Ini adalah sebuah testimoni pribadi. Sebuah testimoni tentang gaya hidup belajar yang saya dapatkan dari ayah saya - sosok yang sedemikian hebat mempengaruhi hidup saya hingga kini.
Kehebohan di rumah
Lahir dan bertumbuh dalam sebuah keluarga guru, merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Nuansa kehidupan sehari-hari adalah nuansa pendidikan. Di kala senggang, kami berkumpul sekeluarga sambil mendengar petuah-petuhan ayah. Ayah saya adalah orang yang "serius". Sangat jarang ia membicarakan hal remeh-temeh dalam momen-momen seperti itu. Setiap momen berkumpul, adalah momen pemberian petuah, baginya. Sebagai guru, tentu intonasi pembicaraannya mayoritas seputar masalah pendidikan. Dan saya ingat persis, ayah saya sering berkata:"Buku adalah gudang ilmu, membaca adalah kuncinya".
Petuah di atas membekas di benak bahkan melebur sebentuk gaya hidup saya hingga kini. Â Ketika anak-anak seusia saya menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan bermain, saya menghabiskan waktu dengan menikmati buku-buku bacaan yang saya pinjam dari sekolah. Kala itu, saya bisa habis membaca 3-4 buku sekaligus dalam sehari. Mungkin itulah sebabnya, sejak SD hingga SMU, saya selalu mendapat predikat "juara kelas". Tidak satu dua kali juga menggaet gelar tahunan "juara umum" di sekolah. Ini semua, saya percaya, adalah buah dari membaca.
Dan saya ingat, setiap hari penerimaan rapor, terjadi "kehebohan" kecil di rumah. Mereka berebutan mewakili orangtua untuk menerima rapor saya. Akh, sebuah kenangan indah yang tak pernah bisa saya lupakan. Sebuah kenangan yang tak pernah bosan saya tutur-ulangkan kepada anak-anak saya.
Ke Jakarta
Tiba saatnya saya harus berangkat ke Jakarta untuk kuliah. Seminari teologi, di situ saya akan berstudi. Orang-orang sekampung, tentu termasuk ayah dan ibu serta abang-abang saya ikut mengantar ke pelabuhan Tenau. Pesawat masih merupakan transportasi "bergengsi" saat itu.
Di Pelabuhan, ketika hendak menaiki KM. Dobonsolo, saya tak kuasa menahan tangis perpisahan. Begitu juga dengan semua yang mengantar saya. Di sela-sela isak tangisnya, ibu saya berpesan: "Ingat jam makan. Kamu kalau udah belajar, bisa seharian tidak ingat makan".
Ayah saya lain lagi. Saya tidak melihat air matanya sama sekali, kecuali senyum. Saya tahu, ia bukannya tidak bersedih. Ia bersikap melampaui kesedihannya. Di dadanya ada segempal kepercayaan bahwa ia tidak akan pernah sia-sia melepaskan saya meninggalkan mereka. Ia memeluk saya sembari berbisik: "Pergilah. Papa percaya kamu. Kembali ke sini nanti dan kasih liat papa bahwa papa tidak salah percaya kamu."
Tahun-tahun investasi
Saat berstudi di seminari, ada semacam shock besar. Sebuah pergulatan batin. Tak semua yang studi di seminari adalah "malaikat". Semua bayangan saya sebelumnya tentang seminari berbeda sama sekali dengan kenyataannya. Untuk beberapa saat, saya sempat mempertimbangkan untuk pulang saja. (sekadar catatan saja: tak semua yang berstudi di sekolah teologi pasti jadi pendeta atau penginjil. Pendeta dan penginjil adalah jabatan gerejawi. Saya bukan pendeta juga bukan penginjil. Saya adalah seorang dosen!).
Hingga suatu saat saya tiba pada kesimpulan. Ya, terdapat strong human dimension di mana pun kita berada. Keadaan tidak menentukan siapa kita. Keadaan hanyalah penyingkap siapa kita sebenarnya. Tak perlu menyalahkan situasi. Siapa kita menentukan reaksi dan sikap kita terhadap situasi. Saya ingat, sebuah kalimat menarik waktu itu: "garbage in garbage out"!
Semangat saya bangkit. Fokus terdalam saya, belajar, pun menggelora. Perpustakaan adalah tempat terbanyak di mana saya berada selama studi di seminar. Buku-buku dari berbagai bidang: systematic theology, biblical theology, exegesis, filsafat, theology of religions, Islamic theology, practical theology, dsb., adalah kawan-kawan terdekat saya.
Ada kesulitan? Ya, tentu saja. Tetapi saya tidak pernah melatih diri saya menghindari yang sulit-sulit. Easy come, easy going, bukan? Mayoritas waktu saya adalah belajar. Semakin sulit bacaannya, semakin banyak waktu harus saya alokasikan untuk memahaminya. Maka saya heran, mengapa sekarang banyak orang antipati terhadap bacaan yang sulit-sulit? Sudah sedemikian parahkah racun pragmatisme itu menjalar di tubuh mereka?
Konsekuensinya, ketika teman-teman saya sudah beberapa kali putus-sambung pacaran, saya masih "sendiri" hingga menjelang akhir studi. Tak heran, salah seorang teman saya mengatakan, itu merupakan the lost years untuk pemuda seusia saya saat itu. Saya menimpalinya, itu adalah the best years selama studi di situ!
Ya, the best years, karena skripsi saya tentang tujuan hidup manusia menurut filsafat hendonisme pun diapresiasi dengan nilai A dan saya lulus dengan predikat summa cum laude! Ini adalah buah dari tahun-tahun investasi itu.
Studi magister
Saya sempat ditugaskan selama empat tahun di Kalimantan Barat, di dekat perbatasan Malaysia. Melayani jemaat dan mengajar adalah aktivitas mayor saya. Masa tugas ini pun tidak pernah lepas dari membaca. Saya bahkan menginisiasi terbitnya sebuah buletin untuk para Gembala Jemaat (istilah untuk para penginjil/pendeta yang memimpin sebuah gereja lokal) di wilayah tersebut.
Setelah itu, saya pun ditarik dari Sinode untuk studi lanjut sambil mengajar sebagai dosen. Hingga dua tahun lalu, saya sudah meraih dua gelar master sekaligus dalam bidang biblical theology sebagai major saya, sedangkan filsafat dan apologetika sebagai minor saya.
Sambil berstudi, saya menginisiasi terbitnya jurnal akademis di perguruan tinggi tempat saya mengajar. Atas usulan saya pula, terbit jurnal akademis di dua perguruan tinggi lainnya dan saya diminta menjadi editor in chief dari jurnal-jurnal tersebut.
Hingga kini, saya sudah menulis beberapa buku dalam bidang eksegesis PB, dan puluhan artikel akademis, serta ratusan book reviews.
Warisan tak ternilai
Sepenggal kisah dua tahun lalu, sengaja saya selipkan di sini mengakhiri testimoni ini. Saat itu, saya baru saja selesai di wisuda untuk gelar master saya yang kedua. Saya pun menelpon ayah saya yang sudah lanjut usia. Suaranya terdengar "berat" di seberang sana.
"Papa, papa tidak salah mempercayai saya," begitu kata saya kepadanya. Saya bisa merasakan luapan kegembiraan di hatinya. Saya pun berkisah tentang beberapa hal. Dia mendengarkan sambil sesekali menimpalinya. Mengakhiri obrolan telepon itu, ayah saya berkata: "Belajarlah hingga tak ada lagi yang bisa dipelajari".
Tak pernah saya duga, itu adalah kata-kata terakhir dari ayah saya. Beberapa waktu kemudian, kabar dukacita itu pun sampai ke saya. Ayah saya telah berpulang. Ada kesedihan yang sangat dalam, hingga kini. Ada pula ketenangan yang sangat dalam hingga kapan pun. Sebab gaya hidup belajar adalah warisan tak ternilai yang pernah saya dapatkan dari ayah saya!
Apa yang sedang kita wariskan, wahai para ayah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H