[caption id="attachment_386056" align="aligncenter" width="576" caption="http://kvltmagz.com/"][/caption]
Beberapa hari lalu saya menonton film "Supernova" yang tayang perdana di Jakarta pada tanggal 11 Desember 2014. Film ini diadaptasi dari novel laris karya Dewi "Dee" Lestari berjudul: Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Saya sendiri belum pernah membaca novel itu. Tetapi menonton film ini saya harus memberikan apresiasi kepada kejeniusan penulisnya yang memadukan antara sains, filsafat, dan romantisme menjadi sebuah karya seni yang sangat berkualitas.
Film ini mengisahkan tentang sepasang gay yang berikrar untuk menghasilkan sebuah karya seni. Ikrar itu terwujud dalam kisah tentang sang ksatria (Fere, seorang pengusaha muda yang sukses dan tampan) yang kemudian menjalin hubungan asmara dengan seorang wakil editor in chief dari sebuah majalah wanita (Rana). Hubungan asmara yang "terlarang" karena Rana yang sangat intelek dan cantik ini, ternyata sudah bersuami.
Berulang kali, penonton "diindokrinasi" melalui isi dialog para pelakonnya untuk percaya bahwa hidup ini terlalu kompleks untuk dilihat dalam bingkai moral yang "hitam-putih". Relativisme dan subjektivisme moral menjadi panduan yang disuguhkan untuk menilai cinta terlarang itu. Kebebasan individu untuk memutuskan apa yang "baik" dan yang "tidak baik" merupakan kerangaka filsafati yang mendasari adegan demi adegan.
Maka, mengikui tanjakan plotnya, kita seakan terbuai untuk tidak melihat perselingkuhan Rana dan Fere sebagai sebuah empasis atau titik fokus evaluatif. Daya pikatnya, sebagaimana yang ingin ditanamkan dalam benak penontonnya, ada pada reaksi suami Rana yang memutuskan untuk berbesar hati terhadap istrinya yang jatuh cinta pada pria lain dan perasaan bebas Rana untuk akhirnya mengkristalkan cintanya terhadap Fere lalu menyimpannya dalam laci sanubarinya untuk kembali ke pelukan suaminya.
Daya pikat dengan sauh yang tertancap pada reaksi dan liberasi individu di atas seakan menggiring kita untuk setuju, dengan istilah yang agak kasar bahwa "tidak apa-apa selingkuh" atau "normal untuk orang membuka hatinya lagi terhadap pria/wanita lain setelah memasuki ikatan pernikahan". Yang "apa-apa" adalah reaksi terhadap perselingkuhan dan bagaimana individu-individu yang terlibat di dalamnya mengambil keputusan yang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Hantaman terhadap bingkai moral yang hitam-putih itu pun sepertinya dimaksudkan untuk "terngiang-ngiang" di benak penonton ketika film ini diakhiri dengan ungkapan cinta sepasang gay di atas.
Paradigma filsafati di atas tampaknya harus diapresiasi ketika mereka yang mengusung absolutisme moral sering hanya berhenti pada masalah justifikasi dan sikap penuh penghakiman. Pesan filsafati ini seakan meneriakan dengan lantang kepada para "hakim" untuk menyarungkan pedang moral mereka dan memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk bergulat, berefleksi, lalu memutuskan bagi diri mereka sendiri apa yang baik bagi mereka.
Well, mayoritas kita tidak suka dinilai "salah" dan atau "tidak baik". Kita lebih suka dinilai "benar" dan atau "baik", bukan? Maka pesan filsafati dari film ini seakan langsung akomodatif dengan tendensi ini. Tetapi, tidak suka dinilai salah tidak berarti bahwa kita tidak salah dan juga tidak berarti bahwa tidak ada standar absolut untuk "salah" dan "benar" (hitam-putih), bukan?
Saya sendiri, tidak melihat bahwa "teriakan filsafati" di atas memiliki daya dobrak yang mumpuni terhadap absolutisme moral. Sebenarnya ia hanyalah sebuah absolutisme moral dalam kemasan yang lain sambil menyangka bahwa ia tidak bernama moral yang hitam-putih. Pertimbangkan ini. Bagaimana bisa ia menjustifikasi bahwa "moralitas yang hitam-putih" itu tidak tepat, jika ia sendiri tidak mengasumsikan konsepsi yang "hitam-putih" pula terhadap moralitas hitam-putih itu sendiri? Ia hanya dapat memiliki daya dobrak ketika ia mengasumsikan kekuatan dari konsep moral yang hendak ia dobrak.
Saya akan menempatkan evaluasi filsafati saya di atas dalam konteks film ini. Atas dasar apakah kita langsung "mengenali" bahwa reaksi suami Rana dan keputusan bebas Rana merupakan hal-hal yang "baik"? Jika tidak ada konsep moral yang hitam-putih, maka bahkan penonton dapat saja mencela reaksi dan keputusan bebas itu berdasarkan subjektivitas mereka - sesuatu yang tidak diinginkan si penggagas filsafat pendobrak ini. Dan jika ini yang terjadi, maka tidak ada pesan apa pun yang bisa diklaim sebagai "baik" dan "tidak baik" dalam film ini.