Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyorot Dimensi Sosiokultural "DPR Dilarang 'Ngartis'"

1 Februari 2015   23:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:59 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_394460" align="aligncenter" width="560" caption="Anggot DPR Anang Hermansyah (Tribunnews.com)"][/caption]

Saya tertarik membaca stimulasi diskusi di Kompasiana mengenai anggota DPR dilarang "ngartis" termasuk komentar-komentarnya. Mayoritas setuju akan Rancangan Kode Etik DPR 2015 khususnya pasal 12 ayat 2. Saya pun jika harus memberikan pendapat, saya berada di pihak mayoritas ini.

Tetapi tulisan ini bukan soal setuju atau tidak setuju. Tulisan ini lebih ke arah substansi dari kontroversi tersebut, yaitu mengapa setuju dan tidak setuju. Lalu akan diakhiri dengan sebuah seruan pribadi.

Substansi kontroversi

Saya percaya, substansi dari kontroversi di atas bukan soal spesialisasi profesionalisme (mis. mau jadi wakil rakyat atau ngartis). Jika masalahnya adalah spesialisasi profesionalisme, mengapa tidak ada kontroversi soal anggota-anggota DPR yang dulunya berprofesi yang lain semisal dosen, pengacara, dsb.? Juga, jika ini masalahnya, mengapa tidak dilarang juga agar anggota-anggota DPR yang berlatar belakang profesi yang lain agar sama sekali meninggalkan profesi "lama" mereka?

Juga, bukan soal spesialisasi pendidikan (harus berlatar belakang ilmu politik).  Jika masalahnya adalah spesialisasi pendidikan, mengapa tidak ada kontroversi soal anggota-anggota DPR nonartis yang spesialisasi studinya bukan ilmu politik? Apakah kita harus mengusir semua anggota DPR yang tidak berlatar belakang studi ilmu politik dari Senayan sekarang?

Bagi saya, kontroversi di atas substansinya adalah paradigma sosiokultural. Akan saya perlihatkan dalam bagian ulasan selanjutnya.

Lensa sosio-kultural

Lensa sosio-kultural berhutang banyak kepada seorang ahli psikologi asal Rusia, Lev Vygotsky yang sejaman dengan Freud, Skinner, dan Piaget. Vygotsky bersama para pakar penerus gagasannya berupaya menjelaskan berbagai fenomena dalam masyarakat dengan asumsi bahwa lingkungan sosial dengan segala kekayaannya (situasi, budaya atau adat-istiadat, agama, tingkat pendidikan, dsb.) sangat mempengaruhi perilaku dan cara berpikir dari individu-individu yang ada di dalamnya.

Beberapa area spesifik sebagai bagian dari lensa sosio-kultural di atas, yaitu: psikologi sosial, psikologi kultural, dan psikologi kultural-historis. Area-area spesifik ini memiliki intonasi uniknya, namun sekali lagi, mengasumsikan paradigma mendasar yang sudah dikemukakan pada paragraf di atas.

Berangkat dari hasil studi di atas, saya kira penjelasan dari aspek sosio-kultural terhadap dunia keartisan, khususnya dalam konteks Indonesia, perlu mendapat penekanan penting di sini.

Profesi yang paradoks

Tidak dapat disangkali bahwa profesi sebagai artis (bukan dalam pengertian umumnya: "seniman") adalah sebuah profesi yang paradoks. Bukan profesinya yang paradoks, melainkan profesi itu paradoks dalam pandangan society (masyarakat).

Di satu sisi, natur dari dunia keartisan adalah hiburan. Hiburan itu syarat dengan pengidolaan, ketenaran, euforia, gegap-gempita, kemewahan, ringkasnya segala sesuatu yang fenomenal. Terlepas dari dimensi moralnya, ini merupakan bagian dari salah satu kebutuhan masyarakat bahkan bisa dikatakan bagian dari ekspektasi (harapan) individu-individu dalam masyarakat. Masyarakat membutuhkan hiburan dan dunia keartisan memuaskan kebutuhan ini. Individu-individu dalam masyarakat menyukai dan mendambakan kemewahan, pengidolaan, ketenaran, dsb., dan mereka melihat itu nyata dalam dunia keartisan.

Ringkasnya, dunia keartisan merepresentasikan pemenuhan akan kebutuhan serta menjadi icon ekspektatif dari salah satu dimensi penting dalam masyarakat. Maka tak heran, artis-artis cenderung disambut dengan simpatik, penuh antusiasme, dan sebagainya.

Tetapi, itu bukanlah keseluruhan kisahnya!

Masyarakat mengetahui bahwa modus operandi dari dunia keartisan adalah "bermain peran" (role-playing). Di peran yang ini seorang artis dapat tampil bak malaikat, di peran lainnya ia dapat tampil bak iblis. Semua hanya soal skenario dan keterampilan memainkan peran. Mereka hidup dari waktu ke waktu dengan sebuah tuntutan mendasar untuk tidak "menjadi diri mereka sendiri" ketika tampil di hadapan publik, terlepas dari kehidupan privat mereka bagaimana. Di hadapan publik, mereka adalah peran. That's it!

Maka, profesi sebagai artis dalam pandangan masyarakat, pada sisi luarnya disambut dengan antusiasme terbaik yang ada pada masyarakat, tetapi jauh di dalam lubuk hati mereka, masyarakat mengetahui mereka tidak seperti yang terlihat sekarang!

Paradoks. Ia disambut sekaligus ditolak pada saat yang sama. Secara fenomena ia didaulat, secara noumena ia disepelekan!

Kekhawatiran berbuah keengganan

Berangkat dari psikologi sosial di atas, kita dapat merasakan adanya kekhawatiran bahwa modus operandi yang ada pada profesi keartisan ditransfer kepada publik dari segmen yang sangat vital, yaitu segmen legislatif yang tidak ada unsur hiburan di dalamnya.

Masyarakat masih mentolerir modus operandi di atas karena mempertimbangkan wadahnya yaitu dunia hiburan. Tetapi, ketika orang-orang dari wadah yang berbeda ini masuk ke dalam masuk ke segmen legislatif, penolakan noumenal di atas menjadi sangat menguat. Entah ini berita baik atau buruk, masyarakat cenderung tidak ingin gambling di sini.

Tak heran, masyarakat dapat dengan sangat mudah menerima orang-orang dari profesi lain semisal dokter, dosen, pengacara, dsb., menjadi legislatif, ketimbang orang-orang dari dunia keartisan. Ini soal implikasinya dalam menjelaskan mengapa muncul diskusi soal para artis yang menjadi anggota legislatif. Pun, masyarakat akan cenderung setuju dengan rancangan kode etik di atas, karena aspek sosio-kultural di atas.

Seruan pribadi

Bagi saya, dengan menyadari akan dimensi sosio-kultural di atas menolong baik kita sebagai masyarakat yang memberikan tanggapan, maupun para artis yang sudah menjadi anggota DPR yang juga ikut memberikan tanggapan. Tetapi mengingat keterbatasan space, saya lebih cenderung mengemukakan seruan praktis untuk para artis yang sudah menjadi anggota DPR.

Reaksi ketidaksetujuan terhadap Rancangan Kode Etik tersebut dari para artis yang sudah menjadi anggota DPR harus dihargai sebagai ekspresi dari hak Anda. Tetapi, dari segi manfaatnya, saya kira akan sangat minim jika tidak ingin dikatakan nihil. Dunia keartisan itu telah "berjasa" menanamkan paradigma di atas berabad-abad lamanya. Dan ingat, masyarakat tidak mengada-ada soal modus operandi di atas.

Cara strategis untuk memperlihatkan ketidaksetujuan itu mestinya dimulai dengan bukti konkret. Jadilah anggota DPR yang dibanggakan rakyat karena kerja baik dan kerja cerdas Anda. Dengan begitu, Anda akan "meruntuhkan" banyak stigma soal dunia keartisan.

Lagi pula, menjadi anggota DPR itu bukan profesi seumur hidup. Ada jangka waktunya. Jika Anda masih ingin ngartis, Anda dapat melanjutkannya nanti. Sebab, dalam kondisi psikologi sosial seperti di atas, Anda harus berhadapan dengan kenyataan bahwa Anda tidak dapat memiliki keduanya pada saat yang sama!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun