Berdasarkan pengamatan fakta sederhana di atas, euforia penolakan terhadap pelantikan BG di kalangan masyarakat, terlepas dari berbagai pertimbagan legal (hukum), merupakan penolakan yang bersifat moral. Bersifat moral karena pandangan moral yang umumnya diasumsikan adalah bahwa seorang pejabat seharusnya tidak terkait dengan kasus tersebut.
Korupsi sebagai sebuah isu moral
Di Indonesia sendiri, saya belum pernah mendengar diskusi mengenai apakah korupsi itu merupakan masalah moral atau hukum? Tetapi di negara-negara lain, semisal di Amerika, ini adalah sebuah isu perdebatan yang hangat. Meski begitu, walau bukan merupakan isu panas di Indonesia, saya perlu membahas isu ini sekilas terlebih dahulu sebagai bagian dari upaya untuk memperlihatkan bahwa penggunaan argumen moral dalam perdebatan mengenai pelantikan BG merupakan syarat cukup (sufficient condition).
Saya percaya bahwa korupsi memiliki kaitan integral dengan banyak dimensi: moral, religius, legal, sosial, dsb. Namun karena keterbatasan space dan fokus artikel ini, saya langsung saja merujuk kepada sebuah hasil riset ilmiah dari Profesor Hartmut Kreikebaum (Europan Bussines School, International University Oestrich Winkel, Germany). Dalam artikel ilmiahnya yang berjudul: "Corruption as a Moral Issue", Kreikebaum menggunakan pendekatan etika institusional dan individual untuk memperlihatkan secara meyakinkan bahwa korupsi merupakan sebuah isu moral. Spesifiknya, korupsi merupakan penghancur tatanan institusional dalam sebuah negara sekaligus berkontradiksi dengan tanggung jawab individual terhadap kesejahteraan publik.
Argumen moral
Berangkat dari beberapa poin pengantar di atas, saya akan merumuskan sebuah argumen moral dengan bentuk deduksi, sebagai berikut:
- Karena korupsi salah secara moral (premis moral)
- Kasus kepemilikan rekening gendut bagian dari korupsi (premis kontektif 1)
- Pelantikan BG sebagai Kapolri tersandung oleh statusnya sebagai tersangka kasus kepemilikan rekening gendut oleh KPK (premis konektif 2)
- Seorang Cakapolri seharusnya terbebas dari sangkaan tersebut (premis implisit dari premis kontektif 2)
- Maka pelantikan BG sebagai Kapolri salah secara moral (konklusi)
Perlu diingatkan bahwa ada dua kriteria umum dalam menilai sebuah argumen deduktif, yaitu validitas (kesimpulannya diharuskan oleh premis-premisnya) dan soundness (baik premis-premis maupun kesimpulannya benar).
Menurut kriteria di atas, rumusan argumen moral di atas harus dianggap valid karena kesimpulannya diharuskan secara logis oleh premis-premisnya. Mengenai soundness-nya, saya terbuka untuk diskusi lebih lanjut. Meski begitu, saya perlu mengantisipasi keberatan utama yang mungkin akan muncul terhadap soundness argumen di atas.
Premis implisit dari premis kontektif 2 agak lemah karena proses investigasi hukum terhadap status tersangka BG belum final. Secara hukum, kita belum bisa menjustifikasi bahwa BG pasti bersalah. Tetapi ini bukan intonasi dari premis implisit tersebut. Intonasinya lebih ke arah "kebersihan moral" di mana seorang Cakapolri seharusnya terbebas dari tudingan masalah moral apa pun!
Implikasinya, membawa keharusan adanya kepastian hukum untuk menolak premis implisit di atas, merupakan penolakan yang straw man!
Jadi acuan resolusi?
Pertanyaan aplikatifnya adalah apakah argumen di atas seharusnya dijadikan acuan bagi Jokowi untuk pengambilan keputusannya berkait pelantikan BG? Ini adalah pertanyaan tentang resolusi. Maka saya perlu meletakkan fondasi prinsipil mengenai resolusi terlebih dahulu.
Dalam pengambilan keputusan terkait sebuah polemik termasuk juga dalam berargumen berlaku prinsip resolusi yang berbunyi: Sebuah isu harus dianggap telah mencapai resolusinya ketika argumen dari salah satu alternatifnya valid dan sound.