[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Perayaan Tumbilutohe di Gorontalo (http://2.bp.blogspot.com/)"][/caption]
Sampai saat ini, saya sudah mengunjungi lumayan banyak negara (Amerika, Australia, Singapura, Filipina, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Turki, dll.). Dalam 3-5 tahun ke depan, saya akan menetap di Negeri Kincir Angin untuk menyelesaikan program doktoral saya. Saat menulis postingan ini saya sedang berada di Istanbul sejak seminggu yang lalu. Meski begitu, tidak ada kesan sosio-kultural yang lebih mengesankan dan membuat saya merasa "bodoh" sekaligus "tersanjung" dibandingkan dengan pengalaman pertama berkunjung ke Gorontalo pada tahun 2000, empat belas tahun silam.
Kala itu, saya berangkat bersama tiga orang rekan mahasiswa seangkatan dalam rangka PKL. Kami berangkat pada penghujung tahun 2000, bulan Desember tepatnya tanggal 14. KM Kambuna mengantar kami dengan waktu pelayaran selama kurang lebih satu minggu. Singgah di banyak pelabuhan (Makassar, Balikpapan, Pantoloan, Toli-toli, hingga akhirnya melabuh di Bitung) juga merupakan pengalaman tak terlupakan.
Setelah semalam nginap di Manado dan perjalanan delapan jam dengan bis, kami tiba di Gorontalo. Dan pengalaman inilah yang membuat saya lebih mengenang Gorontalo ketimbang kota mana pun yang pernah saya kunjungi.
Oh ya, sebelum lanjut, saya berasal dari Kupang. Sekadar nasihat kultural, di Kupang, kalau Anda baru pertama kali berkunjung ke sana, jangan pernah menggunakan kata "uti" atau mau disebut dengan kata itu. Kata itu adalah kata makian khusus untuk pria. Anda sudah bisa membayangkan sendiri maksudnya, supaya saya tidak perlu mengetiknya eksplisit di sini. Hahahahaha.
Tiba di Gorontalo, kami dijemput oleh seorang rekan yang berada di sana dan membawa kami ke rumah Pak Maman (semoga beliau membaca postingan ini). Pak Maman bersama istri dan anak-anaknya sangat ramah. Mereka menyambut kedatangan kami dengan menyediakan berbagai macam makanan. Silakan tebak. Semuanya pedas!
Tiba giliran kami dipersilakan makan. Dengan ekspresi penuh keramahan, Pak Maman berkata: "Ayo kita makan, Uti". Uti? Telinga "Kupang" saya berdesir. Seketika ada kemarahan yang tertahan di hati saya. Pikir saya, "Nih orang mau nyuruh makan aja pake makian segala."
Tiga orang teman saya segera mengambil makanan. Saya tidak bergeming. Karena saya bukan orang yang bisa menyimpan tanda tanya, saya pun bertanya kepada Pak Maman. Dengan nada yang sopan walau jengkel tentunya.
"Pak, kata Uti di sini itu maksudnya apa?" "Oh, itu sapaan kesayangan untuk laki-laki. Kalau untuk perempuan, sapaan kesayangannya adalan No'u," jelasnya dengan sabar. "Bahkan," lanjutnya, "di sini ada pemilihan Uti dan No'u setiap tahun, semacam pemilihan Abang dan None di Jakarta."
Astaga! "Uti" untuk laki-laki, dan "No'u" untuk perempuan? Dua kata ini persis digunakan di Kupang, persis dengan maksud yang bertentangan seperti yang saya gambarkan sekilas di atas. Kami pun tertawa terpingkal-pingkal setelah saya menjelaskan kejengkelan saya tadi.
Saya ingat. Di Gorontalo waktu itu sedang tenar film Kuch Kuch Hota Hai yang dibintangi Shahruk Khan. Dan ketika bersepeda mengelilingi kota datar yang tak begitu besar itu setiap sore, anak-anak kecil itu ramai meneriaki saya: "Te Rahul, te Rahul". Hahahaha....
Saya juga ingat, Pak Maman pernah mengantar saya mengunjungi Benteng Otanaha, sebuah benteng peninggalan Jepang tidak jauh dari Kota Gorontalo di daerah pegunungan. Untuk tiba di benteng itu, kami menapaki ratusan anak tangga dengan empat persinggahan. Juga Danau Limboto dan lokasi pemandian air panas di Lombongo. Last but not least, perayaan Tumbilotohe yang sangat unik itu. Wow!
Akh...Gorontalo, saya akan mengenangmu dengan senyum sambil tidak melupakan keramahan dan ragam makanan super pedas di rumah Pak Maman. Basuar dan merah-merah kita pe muka!
Akhirnya, saya hanya ingin sedikit berefleksi. Diversitas kultur di Indonesia sangat mempesona. Tetapi bisa juga menjadi "sumber" perpecahan. Yang diperlukan adalah sikap arif. Menghargai, menghormati dan memahami kearifan-kearifan kultur setiap daerah. Sudah saatnya kita menanggalkan etnosentrisme. Kekayaan yang beragam itu bukan untuk dipertandingkan, melainkan untuk disandingkan lalu dinikmati dengan penuh ucapan syukur. Sudah saatnya kita membangun Nasionalisme tanpa menyeragamkan apalagi memangkas diversitas kultural kita yang amat kaya itu. Di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak! Bhineka Tunggal Ika!
Istanbul, 03.09 pm.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H