Mohon tunggu...
Nara Ahirullah
Nara Ahirullah Mohon Tunggu... Konsultan - @ Surabaya - Jawa Timur

Jurnalis | Pengelola Sampah | Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (YAKSINDO) | Tenaga Ahli Sekolah Sampah Nusantara (SSN) | Konsultan, Edukator dan Pendamping Program Pengelolaan Sampah Kawasan. Email: nurrahmadahirullah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ekonomi Sampah Plastik Jadi BBM, Paving, Ecobricks hingga Aspal

22 Maret 2024   17:08 Diperbarui: 23 Maret 2024   02:34 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah plastik low value yang tidak berharga. (Dokumentasi pribadi)

Sampah plastik low value yang tidak berharga. (Dokumentasi pribadi)
Sampah plastik low value yang tidak berharga. (Dokumentasi pribadi)
Gara-gara lebih mengutamakan transaksional sampah bahan baku daur ulang, pertanggung jawaban produsen akhirnya terkikis sampai hilang. Sampah plastik low value tidak ada yang mau memproses. Pendaur ulang tidak menerima dan produsennya juga teralienasi dari sampah itu. Lingkungan jadi korban karena akhirnya banyak dibuang.

Muncul Gerakan Kepedulian pada Plastik Low Value

Semakin banyak plastik low value jatuh ke lingkungan. Rencana dan imbauan pengurangan sampah yang dicanangkan pemerintah gagal di lapangan. Meski hanya 15-20% dari komposisi sampah, plastik low value seolah menjadi masalah terberat di sampah baik di tempat pembuangan sampah legal maupun ilegal. Sebab, plastik sampah low value tampak paling mencolok di tempat pemrosesan (pembuangan) akhir (TPA) sampah.

Pemerintah mendorong untuk mengurangi penggunaan plastik low value seperti sachet. Masyarakat diminta untuk membiasakan diri dengan membeli berbagai kebutuhan dalam volume besar sehingga tidak menimbulkan banyak sampah kemasan kecil. Ada juga dorongan agar masyarakat membeli kebutuhan dengan sistem refill (isi ulang). Untuk tujuan pengurangan juga dibuat peraturan pembatasan hingga pelarangan kantong plastik.

Tapi upaya itu tidak membuahkan hasil. Di atas kertas mungkin bisa diklaim berhasil, tapi di lapangan sampah plastik masih jadi sorotan utama masalah lingkungan. Upaya pemerintah untuk mengurangi penggunaan plastik low value tidak relevan dengan kondisi saat ini. Masyarakat disuruh membeli produk dalam volume besar, sementara tingkat ekonomi dan daya beli rendah. Pada umumnya mampu membeli produk dalam volume kecil berbentuk sachet.

Meski dibenci, pemerintah tidak mungkin melarang perusahaan  memproduksi kemasan sachet atau produk dengan kemasan sachet. Juga tidak mungkin menghentikan perusahaan kantong plastik berproduksi. Adapun kebiasaan refill juga sangat sulit diterapkan di tengah gaya hidup saat ini. Meski ada yang menjalankannya, jumlah sangat kecil. Tidak cukup untuk bisa mengurangi sampah secara signifikan.

Tumpukan plastik low value yang tidak terolah karena berbiaya mahal di Sidoarjo - Jawa Timur. (Dokumentasi pribadi)
Tumpukan plastik low value yang tidak terolah karena berbiaya mahal di Sidoarjo - Jawa Timur. (Dokumentasi pribadi)
Maka belakangan muncullah gerakan lingkungan. Gerakan yang diharapkan menjadi solusi persoalan plastik low value ini. Yang paling awal masuk adalah gerakan ecobricks. Kemudian sampah plastik jadi bahan bakar minyak (BBM). Membuat sampah plastik low value menjadi paving, puzzle tembok bangunan, hingga pengganti kayu untuk meja, kursi atau lemari. Lalu ada juga untuk campuran aspal untuk jalanan (aspal mix plastik).

Jika semua gerakan itu dihubungkan dengan regulasi UUPS tentang tanggung jawab produsen, maka salah. Sebab, gerakan-gerakan itu mendukung dan memberi peluang bagi perusahaan-perusahaan produsen sampah yang sebenarnya untuk semakin tidak bertanggung jawab pada sampah yang diproduksinya. Bahkan ada yang curiga bahwa semua gerakan itu adalah bentuk green washing dari produsen-produsen sampah dalam bentuk sponsorship dan dukungan lainnya.

Kecurigaan itu cukup beralasan. Mengingat dengan semua gerakan itu, produsen yang sebenarnya akan terbebas dari tanggung jawab mengelola sampah yang diproduksinya. Toh sudah ada yang memanfaatkan. Sama seperti produsen-produsen sampah plastik high value (bernilai mahal). Mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab pada sampah yang diproduksinya karena di tingkat bawah sudah ada yang memanfaatkannya.

Jika soal regulasi tidak begitu digubris, kita coba pindah ke soal ekonomi. Apakah gerakan dan pengolahan-pengolahan itu bisa mendatangkan keuntungan ekonomis?

Keuntungan Ekonomis dan Ekologis

Ecobricks jelas tidak menguntungkan secara ekonomis karena hasilnya tidak bisa dijual. Hanya untuk pertunjukan dan kreasi. Jika hasil kreasi laku dijual,  maka penjualannya pun tidak akan bertahan lama. Dan sampah yang diolah dengan ecobricks akan sangat terbatas dibanding potensi sampah plastik low value yang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun