anda lupa membawanya?"

Valjean bukan hanya dibebaskan. Lebih penting lagi, ia diubahkan. Rasa malu begitu menguasai diri Valjean ketika para polisi itu pamit. Ia bahkan tidak memiliki daya mengucapkan satu kata pun. Dan uskup yang baik hati itu pun berkata:


"Jangan lupa, jangan pernah lupa, bahwa engkau telah berjanji pada saya untuk menggunakan uang tersebut untuk membuat dirimu menjadi pria yang jujur."

Dan lihatlah, dekap kepahitan yang membusuk menjadi ketidakelokkan karakter itu terputus seketika dengan sebuah tindakan kasih yang tulus.

Di sudut lain, seorang detektif yang bertugas menangkap kembali buronan, Valjean, malah mengakhiri hidupnya dengan menenggalamkan dirinya sendiri ke dalam Sungai Seine. Ia dikuasai begitu kuat oleh keadilan. Keadilan versinya, tentu saja. Keadilan terbalik yang merusak kehidupan seorang pemuda, yang kemudian dipulihkan oleh sebuah tindakan kasih yang besar. Kategori keadilan seperti ini runtuh seketika dan ia tidak tahan berhadapan dengan efek dari pengampunan dan belas kasih. Maka ia memilih arus sungai itu sebagai tempatnya melarikan diri selamanya.

Untuk jelasnya, saya menemukan juga pengisahan ulang narasi inspiratif di atas dalam buku Profesor D.A. Carson, The Difficult Doctrine of the Love of God [sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia]. Untuk sejenak, saya senang menemukan kisah kesukaan saya itu di sana. Tetapi kemudian saya agak kecewa terhadap Carson.

Bahwa esensi kisah tersebut benar dan inspiratif, ya. Tidak diragukan. Bagaimana pun itu hanya sebuah kisah dalam sebuah novel, sekalipun itu memang novel yang terkenal. Dan di sinilah letak "agak kecewa"nya saya. Seakan-akan, ketika orang berbicara mengenai kasih Allah yang mengubahkan dan memulihkan itu, orang hanya dapat menemukannya dalam sebuah "fantasi manis". Saya tidak yakin Carson tidak memiliki satu pun kisah nyata untuk dikisahkan. Lalu mengapa tidak memilih menggunakan kisah nyata saja?

Tetapi, saya mencoba membawa esensi kisah itu dalam sebuah realitas, dalam konteks Indonesia. Rasanya, saya harus menarik kembali kekecewaan saya. Mari pertimbangkan. Apakah orang akan sangat legowo membiarkan kisah memalukannya semisal yang dialami Valjean tereksplorasi di hadapan publik, dibaca oleh jumlah orang yang tidak terbatas? Mungkin saja ada, tetapi saya kira mayoritas orang akan enggan menganggukkan kepala di sini.

Dan untuk keengganan itu, bukan takaran hitam putih, sesuatu yang dalam pesan Hugo, merusak kehidupan Valjean. Takarannya adalah pengampunan, belas kasih, dan penerimaan.

Ada banyak "Valjean", baik yang sudah maupun potensial, ada di sekitar kita. Mari kita bantu mereka dengan pengampunan dan penerimaan supaya mereka menjadi pribadi yang dipulihkan. Jangan sampai, kita justru menciptakan "Valjean-Valjean" lainnya sambil merasa bahwa kita adalah detektif-detektif penegak keadilan di mana keadilan itu kita interpretasikan sesuka hati kita untuk cocok dengan tendensi judgmental kita lalu membuang sisi antinominya dengan kasih, pengampunan dan penerimaan.

Menyelesaikan tulisan ini, saya ingin mengingatkan Anda akan kata-kata E'jei Osborne, "Keadilan tanpa belas kasih adalah tirani." Dan mungkin juga tidak melupakan Sidney Lumet yang pernah berkata, "Tidak pernah ada keadilan tanpa kasih."

[caption id="attachment_316182" align="aligncenter" width="448" caption="http://theromanticvineyard.files.wordpress.com/"]

14058796731677338446
14058796731677338446
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun