Istilah "infleksi" (inflection) dalam studi linguistik merujuk kepada perubahan sebuah kata ke dalam kategori-kategori morfologis [dan/atau gramatikal] yang berdampak pada perubahan fungsi dan bahkan cakupan maknanya. Misalnya, untuk kata benda, penginfleksiannya mencakup: kasus (istilah ini dalam studi linguistik berarti fungsi kata benda dalam kalimat, yaitu Nomimatif, vokatif, akusatif, genitif, dan datif), gender (maskulin, feminim, neuter), jumlah (tunggal, jamak, dual), dll. Untuk kata kerja unsur infleksinya: akar kata (stem), tense, jumlah (jamak, tunggal), modus (indikatif, imperatif, subjunktif, infinitif), dll.
Dalam bahasa Yunani Koine [juga modern Greek], misalnya, penginfleksian seperti di atas sangat terstruktur secara sistematis sehingga kita memiliki pola yang jelas ketika membuat deklensi sebuah kata. Demikian pula, saya kira, bahasa Jerman.
Sayangnya pola kebahasaan kita, bahasa Indonesia, lebih banyak berdasarkan intuisi ketimbang sebuah pola (pattern) linguistik yang baku. Tidak heran, kita orang Indonesia cenderung mengalami agak lebih banyak kesulitan ketika belajar bahasa-bahasa lain yang memiliki pola kebahasaan yang terbilang baku. Kita tidak terbiasa dengan hal itu.
Bahkan, kita sendiri cenderung bingung menginfleksi sebuah kata akibat ketidakbakuan pola kebahasaan kita. Salah satu kebingungan itu akan saya sorot secara khusus di sini, lalu mengakhirinya dengan menyertakan beberapa contoh lain yang setara secara linguistik dengannya.
Infleksi dari kata "politik" menjadi “politikus” dan “politisi”, misalnya. Di berbagai media online dan elektronik, termasuk juga dalam tutur lisan, istilah "politikus" dan "politisi" umumnya simpang siur peredaran maknanya. Walau kedua istilah hasil infleksi linguistik ini merujuk kepada "orang yang berpolitik", namun makna spesifiknya sering kali cukup membingungkan, khususnya dalam membedakan keduanya. Rupanya, sekali lagi, pemaknaan yang simpang siur dan membingungkan itu merupakan akibat dari ketidaktepatan penginfleksiannya.
Di beberapa situs online, ada yang mengartikan "politikus" sebagai "ahli politik" sedangkan "politisi" sebagai "insan politik" (yang belum tentu adalah seorang ahli). Ada yang yang mengartikan "politikus" secara negatif yaitu "orang yang berpolitik ala tikus [got]" sementara "politisi" berarti "orang yang berpolitik secara bermartabat". Ada yang menyatakan bahwa "politikus" merupakan kata yang tepat merujuk kepada orang yang berpolitik, sedangkan "politisi" menyusup masuk ke dalam perbendaharaan kosakata Indonesia sebagai akibat "lidah orang Indonesia lebih suka menyebut istilah politisi ketimbang politikus".
Dari segi maknanya, istilah "politikus" dan "politisi" sebenarnya hampir sama saja seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya. Tetapi, yang membedakan keduanya adalah referensi unsur inflektifnya, dalam hal ini unsur jumlah (number). Kata "politikus" adalah bentuk tunggalnya, sedangkan "politisi" adalah bentuk jamaknya. Sebagai acuan analogisnya, perhatikan tabel lengkap infleksi kata "politikus" dalam bahasa Latin, di bawah ini:
[caption id="attachment_317210" align="aligncenter" width="551" caption="Diadaptasi dari: http://en.wiktionary.org/"]
Dalam tabel di atas, memang kata politici (Ind. "politisi") dalam bentuk nominatif maskulin jamaknya sama dengan genitif masukulin tunggal dan neuter tunggalnya. Tetapi ini bisa dijelaskan secara gampang karena acuan inflektif selalu dimulai dari nominatif maskulinnya. Jadi, argumentasi inflektif bahwa "politikus" adalah bentuk tunggal dan "politisi" adalah bentuk jamaknya tidak terpengaruh oleh kesamaan bentuk nominatif maskulin jamak dan genitif maskulin tunggal juga genitif neuter tunggalnya.
Satu contoh saja. Adalah salah jika kita menyatakan, "Para politisi itu membuat pernyataan sikap politis." Salah, karena seharusnya bukan kata "politisi" yang digunakan, melainkan kata "politikus".
Saya kira, contoh yang sangat "licin" di atas setara dengan beberapa pasang kata lain: "alumnus" (tunggal) dan "alumni" (jamak): "datum" (tunggal) dan "data" (jamak); juga "musikus" (tunggal) dan "musisi" (jamak).
Akhirnya, saya senyum-senyum sendiri karena baru saja menonton sebuah acara televisi Indonesia di mana sang naratornya mengomentari seorang musikus dengan berkata: "Musisi ini sudah makan asam garam dunia pertunjukan musik".
Semoga ke depan, Anda bukan [lagi?] salah seorang yang membuat orang lain yang memiliki kemampuan diskriminasi linguistik senyum-senyum sendiri.
Istanbul, 20.20 pm.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H