Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pepih Nugraha: "Benar-Tidaknya Analisa, Urusan Belakang"

31 Desember 2014   03:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:08 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14199920581865018648

Saya baru saja membuka Kompasiana dan membaca beberapa tulisan termasuk tulisan Pak Joko yang sedang di-HL sekarang. Tulisan tersebut merupakan sebuah interaksi kritis berkait pernyataan Pak Pepih lalu dikaitkan dengan urgensi akurasi tulisan, khususnya di Kompasiana. Interaksi yang bermanfaat. Namun, saya melihat ada kesalahpahaman berkait natur dari pernyataan tersebut dan akan saya coba elaborasi secara singkat di sini.

Tentu saja, Pak Pepih dapat dan sudah "berbicara untuk dirinya sendiri" dalam rangka memperjelas maksud pernyataannya. Anda bisa membaca komentar klarifikasi Pak Pepih di tulisan Pak Joko.

Meski begitu, harus diakui bahwa tulisan Pak Joko memberi kesan yang mungkin ia sendiri tidak maksudkan. Kesannya adalah seakan-akan pernyataan Pak Pepih lebih mengedepankan kecepatan pemberitaan ketimbang akurasi dan kebenaran pemberitaan itu sendiri. Tidak heran, kalau Anda membaca komentar-komentar di bawahnya, ada sejumlah komentator yang mengeksplisitkan kesan tersebut, semisal: "...Suhunya saja sudah menggunakan semboyan 'urusan belakang'". Ada pula yang mengungkapkan pesimisme total terhadap tulisan-tulisan di Kompasiana.

Fakta & Penafsiran

Untuk memahami pernyataan tersebut, ada dua aspek kategorial yang mesti dibedakan terlebih dahulu, yaitu: fakta/bukti fisik dan penafsiran terhadap fakta/bukti fisik tersebut. Sebagai informasi, dalam dunia filsafat, ada diskusi yang alot berkati apakah pembedaan antara fakta dan penafsiran itu tepat atau tidak tepat. Di sini, untuk sederhananya, saya menyatakan bisa dibedakan dalam taraf tertentu (akan saya contohkan di bawah).

Pertama, fakta atau bukti fisik itu tidak pernah terkategori benar atau salah. Kategorinya adalah ada (faktual) atau tidak ada (rekayasa).

Dan kedua, penafsiran itu benar atau tidak benar jika dilihat dari segi naturnya. Kalau dilihat dari segi komprehensivitas cakupannya dalam menjelaskan semua fakta/bukti yang ada, ia bisa representatif, kurang reprsenatif, dan atau tidak representatif sama sekali.

Analisis & Rekonstruksi

Koreksi semantik untuk Pak Pepih, kata bakunya adalah analisis bukan analisa. Analisis menurut definisinya mencakup dua hal di atas, yaitu fakta dan penafsiran terhadap fakta. Seseorang dikatakan melakukan analisis ketika seseorang bergulat dengan sejumlah [serpihan] fakta untuk tiba pada kesimpulan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu.

Proses di mana seseorang berjibaku dengan fakta dan sejumlah kemungkinan penjelasan terhadap fakta yang ada, disebut rekonstruksi. Dalam rekonstruksi, orang menerapkan sejumlah metode (bergantung disiplin ilmunya) untuk berjibaku dengan fakta-fakta yang ada. Rekonstruksi dilakukan untuk menjelaskan sebuah fenomena atau kejadian yang sudah terjadi namun tidak jelas kejadian persisnya bagaimana.

Contoh Kasus: Kecelakaan Pesawan Airasia

Pertama-tama saya mengucapkan turut berduka atas para korban kecelakaan pesawat AirAsia pada hari Minggu kemarin. Sekaligus, saya juga mengucapkan terima kasih untuk kerja keras Basarnas serta semua pihak yang sudah terlibat hingga mulai ditemukan serpihan serta sejumlah jenasah korban pesawat naas itu.

Ijinkan saya menggunakan peristiwa ini untuk memperjelas maksud saya di atas. Sebelum ditemukannya pesawat itu, kita hanya memiliki sejumlah serpihan fakta:


  • Nomor penerbangan pesawat naas itu dengan nama seluruh awak dan penumpang; jam penerbangan; dan rutenya.
  • Waktu kontak terakhir antara pilot pesawat naas itu dengan pihak pihak pengawas arus penerbangan bandara;
  • Isi komunikasi dalam kontak terakhir tersebut;
  • Koordinat terakhir dari pesawat naas itu sebelum hilang sama sekali dari pantauan.


Anda bisa menambahkan beberapa fakta lain. Tetapi itu adalah serpiha-serpihan fakta yang di atasnya nanti orang mulai menggunakannya untuk menjawab sejumlah pertanyaan:


  • Apa penyebab kecelakaannya;
  • Di mana lokasi persisnya pesawat itu jatuh;
  • Mengapa ELT pesawat itu tidak memancarkan signal emergensi; dsb.


Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas bisa sangat beragam, bergantung rekonstruksi dan analisis seseorang terhadap fakta-fakta yang ada beserta kemungkinan-kemungkinannya. Tetapi perhatikan satu hal, fakta-faktanya tidak berubah.

Kembali ke Pernyataan Pak Pepih

Sekarang menjadi jelas bahwa pernytaan Pak Pepih di atas sebenarnya tidak perlu disalahpahami sama sekali. Analisis itu memang bisa benar atau tidak benar bergantung perkembangan temuan akan fakta-fakta selanjutnya. Misalnya, dugaan paling umum hingga saat ini adalah bahwa pesawat tersebut mengalami kecelakaan karena menabrak awan berbahaya. Tetapi, ini hanya hasil analisis sementara berdasarkan rekonstruksi terhadap fakta-fakta yang ada serta kemungkinan-kemungkinan yang biasanya menjadi penyebab kecelakaan sebuah pesawat.

Soal Referensi: Waspadai Appeal to Authority Fallacy

Untuk isu-isu yang penting dan cenderung kontroversial, saya memang memilih untuk menulis dengan menyertakan referensi-referensi. Dalam pemilihan serta pencantuman referensi pun kita harus hati-hati untuk tidak jatuh pada appeal to authority fallacy. Kesalahan ini terjadi ketika kita mencantumkan referensi dari non-pakar dalam kaitan dengan isu yang sedang dibahas. Misalnya saya menulis tentang sejarah kelahiran Yesus, referensi-referensi yang saya cantumkan haruslah berasal dari para pakar yang berjibaku dengan studi mengenai the historical Jesus. Kalau saya menggunakan referensi dari para penulis dogmatika atau doktrin, saya justru mem-violate perspektif sejarah menjadi perspektif teologis.

Atau misalnya Anda menulis tentang masalah ekonomi atau politik, sepatutnya ada menggunakan referensi-referensi baku dari para pakar di bidang ini.

Mengapa referensi itu harus berasal dari para pakar yang sebidang dengan isu yang Anda bahas? Karena ada kompleksitas isu di sekitar sebuah isu di mana diasumsikan bahwa para pakar di bidang itu bukan hanya menyadari akan kompleksitas tersebut, namun juga memberikan opini-opini yang representatif dengan memperhitungkan semua kesulitan-kesulitan yang ada. Sumber-sumber non-pakar sering kali terlalu naif plus berngotot ria tanpa memperhitungkan berbagai kesulitan di sekitar sebuah isu.

Secara pribadi, saya memilih tidak menggunakan sama sekali referensi dari tulisan-tulisan lepas di internet yang tidak jelas siapa penulisnya dan dari mana serta bagaimana ia mendapatkan informasi-informasi untuk tulisannya. Ini tidak berarti Anda tidak boleh menggunakan referensi dari internet. Justru, banyak pakar sekarang mempublikasikan hasil riset mereka secara gratis di internet (ada juga yang berbayar).

Maksud saya adalah Anda harus sangat selektif dalam menggunakan referensi entah dari buku maupun dari internet.

Straw Man

Saya berharap, ini menjadi semacam pelajaran kecil untuk mengingatkan kita dalam menerapkan prinsip charity dalam menanggapi sesuatu. Pernyataan-pernyataan itu dapat saja memberi kesan "aneh" saat kita membaca atau mendengarnya. Tetapi, sebagai orang-orang yang cerdas, kita mestinya sedapat mungkin memahami itu berdasarkan maksud yang sebenarnya dari si pelontar pernyataan itu.

Kita tidak dibenarkan menggarisbawahi sebuah pernyataan lalu memaknainya sesuka hati, kemudian berdasarkan pemaknaan suka-suka itu kita attacking orang yang bersangkutan. Ini adalah cara memberikan respons yang tidak cerdas. Dalam logic, ini adalah sebuah sesat pikir yang disebut straw man fallacy.

Btw, Admins belum ada reportase artikel-artikel filsafat sepanjang tahun 2014?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun