Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

"Kitab Suci" New Atheisme Dibongkar John Lennox

6 Januari 2015   08:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi: DokPri
Saya terstimulasi untuk menulis mengenai The Grand Design yang ditulis oleh Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow karena diskusi dengan Kompasianer Imortal Unbeliever (IU) di tulisan saya yang berjudul: Suka yang Sederhana? Richard Dawkin Senang Bersahabat dengan Anda. Dawkin sangat “memalukan” sebagai seorang “pejuang” atheisme setelah berkali-kali dibungkam oleh Profesor John Lenox dan Profesor William Lane Craig (pada sebuah kesempatan, Dawkin bahkan tidak mendatangi jadwal debat yang sudah disepakati bersama Profesor Craig).

Untuk informasi teknis, saya menganggap isu ini sangat serius, maka tulisan ini akan diberi referensi-referensi yang berkaitan secara signifikan dengannya.

Mengapa  penting membahas buku ini?

Menariknya, dalam diskusi saya dan Kompasianer IU, setelah mengaku diri sebagai penganut Dawkinisme, dalam komentar berikutnya ia menyatakan, “Okelah, Dawkin mungkin kalah.” Lalu ia beralih menyodorkan The Grand Design sebagai acuannya. Mungkinkah Hawkins dan Mlodinov lebih bisa diharapkan membela kubu atheisme?

Pertanyaan di atas akan dijawab nanti, namun jangan salah paham. Saya tidak menganggap The Grand Design perlu dibahas semata-mata karena diskusi di atas. Itu hanya stimulan saja. Sebab ada dua alasan utama yang mendorong saya membahas isi buku ini. Pertama, Hawkins adalah seorang ahli fisika dan matematika yang mengajar di Cambridge University. Kepakarannya diakui luas baik oleh mereka yang sependapat maupun yang kontra terhadap pemikiran-pemikirannya. Tidak kurang dari Hawking, Mlodinow meraih gelar Ph.D-nya dalam bidang theorectical physics dari University of California, Berkley. Publikasi berkait kepakarannya pernah terkategori pada New York Times Bestseller. Jadi, kita sedang berbicara tentang sebuah buku yang ditulis oleh dua orang pakar fisika kelas dunia yang mempropagandakan atheisme mereka melalui buku ini.

Alasan kedua yang sangat kontekstual adalah bahwa meski pun negara ini bukan negara agama, namun mayoritas penduduknya adalah orang-orang beragama. Jika Hawking dan Mlodinow benar, bukankah mayorita penduduk bangsa ini sedang hidup dengan mempercayai kebohongan namely percaya akan eksistensi Allah? Dengan kata lain, tantangan yang terdapat dalam buku ini bukan semata-mata tanggung jawab salah satu agama, melainkan tanggung jawab semua agama untuk memberikan respons terhadapnya.

Mengapa John Lennox?

Mengingat kita sedang membahas sebuah buku dari dua orang giants dalam bidang fisika (sains), saya rasa “lawan” yang sebanding untuk mengeksplorasi argumen-argumen dalam buku ini haruslah seorang pakar juga. Dan saya memilih Profesor John Lennox atas beberapa alasan.

Pertama, Lennox adalah seorang Professor of mathematic di University of Oxford. Ia ahli juga dalam bidang philosophy of science. Lebih khusus lagi, Lennox sendiri pernah memberikan respons terbuka secara oral terhadap The Grand Design serta pernah menulis sebuah buku berjudul: God and Stephen Hawking: Whose Design Is It Anyway? (Oxford: Lion, 2011).

Dan kedua, alasan yang berhubungan dengan ketertarikan saya, respons Lennox diberikan, mostly, dari aspek logika yaitu bagaimana Hawking dan Mlodinow menarik sejumlah proposisi deduktif dari sains.

The Grand Design: “Kitab Suci” new atheism

Saya bukan tanpa sengaja menggunakan istilah “kitab suci” untuk The Grand Design. Atheisme itu sendiri sebenarnya adalah sebuah ideologi – sebuah ideologi yang diyakini benar oleh para penganutnya. Tidak heran, dalam debat publiknya dengan Richard Dawkin berkait The God Delusion, dan Dawkin tidak bisa membantahnya, Lennox menyatakan bahwa “atheisme itu sendiri adalah sebuah ‘agama’”, suka atau tidak suka menyebutnya demikian!

Atheisme tidak dapat dibangun semata-mata dari observasi sains. Untuk menjadikannya sebuah ideologi, observasi itu perlu melewati proses inferensi filsafati. Implikasinya, orang tidak perlu menolak sains hanya karena menolak atheisme. Maka, adalah salah kaprah (dari pihak atheis) untuk bersikeras seakan-akan perdebatan antara theisme vs atheisme adalah perdebatan antara agama vs sains. Poin ini akan menjadi jelas dalam argumentasi Lennox.

Dari filsafat ke sains?

Hawking dan Mlodinow mengawali The Grand Design dengan mendaftarkan sejumlah pertanyaan filsafati: Bagaimana kita memahami dunia di mana kita hidup? Bagaimana alam semesta ini muncul? Apakah natur dari realitas? Dari mana semua ini berasal? Apakah alam semesta membutuhkan pencipta? For sure, ini bukan pertanyaan-pertanyaan dalam kategori sains. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan filsafati. Jadi membuka halaman awal buku ini, pembaca dirangsang untuk memikirkan pertanyaan-pertanyaan substansial ini. Dan tentu pembaca mengharapkan kedua pakar ini akan mengemukakan jawaban-jawaban filsafati, for the sake of consistency, untuk pertanyaan-pertanyaan ini.

Yang mengejutkan adalah persis pada alinea berikutnya pada halaman yang sama, keduanya menulis demikian,


Traditionally, these are questions for philosophy, but philosophy is dead. Philosophy has not kept up with modern developments in science, particularly physics. Scientists have become the bearers of the torch of discovery in our quest for knowledge (2011, 1)

Pertama, proposisi di atas bukan proposisi sains atau lebih khusus lagi fisika; itu adalah proposisi filsafati. Lennox menulis, “The very first thing I notice is that Hawking’s statement about philosophy is itself a philosophical statement” (2011, 18). Jadi, Hawking dan Mlodinow mengemukakan proposisi yang self-contradictive karena mereka mendeklarasikan kematian filsafat dengan menggunakan proposisi filsafati.

Dan kedua, Lennox kemudian menyorot ideologi di balik “scientists have become the bearers of torch of discovery in our quest for knowledge” sebagai ekspresi dari Saintisme. Saintisme adalah sebuah paham yang menandai karakteristik new atheism bahwa sains adalah satu-satunya “jalan” menuju kebenaran. Lennox kemudian mengutip sejumlah pakar sains yang berbicara terus-terang mengenai keterbatasan sains. Salah satunya yang menarik adalah pernyataan pemenang Nobel dalam bidang fisika, Richard Feyman yang menggemakan pandangan Einstein: “Science do not directly teach good or bad”. Feyman juga menyatakan, “ethical values lie outside the scientific realm” (Lennox; 2011, 21). Jadi, of course, sains bukan satu-satunya jalan menuju kebenaran. Limitasi sains bahkan diakui oleh para pakar sains itu sendiri.

Lennox kemudian berseloroh bahwa Hawking baru saja mengumumkan kematian filsafat lalu dia sendiri membangkitkannya kembali segera sesudah menguburkannya (Lennox; 2011, 22).

God of gaps

Hawking percaya bahwa gagasan mengenai Allah (God) atau ilah-ilah (gods) merasuki pikiran manusia karena ketidaktahuan. Ia menyatakan bahwa orang-orang kuno menemukan gagasan mengenai keberadaan Allah/ilah-ilah karena the ignorance of nature’s way” (Hawking; 2010, 10). Misalnya, orang-orang pada jaman kuno memberikan penjelasan mitologis mengenai petir atau gempa bumi atau gunung meletus bahwa para dewa sedang murka. Kalau tidak salah ingat, August Comte pun mengemukakan hal ini. Jadi, gagasan mengenai Allah muncul untuk mengisi semacam gap dalam pikiran manusia dan sudah saatnya gagasan itu dibuang lalu digantikan dengan sains. Konsep inilah yang biasanya disebut: God of gaps.

Tetapi, sebenarnya yang diserang Hawking bukanlah konsep ketuhanan yang monotheistik sama sekali. Hawking sedang membayangkan konsep ketuhanan mitologis dalam konteks politheisme di atas (Lennox; 2011, 28). Menyerang konsep mitologi dalam dunia politeisme lalu berpikir bahwa sudah menumbangkan “seluruh” konsep ketuhanan yang ada, tampaknya tidak lebih dari sebuah “onani intelektual”.

Alam semesta yang menciptakan dirinya sendiri

Lenox menyorot salah satu konklusi utama dalam The Grand Design yaitu: “Because there is the law of gravity, the universe can and will create itself out of nothing” (2010, 189). Bisa dikatakan, ini adalah proposisi paling fundamental dalam The Grand Design yang dilontarkan untuk mengeliminasi eksistensi Allah.

Tetapi, bahkan dalam satu kalimat itu, bukan hanya satu atau dua, melainkan tiga logical fallacies yang diidentifikasi oleh Lennox. Frasa out of nothing langsung mengeliminasi tiga kategori penting dalam proposisi di atas, yaitu: (1) hukum gravitasi; (2) gravitasi itu sendiri [terasumsi]; dan (3) alam semesta. Lennox meringkasnya demikian:


He says the universe comes from a nothing that turns out to be a something (self-contradiction number one), and then he says the universe creates itself (self-contradiction number two). But that is not all. His notion that a law of nature (gravity) explains the existence of the universe is also self-contradictory, since a law of nature, by definition, surely depends for its own existence on the prior existence of the nature it purports to describe (2011, 31).

Sebagai kontras dari klaim Hawking di atas, Profesor William Lane Craig dalam sejumlah perdebatannya melawan para atheis, selalu menandaskan: “Out of nothing, nothing can come”! (2008, 96).

Agama vs sains?

Hawkins dalam The Grand Design sebagaimana para atheis lainnya, mengasumsikan bahwa Allah merupakan antitesis dari sains. Lennox dengan tepat mengidentifikasi asumsi ini sebagai false cathegory di mana Hawkins gagal membedakan dua macam penjelasan yang sama sekali berbeda kategorinya, yaitu penjelasan dalam kategori phisical law dan penjelasan dari kategori personal agency. Eksistensi Allah merupakan penjelasan dari alam semesta, tetapi ini adalah penjelasan yang type nya berbeda dari penjelasan dari aspek fisika. Lennox mencontohkan mengenai sebuah pesawat jet. Kita bisa menjelaskannya dari aspek mekaniknya, dll. Penjelasan dari kategori ini tidak menjawab pertanyaan mengenai dari mana pesawat jet itu berasal? Itulah sebabnya dibutuhkan penjelasan dari aspek personal agency. Maka, merupakan sebuah absurditas untuk memperhadapkan kepada seseorang, apakah ia harus memilih penjelasan mekanik atau penjelasan dari aspek personal agency. Yang tepat adalah kedua penjelasan ini memperkaya perspektif kita mengenai pesawat jet tersebut dan kita tidak harus terjebak pada bifurkasi palsu yang diciptakan oleh kaum atheis.

Kedua penjelasan ini justru dibutuhkan untuk mendapatkan penjelasan lengkap (complete explanation) mengenai realitas. Lennox menyatakan, “I find chlidren can follow this, I find Hawking can not” (Lennox, 2011).

Implikasinya, seperti yang sudah diindikasikan sebelumnya, theisme vs atheisme, bukan agama vs sains seperti yang diasumsikan kaum atheis. Itu hanyalah sebuah asumsi sesat (fallacy of cathegory) yang kemudian melahirkan false dichotomy antara agama dan sains.

Teori Multiverse

Akhir-akhir ini para fisikawan semakin takjub akan natur life-sustaining dari alam semesta yang tampaknya mustahil semata-mata bergantung atas keteraturan tertentu yang bersifat fisik. Para saintis Kristen merujuk kepada fine-tunning sebagai bukti dari adanya desain [yang mengasumsikan adanya Desainer]. Di sisi lain, para atheis merujuk kepada teori multi universe sebagai penjelasannya. Dalam The Grand Design, Hawking pun memeluk teori multi universe yang dikritik Lennox, seperti yang digambarkan S.C. Lazar:


... not only as dubious science, but more importantly, it only pushes the question of origins back by one step. Rather than ask where this universe came from, proponents of the multiverse must now explain where the multiverse came from. After all, physical laws are no more capable of creating a multiverse than they are a universe (2012, 104).

Penutup

Judul buku ini, The Grand Design mengimplikasikan dua hal. Pertama, ia mengimplikasikan adanya Desainer, tetapi, yang kedua, implikasi pertama ini sekaligus ingin dibantah melalui buku ini. Berhasilkah? Tak ada kemenangan di dalam sesat pikir. Faktanya bukan hanya satu, melainkan di dalam seluruh bab buku ini bahkan di jantung argumennya mengenai the law of gravity seperti yang sudah diidentifikasi Lennox.

Lennox membahas sejumlah isu minor lain di dalam The Grand Design, namun beberapa poin mayor di atas memperlihatkan cacat serius di dalam buku ini. Mengenai buku God and Stephen Hawking karangan Lennox yang darinya mayoritas tulisan ini disadur, Lazar berkomentar demikian: “Lennox has proven to be an effective apologist against the so-called ’New Atheists,’ and this book is no exception” (2012, 104). Lebih lanjut, Lazar juga menyatakan,


The book is easily read in one sitting, and, despite its brevity, does a fine job of answering Hawking’s claims. God and Stephen Hawking can be recommended to anyone interested in the scientific evidence for the existence of God, the rationality of Christian belief, and the ongoing apologetic dialogue with the ‘New Atheists.’ (2012, 104).

Saya melihat komentar Lazar yang terakhir di atas menarik karena menurut kriteria simplisitas Dawkin termasuk juga komentar senada dari Kompasianer IU di tulisan saya sebelumnya, seharusnya Lennox dinobatkan sebagai destroyer bagi The Grand Design.

Terlepas dari itu, sesat pikir demi sesat pikir yang termaktub di dalam The Grand Design tampaknya tidak berbeda jauh dengan nasib The God Delusion yang telah dibabat John Lennox sebelumnya. Para atheis sering menyatakan bahwa kaum theis semata-mata mendasarkan argumen mereka pada iman tanpa bukti. Well, terbukti bahwa The Grand Design mengandung sesat pikir yang sangat serius pada inti argumennya. The Grand Design bukan lagi “kitab suci” yang layak diimani kaum atheis. Mereka dapat memilih, tetap bertahan dengan teori cacat Hawking, atau menggantikannya dengan “kitab suci” lain, atau meninggalkan atheisme sama sekali.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip dua kalimat penting dari Lennox yang berbunyi demikian:


Nonsense remains nonsense even when talked by world-famous scientists” dan “The real danger of this debate is we confuse the statement of scientist with the statement of science. Not all statement of scientists are statement of science. A man prestige and authority do not compensate for faulty logic.

Pilihannya ada di pihak Anda, wahai rekan-rekan atheis!

Referensi:


  1. Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Random House, 2010).
  2. John Lennox, God and Stephen Hawking: Whose Design Is It Anyway? (Oxford: Lion, 2011).
  3. https://www.youtube.com/watch?v=6eHfhbP1K_4 (diakses tanggal 5 Januari 2015). Ini adalah rekaman audio-visual dari John Lennox yang mengulas The Grand Design pada bulan Oktorber 2011 di United Kingdom.
  4. S.C. Lazar, “Review of God and Stephen Hawking: Whose Design Is It Anyway? By John C. Lennox,” Journal of the Grace Evangelical Society, Vol. 25, Issue 49 (Autumn, 2012): 104.
  5. Richard Dawkin, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006).
  6. William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (3rd ed.; Wheaton, Illinois: Crossway Books, 2008). Craig adalah salah seorang filsuf Kristen yang terkenal dengan penggunaan cosmological argument.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun