Sampai di sini, sudah bisa ditegaskan lagi bahwa Jokowi boleh menolak seruan PBB di atas karena seruan spesifik tersebut bukan merupakan keharusan dalam kategori tradisi hukum internasional!
Klausa "In countries which have not abolished the death penalty"
Bahwa Jokowi boleh menolak seruan PBB di atas, itu tidak sama dengan harus menolaknya. Maka pertanyaannya adalah haruskah Jokowi menolak seruan tersebut? Mengapa?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita mesti memulainya dengan memperhatikan tafsir terhadap klausa awal dari artikel 6, no. 2 ICCPR, yaitu: "In countries which have not abolished the death penalty..." ("Dalam negara-negara yang belum meniadakan hukuman mati").
Draft awal dari artikel 6, no. 2 ICCPR memuat klausa yang berbunyi: "In countries where capital punishment exists . . .", namun di kemudian hari intonasi positif dari klausa ini digantikan dengan intonasi negatif seperti yang saya cantumkan pada paragraf di atas.
Intonasi negatif pada klausa tersebut dianggap lebih tepat karena memberikan kesan bahwa peniadaan hukuman mati merupakan opsi mayor sedangkan negara-negara yang masih menerapkannya memilih opsi minor. Artinya, pengubahan intonasi ini sekaligus memuat harapan bahwa penghapusan hukuman mati bagi semua jenis kejahatan akan semakin diadopsi oleh banyak negara.
Menariknya, selain muatan makna dan harapan di atas, intonasi negatif dari klausa tersebut juga dianggap mengimplikasikan bahwa artikel 6 no. 2 ICCPR tidak ditujukan bagi negara-negara yang sudah menghapuskan hukuman mati sama sekali (complete abolitionists). Dan karena itu pula, implikasi intonasi negatif dari klausa tersebut adalah bahwa negara-negara yang sudah menghapuskan hukuman mati sama sekali tidak diperbolehkan untuk menerapkan hukuman mati itu kembali di kemudian hari.
Sebelum menarik inferensi logisnya, kita perlu menyimak kembali yurisprudensi HAM internasional berkait penyempitan makna klausa "the most serious crimes". Menurut yurisprudensi tersebut, kasus narkoba tidak dapat dimasukkan ke dalam pemaknaan akan klausa "the most serious crimes", maka jenis kejahatan ini tidak boleh diganjar dengan hukuman mati.
Poin saya adalah jika kita menerima novel interpretation akan klausa "the most serious crimes" di atas, lalu membatalkan pelaksanaan hukuman mati terhadap para terpidana mati kasus "Bali Nine" yang belum dieksekusi sekarang, maka kita akan berhadapan dengan implikasi yang tidak kita inginkan di kemudian hari.
Implikasi yang saya maksudkan adalah klausa "the most serious crimes" muncul tepat sesudah klausa "In countries which have not abolished the death penalty". Menurut Schabas, jika sebuah jenis kejahatan spesifik telah tereliminasi dari makna klausa "the most serious crimes", dan karenanya tidak menerima hukuman mati sebagai ganjarannya, maka di kemudian hari jenis kejahatan spesifik itu tidak dapat lagi diganjar dengan hukuman mati. Mengapa? Karena klausa "the most serious crimes" mengasumsikan pemaknaan klausa "In countries which have not abolished the death penalty".
Dalam terang tafsir di atas, seruan PBB sebenarnya bukan berarti bahwa pemerintah Indonesia jangan menerapkan hukuman mati untuk kasus "Bali Nine" saja, dan untuk kasus-kasus narkoba berikutnya hukuman mati masih boleh dijalankan. Tidak begitu!