Sama seperti semua bentuk surat lainnya, surat terbuka pun harus ditulis menggunakan bentuk sebuah surat. Struktur sederhananya adalah: pendahuluan (salam, ucapan syukur, dsb.), tubuh (isu dan argumen untuk isu yang dibahas; bisa juga diakhiri dengan paraenesis [nasihat atau dorongan praktis]), dan penutup (salam penutup, doa. dsb.).
5. Penerimanya adalah public figure
Penerima surat terbuka adalah tokoh penting dalam masyarakat, entah dari segi pengaruh, jabatan, kemapanan ekonomis, kiprah/jabatan akademis, dsb. Tokoh-tokoh ini menerima surat terbuka, biasanya berisi protes atau kritikan berkait hal-hal tertentu, di mana si pengirimnya menulis demi kepentingan sekelompok orang atau bahkan jumlah orang yang sangat banyak. Tokoh-tokoh penting ini dikirimi surat terbuka karena mereka memiliki "kuasa" untuk penentuan keputusan-keputusan dan/atau kebijakan-kebijakan tertentu yang signifikan bagi banyak orang, termasuk juga karena perilaku mereka ikut mempengaruhi perilaku publik.
6. Isu yang disorot spesifik namun signifikan.
Sama seperti sebuah artikel, isu yang disorot dalam sebuah surat terbuka adalah isu yang spesifik. Tidak banyak isu sekaligus. Meski demikian, si penulis wajib memberikan argumen bahwa isu yang diangkatnya adalah isu yang signifikan, bukan hanya bagi si penulis itu sendiri, melainkan bagi orang banyak.
Akhirnya saya ingin mengingatkan sekali lagi, surat terbuka bukan sarana penumpahan uneg-uneg dan omelan-omelan atau curcol, tetapi sarana argumentasi sastrawi!
Semoga bermanfaat!
Istanbul, 01.08 am.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H