Akhir-akhir ini media sosial sudah mulai dimasuki berbagai informasi tentang sampah. Terutama media sosial Instagram (IG) dan Tiktok (TT) yang sedang banyak digandrungi masyarakat. Telah bermunculan orang-orang yang berbicara soal sampah.
Kondisi itu sangat menggembirakan asal banyaknya viewer (penonton) dan followers (pengikut) tidak hanya menghasilkan glorifikasi belaka. Karena bentuk-bentuk glorifikasi di bidang persampahan sangat rentan disusupi program green washing. Kita harus pandai menilai, mana orang atau aksi yang benar-benar nyata untuk pelestarian lingkungan melalui bidang persampahan dan mana yang hanya dibuat sebagai konten untuk menarik dan mendapatkan viewer dan followers saja.
Sebab, saat ini di semua sosial media semakin sulit membedakan tontonan yang tampil. Antara yang hanya dibuat sebagai konten dengan yang benar-benar sebagai aksi nyata sangat sulit dibedakan. Ditambah lagi, juga sulit membedakan antara mana yang murni untuk pelestarian lingkungan dengan mana yang mencari keuntungan dengan bicara pelestarian lingkungan.
Sebuah pengalaman, ada salah satu kabupaten yang di berbagai sosial tampil sebagai daerah yang berhasil mengelola sampahnya. Tapi ketika tim Sekolah Sampah Nusantara (SSN) datang ke kabupaten tersebut, terungkap bahwa kenyataannya jauh dari konten TT. Bukan jauh lebih bagus, bahkan seorang dosen dari kampus terkemuka dari kabupaten itu menyatakan apa yang ada di media sosial itu sebagai "lips service".
Daerah yang di media sosial itu tampil berhasil mengelola sampah itu nyatanya sedang kelabakan dengan biaya operasional dan keberlanjutan. Di sisi lain, peran utama di media sosial itu pada akhirnya tampil untuk berjualan mesin pemilah sampah yang diklaim mengantar keberhasilan pengelolaan sampah di daerah itu.
Sebenarnya, kondisi flexing dalam pengelolaan sampah bukan hal yang baru. Sejak lama pemerintah sudah melakukannya di mana-mana. Mungkin itulah yang menjadi inspirasi banyak pihak untuk ikut melakukan flexing. Sudah hal biasa bagi pemerintah melakukan peresmian ini dan itu terkait pengelolaan sampah, diklaim bisa menyelesaikan masalah sampah, tapi pada akhirnya mangkrak.
Flexing keberhasilan dalam pelestarian dan penyelamatan lingkungan itu di kalangan pegiat lingkungan disebut green wash. Swasta juga merupakan pihak yang sering melakukan green wash. Melalui berbagai kegiatan yang seremonial mereka menyatakan telah peduli pada lingkungan dengan klaim yang sering dibesar-besarkan. Namun, pada kenyataannya kontribusinya sangat kecil pada pelestarian lingkungan hidup.
Keberadaan dan kemunculan orang-orang yang berbicara sampah di media sosial semoga tidak hanya sekadar glorifikasi semata. Terutama karena banyaknya viewer dan followers. Diharapkan pula apa yang mereka sampaikan sesuai dengan kenyataan dan bukan mencari keuntungan semata dari carut-marutnya kondisi persampahan di Indonesia.
Senang Sosok Baru & Aksi Kolosal
Masyarakat Indonesia sangat senang dan antusias pada sosok baru serta aksi kolosal. Meski sosok baru itu berbicara hal-hal yang sudah banyak dan sering disampaikan. Di antaranya tentang sampah dan kondisi persampahan Indonesia.