Saya sadar betul bahwa ini adalah perspektif minor, ketika secara berjamaah fenomena ketersinggungan akibat lontaran desperate-nya Abbott yang menyinggung soal bantuan Australia kala tsunami dulu, begitu mengemuka. Saya melihat ada beberapa poin kritis yang perlu didiskusikan di sini untuk dipertimbangkan bersama.
Pemerintah Indonesia itu "sesuatu banget"
Dimensi implisit yang mungkin terlewatkan saat kita menanggapi pernyataan Abbott adalah bahwa penyataan itu menggemakan kekalutan Abbott bahwa ia sulit menembus keteguhan dan konsistensi pemerintah Indonesia untuk tetap menjalankan ekseksui tersebut.
Pengetahuan umum mengenai psikologi mengajarkan kepada kita bahwa seruan-seruan semacam itu mengindikasikan si pelontarnya sudah kehabisan akal untuk mendapatkan apa yang ia mau. Ia terjepit. Terdesak. Sudah kehabisan cara-cara rasional. Maka ia mengeluarkan "jurus mabuk" semacam itu.
Kita patut berbangga bahwa jurus mabuknya Abbot mencerminkan kebodohannya sekaligus mencerminkan bahwa Indonesia itu "sesuatu banget" di mata Abbott. Ia mulai melihat bahwa ia tidak dapat seenak perutnya mendikte pemerintah Indonesia.
Koin ketersinggungan = harga diri bangsa?
Dari sisi "si pemberi", Abbott secara sempurna telah merendahkan nilai pemberian Australia menjadi semacam "transaksi bisnis" untuk mendikte pemerintah Indonesia. Dan ini sudah pasti rasionalisasi pemberian yang gagal.
Di sisi lain, dari perspektif "penerima pemberian", kita harus berhati-hati untuk tidak dicap sebagai bangsa yang tidak tahu menghargai nilai pemberian. Harus diingat bahwa dalam situasi di mana kita benar-benar membutuhkan bantuan (tragedi tsunami dulu), setiap bantuan bahkan dalam jumlah yang paling kecil sekalipun, merupakan bantuan yang bernilai besar serta tak terukur. Dan fakta ini, tidak dapat diubah bahkan ketika si pemberi menggunakan jurus mabuk untuk merendahkan nilai pemberiannya sendiri, semisal yang dilakukan Abbott.
Dalam konteks seperti di atas, ketika Abbott telah merendahkan nilai pemberian itu secara sempurna, apakah bijak bagi kita untuk ikut-ikutan merendahkan nilai pemberian itu dengan koin-koin ketersinggungan dan menyebut itu demi harga diri kita sebagai bangsa yang bermartabat?
Coba pertimbangkan ini. Bukankah lebih bermartabat bahwa ketika si pemberi sudah merendahkan nilai pemberiannya, kita sebagai penerima tetap konsisten mempertahankan nilai pemberian itu seperti yang seharusnya? Sikap seperti ini justru memperlihatkan bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat dalam arti kita tahu menghargai nilai pemberian yang sudah kita terima pada momentum di mana kita benar-benar membutuhkan serta konsisten mempertahankan penghargaan kita akan nilai-nilai pemberian itu bahkan ketika "pihak yang sana" sudah mengalahkan dirinya sendiri dengan merendahkan nilai pemberiannya.
Dengan kata lain, mengumpulkan koin-koin ketersinggungan itu bukan simbol mempertahankan harga diri bangsa, sebaliknya simbol perendahan martabat kita sebagai bangsa yang ikut-ikutan jurus mabuknya Abbott yang tidak menghargai nilai-nilai pemberian.
Apakah kita sanggup mengukur nilai-nilai pemberian itu hanya dalam takaran kurensi semata? Betapa "miskinnya" cara pandang semacam ini. Berhentilah menggunakan jargon-jargon mulia semacam "harga diri" hanya untuk memperlihatkan ketersinggungan yang picik!
Wajar jika masyarakat Aceh tersinggung?
Saya mendapatkan komentar semacam sub judul di atas pada tulisan terdahulu. Justru cara berpikir seperti inilah yang memperlihatkan bahwa kita tidak bersatu. Ini cara berpikir lokal, bukan nasionalistik. Penderitaan Aceh adalahpenderitaan kita sekalian; harga diri Aceh adalah harga diri kita sekalian. Tidak ada bantahan soal ini.
Dan ingat, Abbott menujukan lontarannya kepada kita sebagai bangsa, bukan semata-mata kepada masyarakat Aceh, meskipun peristiwa spesifik yang dirujuknya memang terjadi di Aceh kala itu.
Tetapi saya menolak untuk mengidentifikasikan diri dengan sebuah gerakan ketersinggungan dalam bentuk pengumpulan koin. Pengumpulan koin itu sendiri, seperti argumen saya di atas, tidak menolong mendongkrak harga diri kita di dunia internasional. Sebaliknya hanya memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa kita baangsa yang sensitif dan doyan tersinggung. Dan percayalah, ini bukan gejala yang "sehat"!
Harga diri bangsa
Sampai di sini, saya meringkas kembali dua gagasan penting dari tulisan ini. Bagi saya, respons yang representatif terhadap jurus mabuk Abbott untuk memperlihatkan harga diri kita sebagai bangsa yang bermartabat, dapat kita tunjukkan dalam dua cara spesifik.
Pertama, mempertahankan konsistensi penerapan hukum di Indonesia. Kita memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa bangsa kita adalah bangsa yang menjadikan hukum sebagai panglima dan bahwa supremasi hukum serta konsistensi pelaksanaannya merupakan "harga mati". Kita menghargai seruan mereka yang tidak sependapat dengan kita, namun menghargai tak sama dengan harus mengikuti seruan mereka!
Dan kedua, kita memperlihatkan bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat dengan tidak ikut-ikutan merendahkan nilai-nilai pemberian yang sudah kita terima tatkala kita benar-benar sedang membutuhkan, tatkala di mata kita hanya ada air mata dan kesedihan yang tak tertara kala itu. Dalam situasi itu, kita memang tidak mungkin bisa membuat kalkulasi, hitung-hitungan kurensif bahkan dalam jumlah yang berapa pun besarnya!
Singkirkanlah koin-koin ketersinggungan itu, sebab koin-koin itu hanya membuat kita sama levelnya dengan ketololan Abbott. Jurus mabuk Abbott memperlihatkan bahwa "gawang" kita rapat terjaga, jangan sampai kita justru membiarkan diri kemasukan "gol" dengan membuatnya rapuh dalam terpaan jurus mabuk Abbott.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H